
SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Pengamat politik Malika Dwi Ana menilai strategi politik Presiden terpilih Prabowo Subianto dalam merangkul partai-partai di luar koalisi awalnya merupakan bentuk penguatan legitimasi kekuasaan yang sejalan dengan teori Grundnorm yang pernah dikemukakan oleh Hans Kelsen.
Menurut Malika, Kelsen menyebut bahwa legitimasi sebuah kekuasaan tidak hanya ditentukan oleh legalitas formal, tetapi juga oleh penerimaan dan dukungan efektif dari masyarakat maupun kekuatan politik dominan. Dalam konteks Indonesia pasca-Pemilu 2024, strategi konsolidasi politik yang dilakukan Prabowo dinilai sebagai upaya membentuk norma dasar politik baru yang diterima luas.
“Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang terus diperluas dengan menggandeng partai-partai non-koalisi awal adalah langkah untuk memperkuat basis dukungan dan mempersempit ruang perlawanan politik,” ujar Malika dalam keterangannya, Kamis (15/5/2025).
Ia menambahkan bahwa legitimasi politik saat ini tidak bisa dilepaskan dari keberhasilan aktor politik dalam mengamankan persepsi publik dan menciptakan stabilitas kekuasaan. “Semakin luas koalisi, semakin kuat kesan stabil dan sulit digoyang. Ini sekaligus memperkuat posisi Prabowo dalam menghadapi potensi friksi internal atau tekanan dari kelompok oposisi,” imbuh perempuan alumnus FISIP Universitas Airlangga itu.
Malika juga menyoroti peran kelompok elite ekonomi dan para funders dari kalangan keluarga kaya sebagai faktor penting dalam stabilitas koalisi. Menurutnya, dukungan finansial dari kelompok ini menjadi penentu keberlangsungan dan kohesi koalisi politik.
“Selama kepentingan para pendukung elite ini terakomodasi, maka potensi pembelotan atau perpecahan bisa diminimalisir. Tapi tentu ini menjadi tantangan tersendiri bagi Prabowo untuk menjaga keseimbangan di antara para sponsor politik,” jelasnya.
Lebih lanjut, Malika menyebut bahwa narasi publik tetap menjadi elemen krusial dalam menjaga legitimasi kekuasaan. Ia melihat bahwa Prabowo tampaknya sadar akan pentingnya dukungan rakyat, bukan hanya koalisi elite.
“Citra sebagai pemimpin yang inklusif dan merakyat kemungkinan akan terus dibangun sebagai strategi utama untuk mempertahankan dukungan politik,” pungkasnya. (*)
Editor: Tommy/Rafel