Beberapa waktu lalu pemakzulan menjadi topik perbincangan berbagai forum diskusi di beragam tempat. Topik ini menjadi puncak dari serangkaian protes atau kritik terhadap pemerintahan saat ini. Bahwa aneka ketidakberesan yang terjadi, termasuk keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang kontroversial, tidaklah bisa dilepaskan dari cara-cara memerintah yang cenderung mengabaikan regulasi, melabrak aturan, bahkan beberapa pihak menilai sudah terjadi praktek inkonstitusionalitas dalam tata kelola pemerintahan.
Kasus aktual pemakzulan di Indonesia bisa dilacak salah-satunya pada rekomendasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut kepada Mahkamah Agung (MA) untuk memakzulkan (memberhentikan) Bupati Aceng Fikri pada tahun 2013. MA mengabulkan rekomendasi DPRD tersebut. Alasan pokok dari MA, perkawinan bupati tidak bisa dipisahkan antara pribadi dan jabatan yang melekat pada bupati saat itu. Pribadi dan jabatan melekat jadi satu. Tidak terpisah. Sehingga perbuatan pribadi juga berdampak pada jabatan yang melekat. Putusan MA ini secara tegas lugas menunjukkan perbuatan pribadi pejabat publik tidak terlepas dari jabatannya.
Namun demikian, pemakzulan pada lingkup kepresidenan ternyata tidaklah sesederhana kasus di Garut tahun 2013 itu. Saat 22 orang dari kelompok Petisi 100 menemui Menkopolhukam Profesor Mahfud MD pada 9 Januari 2024, mereka melaporkan dugaan kecurangan Pemilu 2024. Dugaan ini telah menjadi topik pembicaraan di sebagian masyarakat yang melihat berbagai kejanggalan dalam proses penyelenggaraan Pemilu saat ini.
Merujuk pada Perubahan Ketiga UUD 1945 Pasal 7A, tertulis bahwa lembaga yang berwenang memberhentikan atau memakzulkan presiden dan/atau wakil presiden adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Bukan lembaga negara lain, yang artinya posisi MPR berada di atas dari lembaga negara karena kewenangan tersebut. Bukan hanya presiden yang bisa dimakzulkan MPR, namun wakil presiden pun bisa dimakzulkan MPR. Sebab, frasa dalam pasal tersebut menyatakan ”dan/atau” yang bermakna presiden dan wakil presiden atau salah-satu diantara keduanya.
Menariknya, dalam Pasal 8 UUD 1945 sebelum amandemen, tidak disebut hubungan MPR dan lembaga kepresidenan berkait pemberhentian atau pemakzulan. Hanya tertulis ”Jika Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya”. Maka, akan diganti oleh Wakil Presiden. Pasal ini tetap bertahan pada perubahan (amandemen) pertama tahun 1999 dan perubahan (amandemen) kedua Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tahun 2000. Amandemen pertama tertuju pada Pasal 7, yang hanya menyangkut pembatasan masa kepresidenan.
Sehingga pada tahun 2001, ketika Presiden Abdurrahman Wahid dimakzulkan atau diberhentikan oleh MPR, dalih pemakzulan itu adalah ”tidak dapat melakukan kewajibannya” seperti termaktub dalam Pasal 8 UUD 1945. Terlihat dua hal penting dari peristiwa ini. Pertama, frasa ”tidak dapat melakukan kewajibannya” berkait pada terbitnya maklumat Presiden Abdurrahman Wahid untuk membubarkan MPR dan DPR serta membekukan Partai Golongan Karya (Partai Golkar) pada 23 Juli 2001. Terbitnya maklumat menjadi petunjuk bahwa presiden tidak dapat melakukan kewajiban konstitusional.
Hal kedua yang tak kalah penting adalah secara otomatis naiknya Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden menggantikan Abdurrahman Wahid. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa Pasal 8 UUD 1945 sampai pada amandemen kedua sudah melihat lembaga kepresidenan sebagai satu kesatuan diisi oleh presiden dan wakil presiden yang jika presiden ”tidak dapat melakukan kewajibannya”, maka akan diganti wakil presiden.
Peristiwa tersebut mendorong munculnya amandemen ketiga UUD 1945. Hasil amandemen ini ditetapkan pada 9 November 2001 oleh MPR. Barulah pada amandemen ketiga ini pemberhentian atau pemakzulan presiden dan/atau wakil presiden diperjelas di dalam Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945. Pasal 7A menyatakan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dilakukan oleh MPR atas usul dari DPR. Ini berbeda dari pemberhentian sebelum amandemen ketiga, yang tidak menyebutkan DPR. Hanya MPR yang berwenang.
Dan yang paling menentukan terjadinya pemakzulan adalah salah-satu atau keseluruhan syarat dalam Pasal 7A. Pertama, apakah dalam menjalankan kewajibannya presiden telah terbukti melakukan pelanggaran hukum, yakni pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya. Kedua, apabila presiden melakukan perbuatan tercela. Dan ketiga, manakala presiden terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Masalahnya, apakah dugaan kecurangan Pemilu 2024 bisa masuk ke dalam kategori ”perbuatan tercela” atau bahkan termasuk ke dalam korupsi, yakni korupsi politik? Indikasi ke arah sana masih membutuhkan pembuktian. Oleh karena itu, pemakzulan presiden tentu saja tidak sesederhana perkiraan banyak orang, sebab pembuktian membutuhkan waktu.
ROSLINORMANSYAH
Peneliti Senior Institute for Strategy and Political Studies (INTRAPOLS) Surabaya dan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Merdeka Pasuruan Jawa Timur