Thursday, May 9, 2024
HomeSudut PandangEksklusivitas Ekonomi Tambang, Bencana Ekologis, dan Dinasti Politik di Malut

Eksklusivitas Ekonomi Tambang, Bencana Ekologis, dan Dinasti Politik di Malut

Ekonomi tambang yang eksklusif merupakan fakta yang sedang berlangsung. Dikatakan eksklusif karena manfaat ekonomi hanya dinikmati sedikit orang. Pertumbuhan ekonomi Maluku Utara tahun 2022 mencapai 22,94%, yang artinya pendapatan/produksi bertambah sebesar 22,94% dari tahun 2021, dikontribusi oleh sektor pertambangan dan penggalian sebesar 66,35% (sumber: BPS). Pada tahun 2023 pertumbuhan ekonomi bahkan diperkirakan mencapai 28%. Publik memaknai angka 22,94% bahwa semestinya pada tahun 2022 setiap orang di provinsi tersebut bertambah kekayaannya sebesar 22,94% dari kekayaan tahun 2021. Jika pada tahun 2021 kita punya harta misalkan Rp100 juta maka semestinya akhir tahun 2022 harta kita menjadi Rp122,94 juta. Itu adalah logika mendasar. Namun, kenyataannya bagaimana harta yang dipunyai masyarakat provinsi itu. Jika secara akumulatif (sensus), penambahan harta lebih sedikit dari angka 22,94%, artinya harta yang dihasilkan di provinsi tersebut lari ke luar provinsi atau bahkan lari ke luar negeri. Itu terjadi jika pemilik modal (saham) atau pemilik perusahaan yang beroperasi tambang di provinsi itu bukan berasal dari provinsi itu, namun mereka berasal dari provinsi lain bahkan negara asing, juga tenaga kerja yang bekerja.

Eksklusivitas kepemilikan perusahaan tambang terjadi pada perusahaan yang menambang emas di provinsi itu, di mana hanya dimiliki oleh perusahaan tertutup (sahamnya tidak dimiliki publik) sebesar 75% dan salah satu BUMN tambang sebesar 25%. Eksklusivitas juga terjadi pada perusahaan yang menambang nikel, di mana perusahaan tambang tersebut dimiliki oleh perusahaan asal Tiongkok. Perusahaan tambang lainnya pun demikian, hanya dimiliki oleh perusahaan yang sahamnya dimiliki secara pribadi (belum go public). Pejabat kunci perusahaan seperti direksi dan komisaris terindikasi berafiliasi dengan pejabat pusat dan kelompok politik tertentu. Pun demikian, pekerja perusahaan tambang juga mungkin didominasi warga provinsi lain bahkan warga negara asing, meskipun perusahaan mengklaim mempekerjakan warga lokal hingga 70% dari keseluruhan tenaga kerja. Hingga saat ini, kita pun tidak meyakini klaim tersebut. Data pemerintah baik pusat maupun daerah mengenai tenaga kerja pun diragukan integritasnya.
Supaya ekonomi tambang berdampak secara riil pada ekonomi masyarakat provinsi setempat, maka perorangan, badan, atau pemda setempat diupayakan memiliki perusahaan tambang itu. Selanjutnya, tenaga kerja diutamakan berasal dari warga setempat. Pemda jangan hanya memanfaatkan pajak daerah dan retribusi dari pungutan tambang atau hanya berharap dana bagi hasil (DBH) dari PNBP tambang. Pemda diharapkan berjuang untuk memperjuangkan kepemilikan (saham) rakyat di Perusahaan itu, atau memastikan Pemda/BUMD memiliki saham mayoritas di perusahaan itu.

Operasi tambang telah menyebabkan bencana lingkungan (ekologis) di provinsi itu. Banjir meluap di beberapa tempat yang berdekatan dengan lokasi operasi tambang. Belum lagi hancurnya ekosistem dan keaneragaman hayati yang ada di sana, baik darat (hutan dan daerah aliran sungai/DAS), maupun wilayah pesisir dan pantai. Industri nikel berpotensi merusak lingkungan hayati. Temuan masyarakat sekitar tambang dan civil society mengkonfirmasi telah terjadi kerusakan lingkungan hayati akibat aktivitas tambang dan pengolahan hasil tambang. Sungai-sungai tercemar limbang tambang, dan merusak ekosistem hayati di sepanjang daerah aliran sungai hingga ke muara, pesisir, dan pantai. Contohnya yang terjadi pada sungai Ake Jira, Sagea, dan laiinya serta wilayah pantai pesisir timur Halmahera.

Pajak daerah, retribusi, dan PNBP yang dipungut dari para pelaku usaha tambang, seyogyanya diperuntukkan untuk upaya pemulihan dampak buruk tambang terhadap lingkungan. Perusahaan pelaku tambang juga dituntut untuk memenuhi kewajiban terhadap lingkungan, sebagai bagian kepatuhan pada regulasi lingkungan (Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) dan tanggung jawab sosial Perusahaan/CSR (Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas).

Ketidakberdayaan pemerintah daerah menghadapi Perusahaan tambang dalam hal: 1) memperjuangkan kepemilikan (saham) rakyat di Perusahaan itu, atau memastikan Pemda/BUMD memiliki saham yang besar di Perusahaan itu, dan 2) memperjuangkan upaya kuratif atas dampak tambang terhadap lingkungan hidup, terjadi karena birokrasi elitis di provinsi itu. Bupati beberapa kabupaten mempunyai hubungan darah atau hubungan kekerabatan, belum lagi hubungan kekerabatan dengan para pejabat birokrasi pemda. Politik dinasti menggejala di provinsi itu. Sekalipun tidak punya hubungan darah, ternyata terindikasi “jual beli jabatan”, sebagaimana disangkakan kepada kepala daerah yang ditangkap KPK itu. Itu adalah refleksi adanya birokrasi yang elitis. Elitis mulai dari kepala daerah hingga pejabat birokrasi. Maka, sistem merit di mana penilaian untuk menduduki jabatan birokrasi harus berdasarkan kompetensi dan kinerja yang terukur secara objektif dan dibangun dengan sistem keorganisasian dan SDM aparatur yang transparan, objektif, dan akuntabel sulit diwujudkan. Dengan istilah lain dapat disebut sebagai birokrasi yang tidak professional.

Birokrasi yang tidak professional itu menyebabkan banyak mismanajemen. Isu yang mengemuka terkini adalah soal mismanajemen keuangan daerah. Pemda tak mampu membuat perencanaan anggaran dan perencaan kas secara baik. Sistem tata kelola keuangan daerah yang belum dibangun dengan baik serta intervensi kepentingan subjektif pejabat pada sistem keuangan yang ada, menyebabkan kekacauan manajemen keuangan. Vendor atau supplier berteriak belum dibayar sedangkan prestasi telah ditunaikan, bahkan diberitakan bahwa Pemda terancam tidak mampu memenuhi kewajiban mendanai pemilu di daerahnya.
Indikator kekacauan itu adalah korupsi. Tertangkapnya pejabat Pemda dan menjadi tersangka tindak pidana korupsi bagaikan puncak gunung es di lautan, yang tampak di mata kita. Budaya birokrasi elitis dan mismanajemen keuangan yang terjadi, membuat Masyarakat skeptis bahwa mungkinkah banyak kasus penyimpangan yang belum terungkap atau belum ketahuan? Marilah civil society khususnya media/pers untuk terus-menerus berperan (penta-helix aktor kebijakan) mengawasi dan mengkritisi.

Secara teoritis, kondisi kekacauan birokrasi yang akut disebabkan karena patologi birokrasi. Miftah Thoha (2005) dalam buku Birokrasi Politik di Indonesia, mendefinikan patologi birokrasi adalah penyakit, perilaku negatif, atau penyimpangan yang dilakukan pejabat atau lembaga birokrasi dalam rangka melayani publik, melaksanakan tugas, dan menjalankan program pembangunan dan pelayanan publik. Foucault (1982) dalam buku “The Subject and Power” menulis bahwa kekuasaan semestinya melekat pada institusi itu sendiri, bukan pada individu yang membuat institusi tersebut berfungsi. Pandangan Foucault sebagai teori “automatizes and disindividualizes power” itu dapat diterapkan pada organisasi modern atau pemerintahan yang demokratis. Kondisi itu dapat terjadi manakala terbangun kesadaran kumulatif masyarakat dan civil society untuk menjadi katalisator perubahan menuju penerapan demokratisasi dan birokrasi modern yang menerapkan prinsip good governance. Kekuasaan yang tidak tergantung pada subjek individual tertentu adalah suatu pra syarat untuk mengeliminasi patologi birokrasi. Oleh karenanya, dinasti politik atau dinasti kekuasaan harus diruntuhkan.

 

WERDHA CANDRATRILAKSITA

Pemerhati Kebijakan Publik dan Mahasiswa Program Doktor Administrasi Publik pada Universitas Diponegoro

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular