Friday, May 3, 2024
HomeGagasanPemakzulan, Makar, dan Pernyataan Pendapat Civitas Akademika

Pemakzulan, Makar, dan Pernyataan Pendapat Civitas Akademika

Tahapan Pemakzulan Menurut Konstitusi dan Fakta Politik

Akhir-akhir ini, marak usulan pemakzulan Presiden. Berbagai kalangan mulai dari civitas akademika hingga civil society, ramai mengusulkan agar Presiden dimakzulkan. Seperti Petisi 100, Petisi civitas akademika Perguruan Tinggi dan Guru Besar, dan lain sebagainya. Pemakzulan adalah istilah lain dari impeachment, yaitu turunnya, berhentinya atau dipecatnya Presiden atau pejabat tinggi dari jabatannya (Asshiddiqie, 2005). Lebih lanjut, Asshiddiqie (2005) berpendapat bahwa impeachment lebih menitikberatkan pada prosesnya dan tidak mesti berakhir dengan berhenti atau turunnya Presiden atau pejabat tinggi negara lain dari jabatannya. Proses pemakzulan diatur sangat ketat, agar Presiden/Wakil Presiden tidak mudah untuk dijatuhkan. Penjatuhan Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) pada Juli 2001 yang sarat politisasi, menjadi pembelajaran untuk dilakukannya amandemen ketiga UUD 1945 pada November 2001, dengan menyusun tahapan yang sangat ketat jika akan memakzulkan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Lantas bagaimana prosesnya menurut konstitusi UUD 1945?

Untuk memakzulkan Presiden/Wakil Presiden, beberapa tahapan/proses harus dilalui. Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden (Pasal 7B ayat (1) UUD 1945). Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 7B ayat (3) UUD 1945). Selanjutnya akan diperiksa, diadili, dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) apakah pendapat DPR tersebut mempunyai landasan konstitusional atau tidak. Amar putusan MK atas pendapat DPR tersebut sekurang-kurangnya terdiri dari tiga kemungkinan. Pertama, amar putusan MK menyatakan bahwa permohonan tidak dapat diterima apabila permohonan tidak memenuhi syarat. Kedua, amar putusan MK menyatakan membenarkan pendapat DPR apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan tindakan yang dituduhkan. Ketiga, amar putusan MK menyatakan bahwa permohonan ditolak apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terbukti melakukan tindakan yang dituduhkan (Mahkamah Konstitusi, 2005).
Kondisi faktual aliansi politik saat ini sulit untuk memproses pemakzulan, kecuali terjadi koalisi dua aliansi. Aliansi AMIN didukung oleh 167 kursi DPR (29,05%), aliansi GP&MD didukung oleh 147 kursi DPR (25,56%), dan aliansi PraGib didukung oleh 261 kursi DPR (45,39%). Sidang paripurna DPR mengenai usulan pemberhentian Presiden hanya dapat digelar jika hadir sekurang-kurangnya 384 anggota DPR (2/3 atau 66,67% jumlah anggota DPR). Hal itu hanya dapat dicapai jika minimal terdapat koalisi dua aliansi di DPR. Apabila, sidang paripurna hanya dihadiri oleh koalisi dua aliansi yang menginginkan pemakzulan, dan tidak dihadiri oleh aliansi yang menolak pemakzulan, maka pengambilan keputusan di sidang paripurna akan lebih mudah. Seandainya sidang paripurna DPR dihadiri oleh seluruh anggota pun, sekurangnya disetujui oleh 384 anggota DPR untuk diajukan permintaan ke Mahkamah Konstitusi. Hal itu memerlukan koalisi dua aliansi. Sehingga, cukup dengan penyatuan dua aliansi pilpres 2024 di DPR, sudah dapat diajukan permintaan pemakzulan dengan mudah.

Apabila DPR mengajukan permintaan ke Mahkamah Konstitusi (MK), maka “bola panas” itu menjadi kewenangan MK untuk memutuskan. Dari Sembilan hakim konstitusi, putusan yang menyatakan, “membenarkan pendapat DPR apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan tindakan yang dituduhkan”, harus didukung oleh minimal lima hakim konstitusi. Hal itu tidak semata banyaknya suara, namun DPR harus memberikan bukti dan dalil/argumentasi yang kuat untuk meyakinkan hakim-hakim konstitusi. Paling lama 90 hari setelah permintaan DPR diterima oleh MK, MK harus sudah memutuskan (Pasal 7B ayat (4) UUD 1945). Atas putusan MK, DPR menggelar sidang paripurna untuk meneruskan usulan pemberhentian Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR tersebut paling lambat 30 hari sejak MPR menerima usul dari DPR. Sidang MPR harus dihadiri minimal 3/4 (75%) dari jumlah anggota MPR. Anggota MPR terdiri dari anggota DPR sebanyak 575 anggota dan anggotan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebanyak 136 anggota, sehingga total 711 anggota. Oleh karenanya, sidang MPR harus digelar dengan dihadiri minimal 534 anggota (75%). Kemudian putusan harus didukung oleh sedikitnya 2/3 (66,67%) dari jumlah yang hadir. Jika sidang dihadiri 3/4 anggota MPR, maka harus didukung oleh 356 anggota MPR. Jika sidang dihadiri 100% anggota MPR, maka harus didukung oleh 474 anggota MPR.

Melihat fakta komposisi MPR-DPR yang ada, maka hanya koalisi antara aliansi GP&MD bersama aliansi AMIN, yang memiliki peluang besar meloloskan usulan pemakzulan. Lobby panggung belakang pastilah gencar dilakukan, para ketua umum partai, termasuk dengan para anggota DPD, bahkan mungkin saja hakim-hakim konstitusi. Panggung belakang tentunya sulit dibuktikan, namun dalam politik adalah keniscayaan. Norma waktu 90 hari dan 30 hari pun dapat dipersingkat hanya dengan satu atau dua hari saja, manakala lobby politik panggung belakang atau belakang layar sudah terjadi dan “kuorum”.

Dorongan Civitas Akademika dan Civil Society

Civitas Akademika yang terdiri dari dosen dan mahasiswa, dilindungi oleh dua Undang-undang sekaligus dalam menyatakan pendapat bahkan jika mereka mengusulkan pemberhentian atau pemakzulan Presiden, yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan Undang-undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Dalam Pasal 5 UU No 9 tahun 1998 menyatakan bahwa warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berhak untuk: a) mengeluarkan pikiran secara bebas; b) memperoleh perlindungan hukum. Pasal 8 UU Nomor 12 tahun 2012 menyatakan bahwa civitas akademika memiliki kebebasan akademik, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan.

Bagaimana dengan civil society dan pers? Mereka dilindungi dengan tiga undang-undang sekaligus, yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, dan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, yang telah diubah sebagian dengan UU Nomor 16 Tahun 2017. Sehingga sulit membangun konstruksi hukum untuk menuduh mereka melakukan makar.

Menjawab Tuduhan Melakukan Makar

Di sisi lain, civitas akademika dan civil society bergemuruh menuntut pemakzulan. Seringkali mereka dianggap atau dituduh makar. Lantas bagaimana konstruksi hukum atas mereka dalam hal pemakzulan? Menggulingkan Presiden tentunya tidak sama makna dengan menggulingkan pemerintahan. Pasal 107 KUHP menyatakan, “(1) Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. (2) Para pemimpin dan pengatur makar tersebut dalam ayat (1), diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.”
Makar adalah kejahatan terhadap keamanan negara sebagaimana dimaksud dalam Bab I dan Bab III Buku Kedua KUHP. Kata makar sendiri tidak didefinisikan secara jelas dalam KUHP. Pasal 87 KUHP hanya menyebutkan bahwa makar harus memenuhi syarat adanya niat yang telah nyata ditunjukkan dengan adanya permulaan pelaksanaan, seperti dimaksud pasal 53 KUHP. Dalam KBBI, makar adalah 1) akal busuk, tipu muslihat, dsb, 2) perbuatan dengan maksud hendak menyerang (membunuh) orang dsb, 3) perbuatan menjatuhkan pemerintah yang sah. Pengertian makar dalam KBBI bersesuaian dengan perbuatan yang disebut makar dalam KUHP. Perbuatan makar dalam KUHP hanya disebutkan dalam enam pasal, yaitu pasal 104, 106, 107, 139a, 139b, dan 140.
Pasal 104 KUHP mendefinisikan makar sebagai perbuatan: 1. Membunuh, atau 2. Merampas kemerdekaan, atau 3. Meniadakan kemampuan presiden dan atau wakil presiden. Selanjutnya, pasal 104 KUHP memaksudkan perbuatan makar hanya dibatasi pada serangan yang sifatnya fisik atau keamanan badan dan menghalangi presiden dan wakil presiden melaksanakan tugasnya. Sedangkan pasal 106 mendefinisikan makar sebagai perbuatan: 1. Makar dengan maksud agar seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh, atau 2. Memisahkan sebagian wilayah negara. Pasal 107 mendefinisikan makar sebagai perbuatan menggulingkan pemerintah. Sedangkan pasal 139a, 139b, dan 140 adalah terkait perbuatan makar terhadap negara sahabat.
Saat Wetboek van Strafrecht menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan diterbitkannya Undang-Undang No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, istilah “De aanslag” atau serangan, baik ditujukan kepada Kaisar (de koning) atau kepada seluruh negara/sebagiannya (om het Rijk geheel of gedeeltelijk) diterjemahkan menjadi kata makar. Jadi makar adalah terjemahan dari “de aanslag” yang khusus ditujukan kepada Kaisar maupun Negara. Dalam KUHP makar terhadap Kaisar (De aanslag ondernomen met het oogmerk om de koning) diganti dengan makar terhadap Presiden/Wakil Presiden (vide Pasal 104 KUHP). Namun substansi pasal 104 KUHP adalah serangan fisik, badan, atau membuat presiden/wakil presiden tidak dapat bertugas. Kemudian makar terhadap negara baik seluruhnya maupun sebagian (De aanslag ondernomen met het oogmerk om het Rijk geheel of gedeeltelijk) diganti dengan makar dengan maksud negara (vide pasal 106 KUHP) dan menggulingkan pemerintah (vide pasal 107 KUHP).
Seharusnya pasal 107 KUHP tidaklah sesederhana itu untuk menyingkat dengan kata menggulingkan pemerintah. Dalam Wetboek Van Strafrecht, menggulingkan pemerintah itu jelas rumusannya, yaitu serangan atas/terhadap meliputi: 1) Bentuk pemerintah yang konstitusional (de grondwettige regeringsvorm of de orde) 2) Memaksa suksesi secara tidak sah/tidak berdasar hukum (troonopvolging te vernietigen of op onwettige wijze te veranderen). Sepintas, sungguh tidak tepat jika menggulingkan presiden dikategorikan sebagai menggulingkan pemerintah (de koning/kaisar jika di Belanda). Pasal tentang serangan terhadap presiden sudah diatur oleh pasal 104 KUHP dan itupun sebatas serangan fisik. KUHP belum merumuskan secara jelas perihal memaksa suksesi secara tidak sah/tidak berdasar hukum (troonopvolging te vernietigen of op onwettige wijze te veranderen). Maka, lebih tepat jika menggulingkan pemerintah adalah serangan terhadap “grondwettige regeringsvorm” secara fisik (bentuk pemerintah yang berdasar konstitusi).
Apabila kita menyamakan pemerintah (Staat) dengan negara/kerajaan (Het Rijk), itu adalah suatu kesalahan prinsip ketatanegaraan. Demikian juga jika kita menyamakan antara pejabat pemerintah (persona) dengan pemerintah itu sendiri. Penyamaan pejabat pemerintah (persona) dengan pemerintahan itu sendiri adalah suatu kemunduran untuk mengulang kembali absolutisme dari Louis XIV dengan semboyannya “L’Etat C’est Moi”. Hal tersebut berarti kita gagal mengadopsi prinsip trias politica yang menjadi ruh dari demokrasi yang kita idamkan pasca reformasi 1998.

Warga negara yang mengusulkan menggulingkan Presiden bukanlah delik makar. Peristiwa suksesi pada sidang istimewa MPRS tahun 1967, yang mencabut kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno. Sidang tersebut tidak akan terjadi tanpa demonstrasi besar-besaran yang dilakukan masyarakat dan mahasiswa, sekalipun dipicu juga adanya faktor peristiwa lubang buaya. Selanjutnya, peristiwa suksesi pada sidang istimewa MPR 1998 setelah pernyataan mundur Presiden Soeharto, yang lagi-lagi terjadi atas desakan demonstrasi mahasiswa dan elemen masyarakat, sekalipun dipicu juga adanya krisis ekonomi. Demikian juga peristiwa suksesi pada sidang istimewa MPR tahun 2001, yang memberhentikan Presiden Abdurahman Wahid dari jabatan presiden Republik Indonesia, yang lagi-lagi terjadi atas desakan demonstrasi massa dan mahasiswa, sekalipun dipicu adanya rumor dan isu zakat Sultan Brunei dan kasus Bulog.

Hak Konstitusional Warga Negara

Hak konstitusional warga negara yang diatur oleh UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Dalam Pasal 5 UU Nomor 9 tahun 1998 menyatakan bahwa warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berhak untuk: a) mengeluarkan pikiran secara bebas; b) memperoleh perlindungan hukum. Harus diperhatikan juga bahwa pasal 110 (4) KUHP yang menyatakan, “Tidak dipidana barang siapa yang ternyata bermaksud hanya mempersiapkan atau memperlancar perubahan ketatanegaraan dalam artian umum”.

Rakyat tentunya berhak untuk mengusulkan perubahan ketatanegaraan dan itu dilindungi oleh Pasal 110 (4) KUHP jo UU Nomor 9 Tahun 1998. Tentunya juga berhak pula meminta presiden dan/atau wakil presiden diberhentikan secara konstitusional melalui lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat, dengan didahului melalui proses politik konstitusional di DPR dan MK. Vox Populi Vox Dei.

WERDHA CANDRATRILAKSITA

Mahasiswa Program Doktor Administrasi Publik pada Universitas Diponegoro

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular