Perayaan ulang tahun kemerdekaan Indonesia yang ke-78 adalah momen penting yang patut disyukuri oleh seluruh bangsa Indonesia.
Kemerdekaan adalah hak bagi bangsa Indonesia dan menjadi landasan bagi pembangunan bangsa ini untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Namun demikian, peringatan kemerdekaan ini juga mengingatkan kita akan berbagai tantangan yang masih harus dihadapi.
Isu Ekologis
Saat ini, isu lingkungan semakin mendesak dengan tingginya polusi udara di Jakarta. Polusi udara merupakan hasil dari akumulasi kebijakan kapitalisme yang tak terkendali di wilayah Jakarta.
Polusi udara di Jakarta disebabkan oleh jumlah kendaraan yang banyak, pabrik-pabrik di Jakarta dan sekitarnya, serta PLTU Batu Bara yang mengelilingi kota Jakarta, 10 di Banten dan 6 di Jawa Barat.
Sebuah kota yang sehat adalah kota yang tertata dengan baik dan mengutamakan kenyamanan bagi penduduknya tanpa kecuali.Lingkungan harus nyaman, dan udara harus bersih.
Perencanaan tata kota yang humanis harus melibatkan seluruh sektor, termasuk politik, sosial budaya, dan ekonomi, agar menghasilkan kota yang bersih dan bebas dari polusi.
Contoh nyata keberhasilan tata kota dapat dilihat di kota-kota Jepang seperti Tokyo, Yokohama, Nagoya, dan Kyoto.
Transportasi publik yang efisien, lolos uji emisi, dan taman-taman yang hijau merupakan hasil dari kebijakan tegas yang berorientasi kepada manusia dan direncanakan secara jangka panjang oleh elit politiknya.
Ketidakmampuan mengatasi polusi udara di Jakarta adalah hasil dari pertumbuhan tak terkendali dari kapitalisme Indonesia yang serakah, terpusat di Jakarta, dan tidak berorientasi pada kapabilitas manusia.
Fokus industri yang terpusat di Jakarta sejak era Suharto telah menyebabkan orang-orang berbondong-bondong berdatangan ke Jakarta untuk mencari pekerjaan dan mengejar kesuksesan dengan memiliki kendaraan pribadi. Hal ini menyebabkan Jakarta menjadi padat, macet, dan berpolusi.
Langkah-langkah peningkatan transportasi publik yang diambil oleh Ahok dan Anies merupakan langkah positif. Namun, hal ini belum cukup untuk mengatasi permasalahan kemacetan yang kompleks dan struktural di Jakarta.
Upaya ini masih bersifat responsif dan hanya mengatasi masalah permukaan.
Solusi yang lebih efektif adalah kebijakan struktural yang menggabungkan langkah-langkah responsif ini dengan kebijakan strategis pengembangan sektor ekonomi di provinsi, daerah, dan bahkan desa, sehingga masyarakat tidak lagi tertarik berpindah ke Jakarta.
Hal ini memerlukan campur tangan cerdas dari elit pembuat kebijakan, baik dari pusat hingga daerah.
Namun, kenyataannya, elit saat ini terjebak dalam rutinitas birokrasi, politik dagang sapi, atau hanya menikmati kursi kekuasaan.
Tantangan Ketimpangan Ekonomi
Ketidaksetaraan ekonomi adalah masalah krusial di Indonesia. Fakta bahwa hanya beberapa orang kaya yang memiliki kekayaan sebanding dengan jutaan penduduk lainnya mencerminkan ketidakadilan yang nyata (Oxfam, 2017).
Sebagian besar penduduk Indonesia masih hidup dengan pendapatan harian yang minim, kurang dari 2 dollar, yang jauh dari mencukupi.
Pendapatan adalah faktor krusial yang mempengaruhi keberhasilan aspek-aspek lain dalam hidup termasuk human capability (Sen dan Nussbaum, 1993).
Di negara maju, bahkan pekerja tukang sapu dan cleaning service memiliki pendapatan harian yang layak, sekitar Rp. 800.000 – Rp 1.000.000.
Di sisi lain, gaji para elit di Indonesia sangat fantastis. Gaji Komisaris BUMN dan anggota DPR mencapai ratusan juta per bulan, yang sangat mirip jika melihat mayoritas penduduk berpendapatan rendah dan terjebak dengan pengangguran struktural.
Ketidaksetaraan ekonomi ini juga mempengaruhi kemampuan masyarakat dalam mengakses pangan bergizi yang cukup.
Secara objektif, sekitar 200 juta penduduk Indonesia tidak dapat mengakses pangan bergizi yang sehat.
Ketidakmampuan mengakses pangan bergizi disebabkan oleh pendapatan bulanan yang rendah dan tidak stabil (Azhari, dkk, 2023).
Jika situasi ini dibiarkan, generasi penerus Indonesia akan tumbuh dalam kondisi yang lemah, tidak produktif, dan tidak mampu memberikan kontribusi signifikan pada pembangunan di berbagai sektor di masa depan.
Saat melihat negara maju seperti Jepang, terlihat bahwa mereka memperhatikan akses pangan bergizi bagi seluruh warganya, bahkan sejak mereka masih dalam kandungan ibu hamil.
Pemerintah Indonesia perlu kembali merancang kebijakan strategis untuk memastikan setiap warga Indonesia memiliki akses awal terhadap pangan bergizi, serta memastikan bahwa setiap warga memiliki pekerjaan dan pendapatan yang layak, karena faktor-faktor ini menjadi kunci dalam mencapai akses terhadap gizi yang baik.
Tantangan Pada Riset, Inovasi, Sains, dan Teknologi
Sektor riset di Indonesia masih tertinggal dan belum memberikan dampak signifikan pada inovasi di berbagai sektor.
Tiongkok, dengan anggaran riset yang melimpah, merupakan contoh sukses dalam membangun kekuatan ekonominya dan mengangkat miliaran warganya keluar dari kemiskinan melalui penelitian ilmiah dan inovasi teknologi (OECD,2020)
Indonesia perlu merumuskan kembali kebijakan strategis untuk memajukan riset dan inovasi agar dapat mendorong industrialisasi mandiri di sektor-sektor fundamental seperti pertanian, peternakan, kelautan, pertambangan, dan manufaktur, serta menghadapi tantangan digital di era revolusi industri 4.0 yang berbasis pada Internet of Things.
Alokasi anggaran riset Indonesia masih rendah dibandingkan beberapa negara di level Asia dan global. Menurut R & D World, alokasi anggaran riset Indonesia berada di peringkat ke-34 dari 40 negara.
Anggaran riset Indonesia sebesar US$ 8,2 miliar, jauh di bawah Jepang (US$ 182,2 miliar), Tiongkok (US$ 551,1 miliar), atau Amerika Serikat (US$ 679,4 miliar).
Jumlah peneliti Indonesia, menurut Bank Dunia (2020), hanya 216 per satu juta penduduk. Angka ini sangat jauh dari memadai dan tertinggal dari Tiongkok (1.307), Malaysia (2.397), Jepang (5.331), dan Singapura (6.803). Dana riset BRIN yang diharapkan akan memimpin inovasi sains dan teknologi hanya sebesar Rp. 2,2 Triliun pada tahun 2023 (www.dpr.go.id).
Sementara alokasi anggaran untuk riset di perguruan tinggi belum menyasar semua dosen peneliti secara signifikan.
Kapitalisme Dan Oligarki Yang Serakah
Kapitalisme dan oligarki adalah penyebab utama dari sejumlah masalah lingkungan, ketidaksetaraan ekonomi, dan kegagalan dalam mengarusutamakan riset dan sains di Indonesia.
Kebijakan yang dikendalikan oleh elit oligarki terlalu berfokus pada keuntungan korporasi dan tujuan politik jangka pendek, yang menyebabkan lemahnya kebijakan strategis yang memiliki pandangan jauh ke depan.
Sebagai hasilnya, Jakarta telah menjadi pusat pesimisme, polusi, ketimpangan ekonomi akut, dan korupsi elit.
Sangat penting untuk mempertimbangkan kembali sistem federalisme yang mampu memberdayakan daerah-daerah di luar Jakarta untuk mengembangkan ekonomi mereka secara mandiri, serta membebaskan generasi muda dari dominasi elit status quo yang terpapar virus korupsi dari Jakarta.
Negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan bahkan Malaysia menunjukkan bahwa daerah-daerah di luar ibu kota mereka memiliki kota yang bersih, pertumbuhan ekonomi yang lebih adil, dan pengembangan riset yang bahkan lebih maju dan kompetitif.
Pembenahan Sistem Hukum
Perubahan signifikan di Indonesia dapat dicapai melalui perbaikan dan penegakan hukum yang kuat.
Namun, kenyataannya hukum di Indonesia belum mampu memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sistem hukum perlu diperkuat untuk memberikan keadilan kepada semua lapisan masyarakat.
Perlindungan hukum harus merata tanpa memihak kepada korporasi atau elit oligarki yang berupaya merampas kekayaan negara.
Elit oligarki dan pebisnis harus diawasi dengan ketat mengingat tendensi korup mereka yang mampu membeli hukum (Winters, 2021).
Reformasi dan penegakan hukum, terutama dalam bidang UU Minerba, UU pajak, UU perampasan aset, UU Perburuhan dan reforma agraria dst, menjadi sangat penting terus dilakukan untuk memastikan kesejahteraan rakyat.
Selamat untuk Kemerdekaan Indonesia yang ke-78.
MUHAMMAD THAUFAN ARIFUDDIN
Dosen FISIP Universitas Andalas dan Mahasiswa S3 Graduate School of Internasional Development, Nagoya University, Jepang