Friday, March 29, 2024
HomeGagasanPancasila Sontoloyo

Pancasila Sontoloyo

images (1)

Hiruk-pikuk Pancasila penuh menghiasi jagat dunia maya khususnya media sosial seperti Facebook dan Whatsapp. Posting demi postingan berseliweran, baik tentang penetapan 1 Juni sebagai hari Pancasila, atau aksi-aksi dan panggung terkait Pancasila dan terakhir tak kalah seru, yakni permusuhan Pancasila terhadap komunisme dan palu arit.

Hiruk-pikuk ini terjadi karena gerakan 3 kelompok sebagai berikut, pertama, pengklaim Pancasilais sejati dari kalangan Orde Baru melakukan konsolidasi besar-besaran melihat adanya kebangkitan komunisme saat ini. Kedua, kelompok Soekarnois mendesak Presiden Jokowi agar menetapkan Pancasila itu lahir 1 Juni dan Bung Karno adalah pencetus Pancasila. Ketiga, adanya kelompok yang ikut ikutan dalam trending topic ini.

Apakah hiruk-pikuk ini mempunyai makna bagi perubahan nasib rakyat? Inilah pertanyaan penting bagi kita. Sebab, jargon dan kata-kata tentang Pancasila acapkali hanya sebuah tameng bagi reklaiming eksistensi sebuah kelompok daripada sebuah ideologi membebaskan kemiskinan.

Benarkah demikian? Pertama, kelompok Orde Baru yang mengklaim paling Pancasilais pada dasarnya tidak memahami Pancasila secara benar. Mengapa? Karena mereka mencampuradukkan sebuah faham dengan sejarah. Hal ini membuat mereka salah bersikap terhadap komunisme.

Pancasila sebagai sebuah faham adalah sebuah produk pemikiran. Produk pemikiran siapa? Tentu saja pemikiran kelompok pejuang pembebasan kita melawan belanda. Pejuang itu mempunyai ideologi beragam, dari Sosialis Islam, Komunis, Marhaenis, Sosialis kanan, Sosialis Tengah, dan juga yang bersandar pada agamanya, seperti Islam dan Kristen.  Ideologi itu sendiri juga produk pemikiran.

Sebagai produk pemikiran, tentu saja Pancasila sebagai konsensus ideologis merupakan produk bersama. Namun, dengan catatan saat itu adalah sebagai ideologi anti kapitalisme dan liberalisme. Pancasila vs ideologi kolonial. Dalam posisi seperti itu, menihilkan komunisme, merupakan pikiran sesat. Sebuah pemikiran yang seharusnya hilang bersama lenyapnya rezim Soeharto.

Bahwa dalam sejarah ada (tuduhan) pemberontakan komunis, tentu harus dilihat secara terpisah. Sejarah adalah sebuah dialektika dari gesekan berbagai kepentingan, baik bersifat idea maupun material. Dalam suatu momentum, tentu sebuah kelompok bisa berbeda kepentingan dengan kelompok lainnya, namun bisa bekerjasama dalam momentum lainnya.

Dengan begitu, sebuah sifat reaksioner yang dilakukan kaum loyalis orde baru ini merupakan gaya Pancasilais yang tidak jelas. Mereka gagal membedakan kepentingan imperialisme negara Cina dengan kepentingan kelompok korban kemanusiaan 65, yang sudah dimasukkan dalam agenda Presiden pemenang pilpres, dalam Nawacita. Sama dengan konyolnya Jokowi yang merestui kapolri dalam penangkapan orang-orang yang memakai atribut palu dan arit. Padahal belum jelas makna dari pemakai simbol Palu Arit, sebagai orang orang tertindas dan miskin atau sebuah propaganda kebangkitan ideologis.

Kedua, Jokowi dan Soekarnois bangga dengan keberhasilan penetapan 1 Juni sebagai Hari Lahirnya Pancasila. Dan Bung Karno adalah bapak Pancasila.

Gerakan ini juga sebuah gerakan tanpa makna. Mengapa demikian?

1).  Gerakan meng klaim 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila tidak dilakukan dengan kritik terhadap eksistensi kapitalisme dan liberalisme yang dilahirkan kelompok Pancasilais Orde Baru. Padahal Pancasila adalah sebuah way of life yang kontra, berkontestasi dan sekaligus berkonfrontasi dengan kapitalisme, liberalisme dan neoliberlisme. Rezim Jokowi dan Megawati semakin memanjakan kapitalisme dan korporasi untuk mencengkeram kekuasaannya atas negara dan menghancurkan nasib kaum marhaen. Khususnya, dapat dilihat semakin tingginya ketimpangan sosial saat ini (Gini Index sekitar 0,5).

2. Jokowi gagal melakukan rekonsiliasi idea. Hal ini dengan tidak adanya keyakinan Jokowi bahwa Komunisme dan Sosialisme adalah bagian penting dari sebuah Ideologi Pancasila. Orde Reformasi telah berhasil dalam menghancurkan Pancasila karena, a). Mengganti sila ke 4 Pancasila dengan liberalisme dalam berdemokrasi. b) Mengganti UUD 1945 tanpa referendum menjadi UUD 2002. Khususnya menghilangkan keaslian khas dan sakral pendiri bangsa, dengan menghilangkan pasal 6 UUD 1945 (Presiden dan Wapres harus Indonesia ASLI). c)  Meletakkan negara dalam cengkeraman segelintir elit pemilik modal asing dan aseng.

Komunisme, selain Islamisme dan Nasionalisme, adalah alat penting untuk memastikan Pancasila cukup sakti melumpuhkan segelintir konglomerat yang menguasai dan mengontrol 90 persen kekayaan nasional. Jika Jokowi sekedar menjadikan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila, tanpa merevitalisasi  elemen-elemen ideologis radikal anti kapitalis, maka sebenarnya itu sekedar lip service tanpa makna.

Sampai saat ini Pancasila hanya merupakan jargon omong kosong kelompok-kelompok kepentingan di atas dan kelompok “ikut-ikutan” tanpa menjadikannya sebuah gerakan substantif dan ideologis. Mereka hanya senang kulit luarnya saja. Tidak menangis melihat Lambang Naga berkibar di lambang HUT Jakarta 2 tahun lalu. Tidak menangis melihat rakyat miskin terusir dari rumahnya sendiri di gang-gang sempit, demi real estate mewah. Tidak menangis melihat nasib buruh, petani dan nelayan yang semakin sulit. Hanya bangga dengan apel-apel panggung Pancasila. Itulah Pancasila Sontoloyo!

DR. H. SYAHGANDA NAINGGOLAN, MT

Dewan Syuro Serikat Buruh Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia 98

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular