Angin reshuffle kabinet jilid II Pemerintahan Joko Widodo telah berhembus dengan kencang. Isu kocok ulang kabinet kali ini, ditandai dengan berbagai kontroversi dan kegaduhan di dalam internal Kabinet Kerja atas sebuah kebijakan yang belum final. Tidaklah hal itu dapat dipungkiri sebagai konsekuensi dari konsolidasi dan koordinasi antar kementerian yang tidak efektif berjalan, ditambah dengan rekam jejak dan kompetensi para menteri yang tidak memadai. Pada akhirnya, atas berbagai masalah itu, kinerja Presiden lah yang menjadi taruhannya, dan tampak seolah Presiden bekerja sendiri untuk memenuhi janji politiknya.
Sebagai ekonom, maka tulisan ini adalah sebuah pengamatan seorang warga negara yang tidak punya kompetensi dalam bidang politik, namun kami peduli pada tegak dan berjalannya konstitusi, terutama sekali Hak Prerogatif Presiden sebagai Kepala Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh sebab itu, kita harus memastikan dan menjaga bahwa keputusan me-reshuffle anggota kabinet atau pembantu Presiden, bukanlah dalam konteks bagi-bagi kekuasaan pada parpol pendukung dan sukarelawan seperti yang disinyalir akan terjadi oleh pengamat politik Muslim Arbi. Atau keputusan reshuffle ini juga akomodasi Presiden atas adanya faksionalisasi yang terjadi dalam kepemimpinan di kabinet sehingga loyalitas menjadi bercabang atau terbelah seperti yang disinyalir pula oleh pegiat Gerakan Indonesia Bersih, Adhie M. Massardi.
Dengan latar belakang itu dan mengingat pentingnya mencapai kinerja kabinet pada sisa masa 3 (tiga) tahun pemerintahan ke depan inilah alasan dan kemendesakan (urgency) reshuffle kabinet harus dilakukan dengan lebih baik dan lebih bersih dari kepentingan-kepentingan intervensi jangka pendek 5 (lima) tahunan yang merusak visi berbangsa dan bernegara dalam jangka panjang. Merevolusi mental kabinet sebagai partai yang mengusung Presiden Joko Widodo, maka pernyataan Hasto Kristyanto selaku Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP dapat digunakan sebagai pedoman dan salah satu pertimbangan Presiden dalam melakukan reshuffle pembantunya. Namun, yang lebih penting adalah pemenuhan sikap Presiden atas Revolusi Mental dan peneguhan atas pentingnya koordinasi antar kementerian dan hilangnya ego sektoral yang telah disampaikan saat memimpin sidang kabinet di Istana Negara.
Selain masalah kinerja, integritas dan kompetensi manajerial yang telah dikemukakan oleh Sekjen PDIP dalam sebuah wawancara di sebuah program TV swasta nasional, maka tentu saja aspek loyalitas harus menjadi alasan utama yang mendasari pergantian anggota kabinet. Tanpa loyalitas tunggal, maka ketiga aspek yg disampaikan Sekjen PDIP itu akan selalu menimbulkan kontroversi dan kegaduhan yang berkelanjutan, malah kelanjutan pembangunan di segala sektor untuk mencapai kesejahteraan rakyat menjadi terabaikan. Kinerja pembangunan tentu saja tidak dinilai hanya dari keberhasilan di sektor ekonomi saja, yang lebih mendasar dari tercapainya komitmen Revolusi Mental adalah menempatkan kementerian yang terkait dengan masalah mentalitas ini di garda terdepan, kinerja sektor ini juga sangat perlu dievaluasi. Para pembantu Presiden harus mampu menerjemahkan gerakan Revolusi Mental terutama mulai di bidang pendidikan dan kebudayaan yang akan berpengaruh pada baik dan buruknya kinerja sektor-sektor lain dalam pembangunan, yaitu melalui kebijakan pendidikan dasar dan menengah secara terpadu dan terarah, bukan hanya soal teknis pendidikan dan ujian nasional. Sebab, pendidikan lah yang akan merevolusi seluruh mentalitas generasi penerus bangsa dan aparat pemerintahan yang bersih dan berwibawa, bebas dari korupsi, nepotisme, mafia dan narkoba.
Atas dasar 3 (tiga) perspektif yang telah disampaikan Sekjen PDIP dan loyalitas tunggal itulah kita berharap Presiden dapat merevolusi kabinetnya secara menyeluruh, memilih personil yang memiliki konsep dan program turunan Revolusi Mental secara strategis, serta reshuffle ini adalah untuk yang terakhir kalinya sehingga dapat terus bekerja optimal untuk mencapai sasaran Trisakti dan Nawacita lebih efektif, efisien, terencana, terkoordinasi dan tidak gaduh.
Sebelum Presiden memutuskan untuk me-reshuffle anggota kabinetnya, ada baiknya mengambil pelajaran dari keberhasilan mantan Presiden Soeharto dalam mengelola pembangunan secara terencana, bertahap dan terkendali melalui penguatan fungsi-fungsi perencanaan, koordinasi, keuangan dan pengendalian di kementerian dan lembaga yang kompeten selama ini. Perspektif inilah hendaknya nanti yang juga menjadi pertimbangan lain dalam mengawal kinerja pemerintahan dan revolusi mental dengan memilih orang yang tepat, bukan kepentingan politik dan bisnis pemangku amanah semata.
Kepemilikan bersama bangsa dan negara lebih utama dibanding memenuhi syahwat berkuasa partai politik di kabinet hal yang mana itu sudah terbagi dan harus dilakukan di DPR. Oleh karena itu, kami mendukung tugas Presiden Republik Indonesia Joko Widodo menggunakan Hak Prerogatif dengan sepenuh-penuhnya, berpedoman pada Pancasila dan UUD 1945.
DEFIYAN CORI
Ekonom dan Ketua Umum Forum Ekonomi Konstitusi