Thursday, October 3, 2024
spot_img
HomeGagasanOposisi PDIP Dan Keniscayaan Demokrasi

Oposisi PDIP Dan Keniscayaan Demokrasi

Pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan penetapan KPU RI yang memenangkan pasangan calon (paslon) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dua partai, yakni Nasdem dan PKB sudah membuka lampu hijau untuk bergabung dalam Koalisi Pemerintah; Koalisi Indonesia Maju. Sehingga praktis, modal politik koalisi pemerintah di parlemen lebih dari 75%. Sisanya 25%, yakni PDIP dan PKS masih belum menentukan sikap politiknya. Namun demikian, sepertinya PDIP dan PKS akan bersikap oposisi atau di luar pemerintahan.

Untuk menjaga ekosistem demokrasi yang sehat di parlemen, saya berharap  PDIP sebagai pemenang Pemilu Legislatif 2024 dan akan memegang Ketua DPR RI, dan PKS bersikap oposisi. Dalam berbagai kesempatan, untuk sementara, melalui Sekjen DPP PDIP, Hasto Kristiyanto; PDIP akan berperan sebagai mitra strategis dan akan melakukan kritik-konstruktif terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran.

Salah satu indikasi kuat PDIP dan Megawati akan mengambil sikap oposisi, dapat dilihat dari sikap politik Megawati dan PDIP yang masih belum menerima penetapan KPU atas hasil Pilpres yang memenangkan Prabowo-Gibran. Paska kalah di MK, PDIP terus melakukan perlawanan hukum, yakni dengan melakukan gugatan terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait dugaan perbuatan melawan hukum pada Pilpres 2024 melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Selain itu, sampai saat ini, Megawati masih belum memberi ucapan selamat dan belum mau bertemu dengan Prabowo-Gibran.

Meskinpun belum ada sikap politik yang jelas dan tegas dari Megawati, namun dengan sikap perlawanan hukum yang terus berlanjut tersebut bisa dimaknai; PDIP berpotensi akan bersikap oposisi. Jika benar, Megawati dan PDIP bersikap oposisi, maka ini patut kita apresiasi. PDIP memiliki pengalaman jadi oposisi selama 10 tahun di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Absennya PDIP di jajaran pemerintahan Prabowo-Gobran berpotensi akan mengangkat kekuatan kontrol dan checks and balances, yang saat ini akan semakin menyusut seiring dengan peluang bergabungnya Nasdem dan PKB ke pemerintahan Prabowo-Gibran.

Dengan bergabungnya Nasdem dan PKB, pemerintahan Prabowo-Gibran akan semakin kuat dengan dukungan parlemen sebesar 75%. Besarnya kekuatan koalisi dan minimnya kekuatan oposisi di parlemen akan berpotensi besar terhadap hadirnya pemerintahan otoritarianisme. Pemerintahan tanpa kontrol dan kritik. Dengan modal dukungan yang sangat besar tersebut, pemeritahan Prabowo-Gibran bisa saja membuat dan mengekskekusi kebijakan-kebijakan “semau gue”. Inilah yang sangat dikhawatirkan oleh kalangan pro demokrasi. Pemerintahan “Orde Baru” akan lahir dengan wajah baru. Dan dampaknya lanjutannya, ini akan berbahaya dan mengancam kehidupan demokrasi Indonesia.

Oposisi PDIP

Dalam demokrasi; oposisi adalah sebuah keniscayaan. Dengan kemenangan Prabowo-Gibran yang sarat kontroversi, hadirnya kelompok dan kekuatan oposisi (baik di parlemen maupun di masyarakat) sangat dibutuhkan untuk menghindarkan bangsa ini kembali ke rezim otoritarian. Demokrasi mesti butuh oposisi, sebagai kekuatan pengimbang dan pengontrol jalanya pemerintahan.

Kekuatan oposisi merupakan salah satu pilar dari demokrasi yang memilki peran sangat strategis, di samping sebagai kekuatan penyeimbang dan pengontrol, juga memiliki peran dalam upaya memberdayakan dan mendidik secara politik potensi masyarakat. Kita musti belajar dari era Orde Baru yang nihil oposisi dan era pemerintahan Jokowi 2 periode yang minim oposisi. Satu sisi, pemerintah  “semau gue” membuat kebijakan yang berujung masalah (baca: revisi UU KPK, UU Cipta kerja, UU Minerba, UU MK, dan sebagainya). Di sisi lain, suara-suara kritis masyarakat dibungkam dan bahkan sebagian dikriminalinasi. Praktik politik dinasti yang mengancam ekosistem demokrasi pun tumbuh subur di era Jokowi. Karena titu, wajar, Indeks Demokrasi Indonesia di era Jokowi mengalami penurunan dan bahkan kemunduran.

Kekuatan oposisi jangan sampai menyusut, karena jika menyusut, maka itu akan dapat mengubur demokrasi, memunculkan otoritarian baru. Dengan sikap dan peran oposisi PDIP dan PKS, setidaknya bisa menyelamatkan demokrasi dari jurang keterpurukan. Dalam negara demokratis, secara fatsun politik, Parpol yang kalah dalam Pemilu otomatis menjadi partai oposisi dan menjadi kekuatan kontrol dan penyeimbang atas parpol penguasa. Dalam konteks ini, langkah politik PDIP sangat elegan dan lebih bermartabat daripada berkoalisi.

Keniscayaan Demokrasi

Selain itu, sikap oposisi dinilai akan berdampak positif terhadap masa depan PDIP di tengah perolehan suaranya yang menyusut pada Pemilu 2024. Langkah oposisi dapat mendorong PDIP berkonsolidasi dan solid untuk meraih kepercayaan rakyat kembali di Pemilu 2029 mendatang. Dengan kata lain, langkah oposisi ini dinilai akan menyelamatkan PDIP dari keterpurukan politik yang lebih mendalam di masa mendatang. Dengan catatan, PDIP mampu memainkan sikap dan peran oposisinya di Parlemen dengan baik dan maksimal. Dan untuk ini, PDIP harus belajar banyak dari “kegagalan” oposisi yang diperankan periode kemarin.

Tentunya, PDIP perlu supporting SDM yang mumpuni dan kapabel agar peran oposisi bisa lebih produktif dan berkontribusi pada peningkatan perolehan suara di Pemilu 2029 mendatang. Langkah oposisi ini, dinilai akan memberikan kontribusi positif bagi politisi PDIP secara personal dan kelembagaan. Lebih dari itu, langkah oposisi PDIP dapat memberikan kontribusi positif bagi pengembangan dan pematangan demokrasi Indonesia ke depan.

Namun demikian,  oposisi PDIP dan PKS, secara kuantitas masih sangat lemah sehingga akan kurang efektif untuk mengontrol kekuasaan presiden dan jalannya pemerintahan lima tahun ke depan. Karena itu, perlu dibangun dan dikembangkan kekuatan oposisi alternatif, yakni oposisi ekstrapalementer, yakni kekuatan yang berasal dari masyarakat yang memiliki komitmen terhadap demokrasi dan secara konsisten mengontrol dan mengkritisi kebijakan-kebjakaan pemerintah secara objektif.

Kelompok masyarakat yang sangat diharapkan menjadi kekuatan oposisi alternatif atau ekstraparlementer di antaranya adalah para intelektual organik, mahasiswa, kelompok masyarakat yang tergabung dalam NGO, kelompok buruh, tani, nelayan, dan kelompok civil society lainnya. Dengan kemampuan intelektualitas dan dukungan masyarakat yang luas, kelompok ini akan menjadi kekuatan oposisi alternatif yang kritis dan konstruktif.

Kita berharap dengan munculnya kekuatan oposisi alternatif atau ekstraparlementer yang dijalankan kelompok masyarakat atau civil society, checks and balances akan tetap berjalan dengan baik. Dengan demikian, kehidupan demokrasipun akan berjalan lebih sehat. Langkah oposisi alternatif ini (baca: oposisi ektraparlementer) dinilai akan memberikan kontribusi positif bagi pengembangan dan pematangan demokrasi Indonesia ke depan. Kekhawatiran munculnya wajah pemerintahan otoritarianian gaya baru pun akan dapat dihindari. Semoga.

 

UMAR SHOLAHUDIN

Dosen Sosiologi Politik FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Berita Terbaru

Most Popular