Tuesday, December 16, 2025
spot_img
HomeGagasanNormalisasi Pelanggaran, Ancaman bagi Supremasi Sipil

Normalisasi Pelanggaran, Ancaman bagi Supremasi Sipil

Pada minggu kedua Maret 2025, Polri kembali menggelar mutasi besar-besaran. Namun, bukan jumlah mutasi yang menjadi perhatian utama, melainkan arah penempatannya. Sejumlah perwira tinggi ditugaskan ke kementerian dan lembaga negara. Salah satu yang menonjol adalah rencana penempatan Irjen Muhammad Iqbal di Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI.

Penempatan anggota Polri aktif di jabatan sipil, terlebih di lembaga legislatif, menimbulkan pertanyaan serius. Ini bukan semata prosedur administratif, melainkan soal konsistensi penegakan hukum, komitmen terhadap semangat reformasi, dan batas antara institusi penegak hukum dan kekuasaan sipil.

Antara Kepastian Hukum dan Pembiaran Struktural

Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian menyatakan dengan tegas bahwa anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun. Ketentuan ini bersifat limitatif dan tidak membuka ruang pengecualian, berbeda dengan Pasal 47 UU TNI yang memang sejak awal menyebut pengecualian terbatas bagi prajurit aktif untuk mengisi jabatan sipil tertentu, hanya pada sektor pertahanan dan keamanan.

Meskipun praktik serupa juga terjadi di TNI, koreksi kemudian dilakukan secara normatif dan institusional: revisi UU TNI diselesaikan oleh DPR, dan Panglima TNI menegaskan tidak akan ada lagi penempatan prajurit aktif hanya atas dasar MoU atau sekadar permintaan kementerian/lembaga di luar aturan. Semua harus sesuai dengan pengecualian eksplisit dalam UU.

Sayangnya, langkah serupa belum terjadi di Polri. Sebaliknya, praktik penempatan anggota aktif ke lembaga sipil terus berlangsung. Sebagian pihak mungkin akan mengacu pada Pasal 147 dan 148 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, atau bahkan pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN, yang menyebut bahwa anggota TNI dan Polri dapat diangkat ke dalam jabatan ASN tertentu.

Namun perlu ditegaskan: baik PP 11/2017 maupun UU ASN 2023 tidak dapat dijadikan dasar hukum mandiri. Pasal terkait dalam UU ASN justru mengatur bahwa pengisian jabatan ASN oleh prajurit TNI dan anggota Polri hanya dapat dilaksanakan pada instansi pusat dan sesuai dengan pengaturan dalam UU TNI dan UU Polri.

Dengan demikian, UU ASN 2023 secara eksplisit menundukkan dirinya pada ketentuan dalam UU sektoral. Dalam konteks Polri, maka Pasal 28 ayat (3) UU Kepolisian tetap berlaku secara mutlak: anggota Polri baru dapat menduduki jabatan di luar institusinya jika telah mengundurkan diri atau pensiun. Tanpa memenuhi syarat tersebut, penempatan anggota Polri ke jabatan ASN tetap merupakan bentuk pelanggaran hukum.

Ketentuan itu bersifat limitatif dan tegas, dan hal ini bukan tanpa alasan. Polri bukanlah aparatur sipil biasa, melainkan pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat sekaligus penegak hukum dengan kewenangan luar biasa: menyidik, menangkap, menahan, hingga menggunakan senjata api. Maka keberadaan mereka di luar institusinya harus dibatasi secara ketat agar tidak menciptakan benturan kepentingan.

Lebih jauh, secara konseptual, Polri merupakan institusi dengan karakteristik ruler-appointed police, yakni aparat yang dipilih dan dikendalikan oleh otoritas eksekutif, bukan oleh masyarakat secara langsung. Dalam model seperti ini, relasi institusional dengan kekuasaan sangat dekat. Karena itu, satu-satunya cara untuk menjaga jarak antara Polri dan kekuasaan adalah melalui pengaturan hukum yang tegas dan restriktif. Jika tidak, maka netralitas Polri sebagai alat negara yang profesional akan mudah tergerus oleh tarik-menarik kepentingan politik dan kekuasaan birokrasi.

Daya Rusak Pelanggaran yang Dinormalisasi

Pelanggaran terhadap Pasal 28 ayat (3) UU Kepolisian itu bukanlah hal baru. Dalam satu dekade terakhir, praktik ini telah membentuk pola yang berulang dan berkelanjutan. Kasus Komjen Tornagogo Sihombing yang ditugaskan ke DPR RI maupun sejumlah personel lain ke berbagai kementerian/lembaga saat masih aktif adalah preseden yang belum dikoreksi. Kini Irjen Iqbal dan puluhan personel Polri aktif lain mengikuti jejak serupa.

Ini bukan sekadar soal prosedur, melainkan soal posisi Polri sebagai penegak hukum dengan kewenangan luar biasa—dari penyidikan hingga penggunaan senjata api. Karena itu, pengaturannya lebih tegas dan tertutup. Tanpa pagar hukum yang kuat, netralitas Polri mudah tergerus oleh tarik-menarik kepentingan birokrasi dan politik.

Permasalahan ini  juga berpotensi menciptakan konflik kepentingan struktural. Lembaga legislatif berfungsi sebagai pengawas atas pelaksanaan kekuasaan eksekutif, termasuk institusi penegak hukum seperti Polri. Ketika anggota aktif justru mengisi jabatan strategis di lembaga legislatif, maka fungsi pengawasan dapat menjadi bias, dan prinsip pemisahan kekuasaan menjadi lemah.

Kita tidak boleh lupa bahwa dwifungsi ABRI di masa lalu tak hanya ditopang oleh kekuatan militer (TNI), tetapi juga oleh peran Polri sebagai perangkat penegak hukum. Dwifungsi bisa melanggengkan kekuasaan dan membungkam kritik karena dijalankan juga secara prosedural dalam kerangka hukum formal. Polri menjadi instrumen penting untuk memastikan kontrol negara atas masyarakat tetap berjalan “sesuai aturan”.

Karena itulah agenda pemisahan Polri dari TNI pascareformasi menjadi langkah mendasar. Polri tidak lagi berada di bawah ABRI dan ditetapkan sebagai institusi sipil. Pemisahan ini membawa konsekuensi penting: Polri harus menjalankan tugasnya secara mandiri sebagai pemelihara keamanan sekaligus penegak hukum, tanpa tunduk pada logika militeristik maupun intervensi kekuasaan.

Namun, jika dalam praktiknya Polri justru menunjukkan fleksibilitas hukum yang lebih besar dibandingkan TNI dalam hal penempatan jabatan sipil, maka kita patut khawatir. Apakah prinsip profesionalisme dan supremasi sipil masih menjadi kompas etik institusi ini?

Kini, jika Polri justru lebih longgar daripada TNI dalam hal kepatuhan terhadap norma, maka warisan reformasi dipertaruhkan. Yang lebih berbahaya adalah ketika pelanggaran hukum dilakukan secara sistematis dan berulang—lalu menjadi sesuatu yang dianggap wajar. Inilah daya rusak dari normalisasi pelanggaran.

Kembali ke Jalan Reformasi

Penempatan Irjen Iqbal dan kawan-kawan bukan hanya soal mutasi atau tugas struktural. Ini adalah ujian integritas institusi. Ujian bagi memori kolektif bangsa tentang alasan kita dulu memisahkan Polri dari TNI. Apakah kita masih percaya bahwa hukum adalah batas kekuasaan?

Supremasi sipil bukan sekadar wacana akademik. Ia adalah prinsip dasar dalam negara demokrasi. Dan prinsip itu hanya hidup jika dijaga dengan konsistensi dan keberanian. Kapolri harus menjawab pertanyaan penting hari ini: apakah akan menegakkan hukum yang berlaku, atau membiarkan kekuasaan mendikte ulang aturan mainnya?

Kapolri harus menjawab pertanyaan ini dengan komitmen dan tindakan, bukan diam. DPR, Kompolnas hingga Ombudsman RI juga memikul tanggung jawab konstitusional untuk menegakkan prinsip supremasi sipil. Jika tidak, maka kita tengah membuka jalan bagi kembalinya praktik-praktik dwifungsi dalam rupa yang lebih halus, tetapi tak kalah merusak.

“Sing ngerti kudu eling, sing eling kudu wani”. Yang tahu harus ingat. Dan yang ingat harus berani. Termasuk berani berkata: cukup sudah pelanggaran ini dinormalisasi.


KHAIRUL FAHMI

Pemerhati isu keamanan dan Co-Founder Institute for Security and Startegic Studies (ISESS)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular