Tuesday, April 22, 2025
spot_img
HomeGagasanPelajaran dari Way Kanan

Pelajaran dari Way Kanan

Sejarah mengajarkan bahwa kekuasaan jarang berbagi ruang dengan keadilan. Di Way Kanan, tiga orang polisi tewas ditembak tentara. Senjata menyalak, memuntahkan peluru dan cerita pun terbelah dua. Ada yang menyalahkan tentara: menembak sesama aparat negara adalah pelanggaran besar. Ada pula yang membela: polisi setempat, kata mereka, sering meminta upeti dari arena sabung ayam. Lalu, siapa yang benar?

Ini bukan sekadar insiden kriminal. Ini adalah perebutan ruang dan pengaruh. Seperti dalam sejarah militer Indonesia pada 1960-an, batas antara tugas negara dan kepentingan pribadi sering kali kabur. Bentrokan antara Angkatan Darat dan Angkatan Udara, antara kepentingan militer dan politik, antara aturan dan tafsirnya, menjadi cermin dari apa yang terjadi hari ini.

Indonesia di era 1960-an bukan hanya negara muda, tapi juga arena pertarungan kepentingan. Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian memiliki agenda masing-masing. Tak sekadar menjaga keamanan, mereka juga ingin memastikan dominasi dalam pemerintahan.

Angkatan Darat, dengan strategi politiknya, mengukuhkan diri sebagai kekuatan utama. Jenderal A.H. Nasution menggagas Dwifungsi ABRI, memberi ruang bagi militer dalam urusan sipil dan politik. Angkatan Udara, di bawah Suryadarma dan kemudian Omar Dhani, mencoba menyeimbangkan pengaruh dengan mendekat ke Sukarno. Angkatan Laut bergerak di antara dua kutub, sementara Kepolisian sering kali hanya menjadi penegak hukum dalam ruang yang semakin sempit.

Seperti di Way Kanan, ketegangan itu berawal dari sesuatu yang tampak sederhana: batas kewenangan, kepentingan ekonomi, dan dominasi di wilayah-wilayah yang sulit dijangkau hukum. Pada 1965, pasukan Angkatan Udara bentrok dengan Angkatan Darat di Halim Perdanakusuma. Di daerah lain, perwira polisi terdesak oleh tentara karena dianggap terlalu dekat dengan kekuatan politik atau bahkan sumber daya ekonomi tertentu.

Hari ini, mungkin kita menganggap hal-hal itu sebagai bagian dari masa lalu. Tapi Way Kanan membuktikan bahwa sejarah tak benar-benar berlalu. Orang Perancis bilang: l’histoire se répète, sejarah (selalu) berulang Kembali.

Di banyak tempat, polisi dan tentara adalah dua wajah dari satu negara yang sama, tapi dengan logika yang berbeda. Polisi bekerja dalam koridor hukum. Tentara bekerja dalam kerangka komando. Polisi, dalam banyak kasus, bisa dinegosiasikan. Tentara? Mereka lebih tegak pada perintah.

Dalam sejarah, kita melihat bagaimana dua sistem ini sering berbenturan. Setelah peristiwa 1965, Angkatan Darat semakin dominan, menyingkirkan perwira-perwira yang dianggap simpatisan kiri. Kepolisian kehilangan banyak pengaruhnya. Seperti dalam kasus Way Kanan, mereka yang memiliki senjata lebih kuat akan menang dalam perebutan kekuasaan.

Banyak yang bertanya, mengapa polisi dan tentara bisa saling serang? Bukankah mereka berasal dari sistem yang sama? Jawabannya ada pada sejarah: mereka memang lahir dari rahim yang sama, tetapi tumbuh dalam jalur yang berbeda. Sejak reformasi 1998, pemisahan TNI dan Polri semakin memperjelas batas tugas. Namun di lapangan, batas itu tetap kabur. Di daerah-daerah yang jauh dari Jakarta, hukum sering kali bukan soal aturan, melainkan soal siapa yang lebih kuat.

Di Indonesia, ada banyak wilayah abu-abu di mana hukum dan kekuatan menjadi dua mata uang yang bisa dipertukarkan. Di tempat-tempat seperti Way Kanan, mereka yang memiliki akses ke senjata dan kekuasaan ekonomi lebih sering menentukan aturan daripada undang-undang.

Di masa Orde Baru, tentara menguasai banyak sektor ekonomi. Mereka mengendalikan bisnis, dari perkebunan hingga ekspor-impor. Polisi, sementara itu, lebih sering bermain di sektor informal: pengamanan, izin usaha, dan, tak jarang, pungli. Keseimbangan ini bertahan selama beberapa dekade, hingga reformasi mengguncangnya.

Namun, seperti dalam sejarah, kekuatan yang kehilangan posisinya tak akan tinggal diam. Polisi, dengan reformasi dan otonomi yang lebih besar, mencoba merebut kembali pengaruhnya. Di banyak daerah, mereka mulai mengambil alih peran yang dulu dipegang tentara. Hasilnya? Benturan-benturan kecil seperti yang terjadi di Way Kanan.

Sejarah menunjukkan bahwa negara dengan terlalu banyak pusat kekuasaan akan rentan terhadap konflik internal. Di Indonesia, militer dan polisi adalah dua kekuatan besar yang, jika tak dikelola dengan baik, bisa berubah menjadi ancaman bagi stabilitas itu sendiri.

Apa yang bisa kita pelajari dari insiden ini? Pertama, hukum harus lebih dari sekadar kata-kata dalam undang-undang. Jika hukum hanya menjadi alat bagi yang lebih kuat, maka negara ini tak akan pernah benar-benar aman. Kedua, konflik antara TNI dan Polri bukan sekadar masalah teknis, melainkan masalah struktural yang perlu diselesaikan dengan reformasi yang lebih mendalam.

Ketiga, sejarah selalu punya cara untuk mengajarkan kita sesuatu. Jika kita tak belajar dari masa lalu, kita akan terus mengulanginya. Way Kanan bukan insiden pertama. Dan jika kita tak hati-hati, ini juga bukan yang terakhir.

 

JAFAR G BUA

Tenaga Ahli Anggota DPR RI, alumnus Asia Journalism Fellowship (AJF) Singapura 2019

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular