Ratna Sarumpaet telah menguak potret diri bangsa ini saat ini: negeri bohong. Padahal pendiri Republik ini adalah orang-orang berintegritas. Jika dibiarkan saja, sebentar lagi negeri ini bakal hilang ditelan lumpur kebohongan.
Saat ini, Pancasila hanya disebut sambil lalu tapi sudah tidak nyambung dengan konstitusi yang kita pakai saat ini. Juga tidak nyambung dalam praktek berbangsa dan bernegara. Semua cara dihalalkan secara komunistik, sementara kehidupan ekonomi sangat kapitalistik.
Perayaanpertemuan Internasional Monetary Fund (IMF) dan World Bank (WB) di Bali pada bulan Oktober ini dengan biaya nyaris Rp 1 Triliun adalah aksi anti-Pancasila yang paling terang-terangan di tengah ketiadaan dana penanggulangan bencana di Lombok (Nusa Tenggara Barat) dan Palu, Sigi, Donggala (Sulawesi Tengah). Mengatakan “Saya Pancasila” adalah hoax paling besar. Yang berlaku saat ini adalah UUD 2002, bukan UUD 1945, karena sudah diamandemen beberapa kali dengan semangat nekolimik.
Mengatakan Islam mengancam Pancasila adalah hoax terbesar kedua. Ini hanya a carefully crafted hoax untuk menyudutkan Islam. Banyak orang lupa, teriakan “Merdeka !” yang pernah dipopulerkan oleh Bung Tomo selalu didahului oleh “Allahu Akbar!”.
Gerakan liar kebohongan ini adalah situasi yang berbahaya. Jika kebohongan dibiarkan merajalela, maka iman apapun diam-diam pergi. Iman mensyaratkan kejujuran. Seorang komunis tulen pun tidak bisa berbohong terus. Hoax terbesar bukan menyebar berita bohong, tapi menyembunyikan kebenaran dari publik. Jadi yang lebih berbahaya adalah yang tidak dinyatakan secara terbuka di depan publik. Sebuah upaya menyebarkan realitas parsial berkali-kali, sambil menyembunyikan realitas lainnya.
Tapi ada masalah besar saat kita mencoba menghentikan kebohongan yang merajalela ini: masyarakat sudah hampir kehilangan kapasitas berpikir kritis, lalu menerima begitu saja berita apapun yang datang. Kemampuan kritis ini sudah lama dilumpuhkan, justru di sekolah dan kampus. Di sekolah, dan di kampus, murid dan mahasiswa sudah tidak lagi dilatih hidup untuk berpikir bebas, apalagi kritis.
Sementara itu, dosen sibuk mengejar scopus. Jika tidak ter-scopus maka mampus. Sekolah dan kampus adalah institusi indoktrinasi yang paling kolot saat ini. Jargon Revolusi Industri 4.0 hanya manis di mulut, pahit di pikiran. Berpikir kritis langsung dicap radikal.
Pelajaran berbohong justru dimulai di sekolah. Guru selalu mengharapkan jawaban yang benar, bukan jawaban yang jujur. Jawaban yang jujur tapi keliru langsung dihukum. Sing jujur ajur. Jawaban benar tapi hasil menyontek mendapatkan penghargaan. Ujian Nasional (UN) adalah pembelajaran kebohongan massal saat pencontekan berjamaah dilakukan dibawah perintah guru dan kepala sekolah. Saat seleksi masuk ke jenjang sekolah berikutnya ditentukan oleh hasil UN, maka prakek contek berjamaah ini akan berlangsung terus.
Di tahap akhir trayektori kebohongan ini adalah mutual trust yang hilang antar sesama warga bangsa, terutama para elite-nya. Mutual distrust justru akan tumbuh merajalela. Padahal mutual trust adalah modal sosial terpenting bagi eksistensi sebuah bangsa, apalagi bangsa yang bhinneka seperti Indonesia ini. Kebohongan adalah ancaman terbesar Bhinneka Tunggal Ika.
Saya serukan agar kita segera hentikan semua kebohongan ini.
Surabaya, 8 Oktober 2018
DANIEL MOHAMMAD ROSYID
Guru Besar dan Pelaku Peradaban, Tinggal di Surabaya