Sunday, March 16, 2025
spot_img
HomeGagasanNasib Tukin (Kian) di Ujung Tanduk!

Nasib Tukin (Kian) di Ujung Tanduk!

Dunia akademik Indonesia kembali dihadapkan pada polemik yang belum terselesaikan: tunjangan kinerja (tukin) dosen. Janji yang pernah diucapkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) bahwa tukin dosen akan dibayarkan pada tahun ini masih menyisakan ketidakpastian. Kenyataan ini berangkat dari blunder yang terjadi di pemerintahan sebelumnya, terutama di era Nadiem Makarim, di mana kebijakan terkait tukin dosen terkesan tidak diurus dengan serius. Tidak hanya implementasi tukin yang terlambat, namun juga berpotensi melahirkan ketimpangan baru di dalam kehidupan dosen. Kondisi ini hanya menguntungkan sebagian kalangan tertentu, sementara mayoritas dosen tetap berada dalam ketidakpastian finansial. Padahal, di banyak negara lain, kesejahteraan akademisi secara profesional dijamin untuk memastikan tetap fokus pada tugas intelektual tanpa harus memikirkan penghasilan tambahan di luar kampus.

Sejatinya, keberadaan tunjangan kinerja bagi dosen bukanlah semata-mata untuk meningkatkan kesejahteraan individu. Tukin merupakan bentuk pengakuan negara atas peran strategis dosen dalam menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi: pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Ketiga aspek ini adalah fondasi utama dalam membangun SDM unggul dan daya saing bangsa yang sedang berwacana menghadapi Indonesia Emas 2045. Namun, tanpa dukungan finansial yang layak, dosen kerap kali harus mencari penghasilan tambahan di luar kampus atau terjebak dalam sistem yang rawan penyelewengan, seperti korupsi dana penelitian.

Regulasi dan Beban Kerja Dosen yang Kian Berat

Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 44 Tahun 2024 dan Kepmendikbudristek Nomor 447 Tahun 2024 tentang Tunjangan Kinerja Dosen seharusnya menjadi acuan utama dalam memastikan tunjangan kinerja benar-benar terealisasi. Sayangnya, hingga kini pelaksanaannya masih belum berjalan optimal. Sementara itu, tuntutan kerja dosen di dalam kampus terus meningkat. Mulai dari mengajar dan menilai tugas serta ujian dengan jumlah mahasiswa yang terus bertambah setiap tahunnya, yang berdampak pada semakin tidak seimbangnya rasio dosen-mahasiswa, hingga tuntutan tugas tambahan lain dari fakultas dan universitas yang sering kali tidak sepadan. Belum lagi beban administratif yang juga harus ditanggung oleh dosen, seperti melaporkan Beban Kinerja Dosen setiap semester, menyusun Laporan Pertanggungjawaban, serta berbagai tugas birokrasi lainnya.

Di saat yang bersamaan, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sedang gencar melakukan efisiensi anggaran, termasuk di sektor pendidikan tinggi yang terkena imbasnya. Kebijakan yang diterapkan oleh Menteri Diktiristek Satryo Soemantri Brodjonegoro, beserta dua wakil menterinya, Fauzan dan Stella Christie, hingga saat ini tidak menunjukkan tanda-tanda yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan dosen. Bahkan, wacana kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang muncul sebagai dampak dari kebijakan penghematan pemerintah justru semakin menambah beban bagi mahasiswa dan keluarganya.

Agar Tukin Dosen Tidak Lagi Digantung

Ke depan, diperlukan skenario lain agar tukin dapat terbayarkan dan diatur secara spesifik. Pertama, pemerintah perlu membuat regulasi dan landasan hukum yang lebih jelas dan kuat serta mengikat terkait pemberian tukin bagi dosen, baik dari segi mekanisme pencairan maupun indikator penilaiannya.

Kedua, skema pendanaan bagi perguruan tinggi negeri perlu diperkuat. Pemerintah harus menyusun skema anggaran yang berkelanjutan agar tukin tidak hanya menjadi janji kosong setiap tahun. Hal ini dapat dilakukan dengan mengalokasikan dana pendidikan secara lebih proporsional dan memastikan bahwa alokasi tersebut benar-benar sampai kepada dosen, bukan hanya mengendap di birokrasi kampus.

Ketiga, transparansi secara digital dalam pengelolaan anggaran harus menjadi perhatian utama agar memungkinkan dosen untuk memantau proses pencairan tukin secara langsung. Selama ini, distribusi anggaran di beberapa perguruan tinggi masih menyisakan banyak tanda tanya. Tanpa adanya transparansi, kebijakan tukin bisa saja dimanfaatkan oleh segelintir pihak yang ingin mencari keuntungan pribadi. Keempat, pemerintah harus memahami bahwa persoalan tukin bukan hanya menyoal nominal uangnya, namun penghargaan dan martabat tenaga pendidik dengan menghadirkan ruang untuk kesejahteraan sepadan bagi para dosennya. Jika pemerintah serius ingin membangun pendidikan tinggi yang berkualitas, maka memastikan kesejahteraan dosen adalah langkah pertama yang harus dilakukan.

Jangan lagi dosen terus dipaksa untuk menormalisasi “pahlawan tanpa tanda jasa” sebagaimana yang dinyanyikan dalam himne guru, atau lelucon dosen dalam bahasa Jawa terdiri atas kata penggawean sak dos, bayaran sak sen (baca: banyak kerja, upah seadanya). Jangan pula dosen mengorbankan idealisme akademik atau bahkan terseret dalam sistem yang memaksa mereka melakukan praktik yang tidak etis.

Saatnya pemerintah menepati janji dan menjadikan tukin sebagai hak yang benar-benar terwujud, bukan sekadar wacana yang terus menggantung tanpa kepastian!

 

PROBO DARONO YAKTI

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular