Thursday, February 13, 2025
spot_img
HomePendidikanMomen Harlah TV9: Sejumlah Jurnalis dan Relawan Jatim Dorong Kolaborasi Literasi Digital

Momen Harlah TV9: Sejumlah Jurnalis dan Relawan Jatim Dorong Kolaborasi Literasi Digital

Sejumlah jurnalis dan relawan Jatim saat menjadi pembicara dalam momen Harlah ke-15 TV9, Jumat (31/1/2025). (foto: istimewa

Surabaya, – Kalangan jurnalis dari sejumlah media dan relawan anti hoaks Jatim mendorong adanya kolaborasi dalam literasi digital untuk menyikapi tantangan era digital yakni perlunya edukasi atau literasi digital untuk masyarakat dan regulasi untuk mengatur “media instan”.

Hal itu menjadi “kata kunci” dari sejumlah narasumber dalam Dialog Khusus bertajuk “Pers Indonesia dan Tantangan Jurnalisme Digital” pada Hari Lahir Ke-15 TV9 Nusantara di Kantor TV9 Surabaya, Jumat (31/1/2025) malam. TV9 Nusantara lahir di Surabaya pada 31 Januari 2010 lalu.

Narasumber dalam perbincangan itu adalah Ahmad Wiliyanto (Ketua IJTI Jatim/RCTI), Tomy Gutomo (Dirut Harian Disway), Gus Yusuf Adnan (Direktur “NU Online” Jatim), Dheni Ines Tan (Mafindo Jatim), dan Edy M Yakub (Penulis Buku “Kesalehan Digital”/LKBN ANTARA Jatim).

“Awalnya, munculnya platform digital menimbulkan kegelisahan kalangan pers karena masyarakat mulai melirik media digital sebagai sarana informasi, sehingga terjadi pergeseran dari media ke gadget, atau ada pemirsa TV yang hilang,” kata Ketua IJTI Jatim Ahmad Wiliyanto.

Jurnalis senior televisi itu menjelaskan kegelisahan itu muncul akibat dampak era digital dari sisi bisnis, sehingga memaksa media elektronik untuk turut melebur dalam dunia media digital/sosial, yakni melebur secara teknis dan konten.

“Itulah yang disebut konvergensi media. Secara teknis, TV pun harus menjadi platform TV di gadget/HP, lalu secara konten harus masuk ke jalur sebaran lewat YouTube, sekaligus memperhatikan informasi yang viral tapi produksi tetap melalui kaidah jurnalistik,” katanya, dalam perbincangan yang dipandu “host” TV9, Ely Prabowo.

Hal yang sama juga dialami media cetak yang juga terjun ke media online. “Ya, sekarang memang terjadi banjir informasi, sehingga masyarakat tidak bisa membedakan media yang benar dan salah, mana berita dan mana informasi,” kata Dirut Harian Disway, Tomy Gutomo.

Namun, katanya, dalam 3-4 tahun terakhir ada “kabar baik” dengan banyaknya masyarakat yang mulai mencari informasi yang benar, sehingga media online pun mulai berkembang, meski ada masalah dalam bisnis, karena pengunduh media online umumnya gratis dan menghindari iklan, apalagi ada kompetisi 1.500 dari 17.000-an media online terverifikasi.

“Secara bisnis pun ada masalah, karena ‘kue’ bisnis sekarang ada pada pemerintahan atau APBN/APBD serta algoritma Google, sehingga ada tantangan independensi, sehingga ada PR (pekerjaan rumah) dalam literasi untuk pemerintah dan Google. Alhamdulilah, Google mulai berbenah dan minta kualitas serta mencegah plagiasi,” katanya.

Sementara itu, Direktur “NU Online” Jatim Gus Yusuf Adnan menyatakan tantangan yang sama juga dihadapi media dengan publik yang segmented seperti NU Online, karena tantangan terbesar era digital adalah literasi pemirsa, kecepatan delivery konten, dan gempuran algoritma dari Google sebagai platform digital yang “mengatur” narasi global.

“Untuk itu, kita tidak harus terus mengekor atau menjadi follower, namun melakukan siasat dan kontrol/kendali, karena itu selain perlu kolaborasi dalam literasi untuk masyarakat, juga perlu ada regulasi media online dari kalangan eksekutif dan legislatif, sehingga ada penertiban ‘media instan’ itu,” katanya.

Perlunya edukasi/literasi digital untuk masyarakat dan regulasi untuk mengatur “media instan” itu pun didukung Dheni Ines Tan dari Mafindo Jatim. “Banjir informasi itu nggak bisa dihindari, kami ada di garda edukasi, mulai anak-anak hingga akademi digital lansia,” katanya.

Mafindo lahir pada 2016 untuk mengedukasi masyarakat dengan berbasis kerelawanan dan dukungan Komdigi/Google. “Saat ini, masyarakat sudah mulai teredukasi untuk membedah informasi melalui cek fakta, karena hoaks pun beragam. Tinggal, pemerintah membuat regulasi media online yang bersifat penertiban, bukan menunggu pelaporan saja,” katanya.

Soal pentingnya kolaborasi dalam literasi digital yang masif untuk menyikapi era digital juga menjadi catatan penting dari Edy M Yakub selaku penulis buku “Kesalehan Digital”. “Persoalan berat tapi penting adalah literasi digital, karena kemajuan teknologi digital masih bersifat kemajuan teknologi, bukan kemajuan manusia-nya,” katanya.

Jurnalis senior dari LKBN ANTARA Biro Jatim itu menambahkan ada dua persoalan di era digital yakni teknologi dan literasi, namun persoalan penting dan berat adalah literasi yang dalam “bahasa agama” bisa disebut Kesalehan Digital, karena penghuni dunia digital masih didominasi generasi non-digital, sehingga ada kegaduhan.

“Literasi itulah kesalehan digital, karena faktor penting era digital adalah manusia. Untuk saleh secara digital itu perlu kembali pada tiga keunggulan media massa yakni akurasi, etika, dan dokumentasi. Untuk akurasi itu perlu sanad/narasumber, untuk etika itu perlu mantan/ konten berbasis kode etik (bukan sepihak/imbang), untuk dokumentasi itu perlu rawi/rujukan/referensi yang kredibel (legal),” katanya.

(rils/rafel/tommy)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular