Tuesday, December 2, 2025
spot_img
HomeSains TeknologiLingkunganMikroplastik di Air Hujan Surabaya Ditemukan, Ancaman Baru atau Fenomena Lama yang...

Mikroplastik di Air Hujan Surabaya Ditemukan, Ancaman Baru atau Fenomena Lama yang Terabaikan?

ilustrasi.

SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Temuan partikel mikroplastik pada air hujan di Surabaya memantik kegelisahan publik. Diskusi di ruang digital maupun akademik menguat setelah laporan penelitian menunjukkan keberadaan mikroplastik di hujan yang turun di sejumlah wilayah kota. Kekhawatiran pun mengemuka: apakah air hujan kini menjadi sumber pencemaran baru bagi lingkungan dan kesehatan manusia?

Pakar sains dan teknologi lingkungan Universitas Airlangga, Dwi Ratri Mitha Isnadina, meminta masyarakat tidak terkejut. Menurutnya, kehadiran mikroplastik pada air hujan merupakan fenomena global yang sudah terjadi selama bertahun-tahun.

“Mikroplastik sudah banyak teridentifikasi pada media air seperti sungai dan laut. Saat air menguap, partikel ini ikut terangkut ke atmosfer dan akhirnya turun kembali bersama hujan. Jadi, temuan di Surabaya bukan sesuatu yang tidak terprediksi,” ujarnya, Kamis (27/11/2025).

Ratri menjelaskan bahwa mikroplastik adalah partikel berukuran 1 mikrometer hingga 5 milimeter, sementara partikel yang lebih kecil dikategorikan sebagai nanoplastik. Secara sumber, mikroplastik terbagi dua yaitu primer yang sejak awal berukuran mikro, seperti butiran scrub pada sabun wajah dan sekunder yang merupakan hasil penguraian plastik berukuran besar.

Aktivitas manusia menjadi penyumbang dominan, termasuk praktik pembakaran sampah. Pembakaran terkontrol di fasilitas resmi umumnya dilengkapi pengendali emisi, namun pembakaran terbuka yang masih lazim dilakukan, memungkinkan lebih banyak partikel plastik terlepas ke udara.

Ancaman Ekosistem dan Kesehatan

Meski tidak berdampak instan terhadap tubuh manusia, Ratri menilai mikroplastik menjadi ancaman serius bagi ekosistem. “Air hujan yang membawa mikroplastik akan mengalir ke sungai dan laut, kemudian dikonsumsi biota seperti ikan. Pada akhirnya, partikel ini masuk kembali ke tubuh manusia melalui rantai makanan,” jelasnya.

Pakar sains dan teknologi lingkungan Universitas Airlangga, Dwi Ratri Mitha Isnadina. (foto: dokumen pribadi)

Riset internasional menunjukkan mikroplastik mampu mengadsorpsi logam berat dan polutan berbahaya lainnya. Beberapa kajian ilmiah mengaitkannya dengan inflamasi hingga gangguan kardiovaskular, meskipun bukti klinis mengenai dampaknya terhadap kesehatan manusia masih berkembang dan belum sepenuhnya konklusif.

Menurut Ratri, upaya pengurangan mikroplastik tidak bisa dibebankan semata pada perubahan perilaku konsumen. “Kebijakan yang menyasar produsen justru memiliki pengaruh jauh lebih besar. Regulasi yang tepat dapat menekan produksi dan penggunaan material plastik sehingga beban pencemaran berkurang,” tuturnya.

Ia menambahkan, penelitian mengenai mikroplastik di Indonesia masih berlangsung. Jika mikroplastik kelak menjadi fokus regulasi lingkungan, parameter pemantauannya akan semakin ketat dan sistematis.

Di tengah derasnya informasi, Ratri mengimbau masyarakat agar tidak mudah terpancing alarmisasi. “Isu viral tidak selalu menggambarkan konteks ilmiah. Masyarakat perlu mencari informasi yang kredibel, memahami apakah fenomena tersebut benar-benar baru atau sebenarnya sudah terjadi lama. Dengan literasi yang baik, kita bisa merespons secara bijak,” pungkasnya.(*)

Kontributor: PKIP

Editor: Abdel Rafi

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular