Pada akhir-akhir ini, publik Indonesia ramai membicarakan revisi Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Setidaknya terdapat dua isu utama yang ramai dibicarakan publik dalam rencana revisi UU ini. Pertama, TNI meminta agar personelnya dibolehkan terlibat dalam aktivitas bisnis. Kedua, perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh tentara aktif. Argumen-argumen yang diajukan petinggi TNI dalam revisi UU ini patut dicermati secara kritis mengingat implikasinya pada demokrasi dan stabilitas geopolitik negara.
Terdapat beberapa argumen oleh para pejabat TNI mengenai dua sorotan publik ini. Tekait aktivitas bisnis, petinggi TNI menyatakan bahwa yang seharusnya dilarang berbisnis adalah institusi TNI, bukan personel TNI. Petinggi TNI mengatakan bahwa terdapat tentara maupun keluarganya yang menjalani aktivitas bisnis kecil-kecilan seperti memiliki warung kelontong atau ojek daring. Karena itu hal ini diakomodasi dalam peraturan legal. Sedangkan terkait masalah jabatan sipil, petinggi TNI mengatakan bahwa personel TNI memiliki kapabilitas kemampuan non-militer yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan negara. Petinggi TNI menyatakan bahwa tentara tidak hanya dilatih untuk berperang saja, melainkan juga memiliki beragam skill untuk pembangunan negara. Lebih lanjut, petinggi TNI menyatakan bahwa sangat disayangkan jika kemampuan personel TNI tersebut tidak dimanfaatkan untuk pembangunan negara. Terlebih prajurit TNI saat ini telah dilibatkan dalam berbagai hal, seperti penanggulangan bencana, modifikasi cuaca, pembukaan lahan dalam proyek food estate, penanggulangan wabah covid-19, dan sebagainya. Hal ini menandakan bahwa TNI kini memiliki peran yang multifungsi. Para petinggi TNI meyakinkan publik bahwa hal ini tidak akan mengembalikan TNI pada Dwi Fungsi ABRI sebagaimana pada masa Orde Baru.
Namun argumen para petinggi TNI mengundang beberapa kritikan. Pertama, meskipun petinggi TNI meyakinkan bahwa publik tidak perlu khawatir, namun wacana personel TNI untuk diijinkan berbisnis dan terlibat lebih luas dalam jabatan sipil akan tetap mengingatkan publik pada memori ABRI pada masa Orde Baru, dimana ABRI memiliki kuasa sosial-politik dan juga terlibat dalam bisnis secara masif. Aktivitas bisnis oleh para personel TNI dikhawatirkan akan menimbulkan atmosfer bisnis yang tidak sehat. Publik pun menduga-duga bahwa bisa jadi terdapat aktivitas bisnis yang lebih besar yang hendak dilegalkan oleh para personel TNI. Selain itu, publik meyakini bahwa keterlibatan personel TNI dalam aktivitas bisnis dikhawatirkan akan mengganggu fokus pada bidang pertahanan.
Adapun jabatan sipil yang lebih luas dapat diduduki oleh personel aktif TNI juga dikhawatirkan akan mengganggu promosi pegawai secara profesional. Budaya manajemen antara tentara dan sipil jauh berbeda, dimana budaya tentara lebih mengandalkan budaya komando. Publik khawatir bahwa penempatan militer di jabatan-jabatan sipil akan mengganggu supremasi sipil dan menciderai reformasi TNI yang diperjuangkan sejak reformasi 1998. Dalam negara demokratis, tentara profesional seharusnya berfokus sebagai alat negara dalam bidang pertahanan. Pun jika tentara terlibat dalam operasi militer selain perang, maka harus jelas batas, skala, dan waktunya.
Kedua, publik menilai bahwa seharusnya TNI berfokus pertahanan negara. Terlebih konstelasi geopolitik global sedang dalam kondisi tidak stabil. Di kawasan Indo-Pasifik misalnya, terdapat rivalitas China dan Amerika Serikat. Laut China Selatan menjadi titik panas geopolitik kedua negara besar tersebut. Terlebih over klaim antar negara-negara Asia Tenggara di kawasan tersebut menambah rumit penyelesaian isu tersebut. Indonesia tidak terlepas dari ketegangan di wilayah ini karena China pun mengklaim sebagian Laut Natuna Utara sebagai wilayah perairannya. Terlebih China aktif menerapkan Gray Zone strategy di sekitar kawasan Laut Natuna Utara. Ditambah dengan pembaruan doktrin militer China yang memungkinkan militernya dapat beroperasi jauh dari teritorinya.
Selain kawasan Laut China Selatan, kawasan Samudera Hindia juga menjadi tempat potensi konflik antara India dan China. Dimana China memperkuat posisisnya di sekitar kawasan Samudera Hindia dengan kehadirannya di Myanmar, Pakistan, Sri Lanka hingga Djibouti di Afrika. Sebaliknya, India memperkuat posisinya di Samudera Hindia dengan menempatkan personel-personel militernya di beberapa kepulauan pada kawasan tersebut untuk membendung perluasan pengaruh China melalui Pakistan dan Sri Lanka.
Di kawasan Pasifik dapat kita lihat juga perebutan pengaruh antara Amerika Serikat dan China, dimana kedua negara besar tersebut memperkuat pengaruhnya dengan mengadakan serangkaian perjanjian dengan negara-negara Pasifik. Amerika Serikat misalnya pada 2023, mengadakan perjanjian pertahanan dengan Papua Nugini yang memungkinkan prajurit, kapal, dan pesawat Amerika Serikat bercokol di negara tersebut. Terlebih Amerika Serikat dapat mengadakan kegiatan intelijen, pengawasan, dan pengintaian. Selain itu, Amerika Serikat dapat melakukan persiapan dan pengerahan pasukan dari Papua Nugini. Sedangkan China mengadakan kerjasama dalam bidang keamanan dan ekonomi dengan kepulauan Solomon. Kerjasama ini termasuk pemutusan hubungan antara Kepulauan Solomon dengan Taiwan.
Kontelasi geopolitik, baik di Pasifik, Samudera Hindia, maupun Laut China Selatan inilah yang seharusnya menjadi fokus perhatian TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan. Hal ini karena konstelasi geopolitik global dapat berpengaruh pada stabilitas dan pertahanan Indonesia.
Mencermati poin-poin di atas, maka permintaan petinggi TNI agar personelnya dapat berbisnis maupun dapat menduduki jabatan sipil yang lebih luas, jelas merupakan sebuah anomali. Di saat reformasi TNI sudah berjalan bertahap sejak era reformasi 1998, kini seperti hendak dikembalikan kembali tren sebagaimana era sebelum reformasi. Selain itu, di era kekinian saat militer negara-negara besar seperti Amerika Serikat, China, India, negara lainnya berlomba-lomba mencapai keunggulan geopolitik di kawasan Indo-Pasifik, TNI kini justru ingin mengurusi hal-hal yang bersifat non-pertahanan.
Mengamati perkembangan ini, penting bagi pemangku kepentingan untuk mempertimbangkan implikasi jangka panjang dari revisi UU TNI. Keterlibatan personel TNI dalam aktivitas bisnis dan jabatan sipil yang luas dapat mengingatkan kembali publik pada masa Orde Baru dan berpotensi mengganggu tugas utama TNI di bidang pertahanan. TNI harus tetap berfokus pada tugas utamanya sebagai alat pertahanan negara, terutama dalam menghadapi tantangan geopolitik kontemporer yang semakin kompleks. Menteri Pertahanan RI, Prabowo Subianto, pada 2023 menyatakan bahwa tugas TNI pada masa damai adalah masa persiapan untuk menghadapi masa konflik. Adapun kesejahteraan personel TNI menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhinya, bukan justru membuka pintu bagi personel TNI untuk berbisnis. Keterlibatan TNI dalam hal-hal non-pertahanan harus diatur dan dibatasi dengan sangat ketat untuk memastikan profesionalisme TNI. Dengan demikian, reformasi TNI yang telah berjalan tetap terjaga dan supremasi sipil tetap terjamin dalam sistem sosial politik Indonesia Indonesia. Semoga.
PRIHANDONO WIBOWO
Dosen FISIP UPN Veteran Jatim