Wednesday, November 6, 2024
spot_img
HomeGagasanMental Gratisan dan Revolusi Mental

Mental Gratisan dan Revolusi Mental

Syahganda Nainggolan

Soal mental memang menjadi kata kunci saat ini. Joko Widodo (Jokowi) meluncurkan istilah Revolusi Mental tahun 2014, di kolom Opini harian Kompas, yang menyoroti kelemahan mental penyelenggara negara yang rakus, korup, boros, suka minjam hutang asing, menyerahkan sumberdaya alam ke asing, dan absen dalam konflik horizontal. Melalui revolusi mental, Jokowi meyakinkan publik bahwa Indonesia bisa berubah menjadi bangsa besar. Bangsa yang mandiri, berdaulat dan tidak di bawah ketiak asing.

Mentornya Jokowi, Megawati Soekarnoputri, juga tidak kalah galak soal mental ini. Pada tahun 2015, sedikitnya Mega menuduh bangsa ini bermental budak karena keturunan budak. Hal itu disampaikan dalam kesempatan pidato di Lemhanas dan kampanye pilkada di Sulut. Menurut Megawati orang-orang Indonesia harus dilakukan pendekatan dengan paksa agar mau bekerja. Kalau tidak mereka pemalas.

Menteri Jokowi, Puan Maharani, pada tahun 2016 di Bali mengejek orang-orang miskin yang bersandar hidup pada beras raskin. Ini sebuah mental pengemis. Menurutnya, sebaiknya orang-orang miskin itu diet dan mengurangi makan saja.

Akhirnya, pada tahun 2017 ini, beberapa hari lalu, Menteri Keuangan Jokowi “menista” rakyat Indonesia sebagai rakyat bermental gratisan.

Menurut Sri Mulyani, Pemerintah fokus pada anggaran infrastruktur, kesehatan dan pendidikan. Ketiganya adalah gratis untuk rakyat.

Dari keempat penentu rezim Jokowi ini, Presiden Jokowi dalam Revolusi Mental sebenarnya memfokuskan pembahasan pada penyelenggara negara dan nation building. Sebaliknya, Mega, Puan dan Sri Mulyani menohok rakyat sebagai manusia nista. Rakyat yang tidak punya motivasi menjadi lelaku atau subjek dalam kehidupan yang ada. Namun, keterkaitan Revolusi Mental dengan ketiga orang tersebut juga terjadi ketika Jokowi menanyakan dari mana memulai revolusi mental itu? Jokowi, dalam tulisannya, mengatakannya dari manusia-manusia individuil. Sambil mengutip ayat Al-Quran yang menyatakan Allah tidak akan mengubah nasib sebuah kaum, kecuali keinginan kaum itu sendiri. Dus, oleh karenanya, kita tetap melihat isu mental antara Jokowi tahun 2014, Mega tahun 2015, Puan tahun 2016 dan Sri Mulyani tahun 2017 ada benang merah yang kuat: Mental rakyat Indonesia adalah mental gratisan.

Mental Gratisan

Tudingan mental gratisan bukanlah hal baru di dunia ini. Suatu peristiwa yang paling terkenal adalah di masa Inggris diperintah Margaret Thatcher, tahun 80an. Thatcher merombak sistem negara kesejahteraan Inggris dengan menghapuskan semua subsidi subsidi yang diberikan negara kepada orang orang miskin di sektor pendidikan, kesehatan, transfer bantuan langsung tunai, dan lainnya. Menurut dia, orang orang harus hidup berdasarkan hukum besi, “survival for the fittest“. Yang lemah biarkan mati. Karena dunia ini memang tidak pantas bagi manusia manusia lemah Dan orang orang produktif tidak boleh mensubsidi orang orang malas. Lalu, dikenanglah Thatcher sebagai Wanita Besi (Iron Lady).

Megawati, Puan dan Sri Mulyani tentu saja mempunyai prinsip yang sama. Yakni cara pandang bahwa orang-orang miskin adalah beban. Kita melihat dalam rezim Jokowi, harga-harga banyak yang dilepas kepada pasar dengan harga yang tinggi seperti BBM, listrik dan beras. Hal ini dilakukan karena tidak ada aturan legal yang membatasi pemerintah. Sebaliknya, pada pendidikan dan kesehatan itu tidak berani dilakukan, karena ada Undang-Undang dan Undang-Undang Dasar yang mengikatnya. Jadi dari sisi motif, sebenarnya hal ini hanya keterpaksaan. Inilah yang membuat adanya celaan rakyat bermental gratisan tersebut.

Salah Paham Soal Rakyat Kita

Apakah lebih malas orang Eropa di banding kita? Ini sekedar pertanyaan saja. Bukan untuk melihat produktifitas secara total, tapi melihat sisi kemalasan saja. Sebab, produktifitas menyangkut juga soal tekhnologi dan upah.

Di desa desa petani kita sudah bangun Subuh pukul 5. Lalu pergi ke sawah atau ladang pukul 6 pagi. Lalu mengerjakan sawah sampai siang. Istirahat. Lalu perempuannya menyiapkan makanan siang. Lalu mereka melanjutkan kerja sampe petang. Artinya, siklus produksi orang orang desa secara normal bekerja 12 jam.

Di Belanda, para petani mulai mengerjakan sawah atau mencabut umbi Tulip (Bulbs) pukul 7 pagi. Mereka istirahat siang hari. Lalu dilanjutkan sampe sore pukul 4. Artinya mereka bekerja 9 jam.

Bagaimana di industri? Buruh-buruh di pabrik di Indonesia mulai kerja pukul 8 pagi dan harus absen pukul 7 pagi. Mereka bekerja hingga pukul 5 sore. Umumnya lembur sampai pukul 9 malam. Rata-rata buruh di Indonesia bekerja 10 hingga 12 jam sehari.

Buruh buruh pabrik pembuatan kapal (shipyard company) di pinggiran Rotterdam Belanda, di mana saya pernah bekerja, mereka mulai bekerja sejak pukul 7 pagi. Pulang pukul 4 sore. Mereka umumnya menolak lembur. Rata-rata kerja 9 jam sehari.

Dari perbandingan di atas sesungguhnya bangsa kita adalah pekerja keras. Kita bukan bangsa pemalas. Itu situasi alami manusia Indonesia.

Lalu dimana sebenarnya letak kesalahan sehingga ada penistaan bahwa bangsa ini bermental budak, pengemis dan gratisan?

Apakah adanya situasi yang membuat rakyat kurang produktif terjadi karena persoalan struktural atau kultural? Apalah orang itu miskin, malas dan gratisan karena memang keturunan budak? Atau sebenarnya secara struktural rakyat ini tidak punya ruang gerak untuk hidup sejahtera? Inilah sebenarnya perdebatan lama dan klasik dalam madzhab teori pembangunan dalam menyoroti produktifitas rakyat.

Jokowi dalam analisanya pada tulisan Revolusi Mental, sebenarnya sudah tepat. Bahwa situasi hancurnya sistem kita disebabkan penyelenggara negara yang korup, boros, pengutang, jongos asing dan memperkaya diri. Setya Novanto dan kawan-kawannya misalnya, telah mengkorupsi hampir 50% proyek KTP Elektronik, di contoh lain birokrasi negara telah meminta sogokan untuk ijin-ijin pabrik dan perusahaan, proyek-proyek negara dialokasikan untuk menstimulasi proyek padat modal agar berbuah “kick back” atau bancakan yang lezat. Ini semua mengakibatkan hilangnya pasar yang sempurna, yang memungkinkan rakyat bisa berkinerja dengan baik.

Dampak lain adalah sempitnya labour market atau pasar tenaga kerja, bahkan setelah dilakukan fleksibilitas pasar. Penyerapan tenaga kerja per 1% pertumbuhan semakin kecil, hanya 200 ribuan saja. Padahal di masa Soeharto 1% menyerap 500.000 tenaga kerja.

Selain itu, upah buruh semakin kecil. Karena, disamping pengusaha yang rakus, pengusaha juga memotong upah buruh untuk biaya-biaya siluman tadi. Upah buruh terus-menerus kalah jauh di banding Malaysia dan Thailand.

Dengan persoalan struktural yang massif, tentu menyalahkan rakyat bermental gratisan bukanlah langkah yang tepat.

Tidak mungkin mengharapkan rakyat berbuat banyak jika penguasanya tidak menyelesaikan persoalan struktural yang ada, seperti korupsi, memanjakan asing, dan menciptakan upah murah.

Social Policy dan Human Investment

Apa yang disebut Sri Mulyani soal menggelontorkan dana yang besar kepada pendidikan dan kesehatan, perlu dicermati sebagai berikut:
(1) Social Policy saat ini merupakan kompromi kaum kapitalis dunia, di mana kapitalisme baru ditandai dengan human investment yang besar, agar manusia manusia yang tertinggal bisa di dorong masuk dalam pasar (market). Untuk itu Bank Dunia, di mana Sri Mulyani pernah memimpin, sudah faham dan menjadikan langkah ini sebagai inti program.
2. Terlepas dari urusan kapitalisme dan human investment serta human capital, pemerataan dan kualitas pendidikan menjadi cita-cita bangsa, yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.
3. Jumlah 20% anggaran pendidikan kita yang selalu diklaim besar itu, sebenarnya pun tidak sesuai riil-nya. Karena, jumlah itu merupakan akumulasi dari semua kegiatan pelatihan dan pendidikan di sektor-sektor kementerian, bukan dalam maksud pendidikan yang fundamental di sekolah.
4. Begitu juga anggaran kesehatan, yang seharusnya sudah dipatok 5% dari APBN. Kesehatan bangsa merupakan bagian dari kualitas manusia manusia kita. Apalagi dikaitkan dengan adanya bonus demografi dalam 15 tahun mendatang.

Lalu kenapa Sri Mulyani mengeluhkan itu dan menuduh rakyat senang gratisan?

Di sinilah rupanya kita akhirnya tahu Revolusi Mental yang ditulis Jokowi tahun 2014 lalu kandas di tengah jalan ataupun memang sekedar pencitraan menjelang Pilpres saja. Jawabannya kita tunggu.

Dr. SYAHGANDA NAINGGOLAN

Direktur Sabang Merauke Centre

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular