Thursday, April 18, 2024
HomeGagasanMengurangi Bersekolah

Mengurangi Bersekolah

daniel mohammad rosyid

Selama paling tidak 40 tahun terakhir ini, dunia, termasuk Indonesia, memang semakin giat bersekolah, tapi masyarakat dunia boleh dikatakan makin tidak terdidik. Dunia makin tidak aman, lingkungannya makin rusak. The world is much more schooled but less educated.

Banyak Pemerintah, lalu masyarakat, gagal membedakan antara pendidikan dan persekolahan. Makin lama bersekolah dianggap makin terdidik. Wajib belajar diartikan wajib sekolah. Tidak ada kekeliruan yang lebih besar dari ini.

Padahal pendidikan lebih merupakan urusan belajar, bukan bersekolah. Sekolah diciptakan sekitar 200 tahun lalu sebagai instrumen teknokratik untuk mendukung revolusi industri di Inggris. Sejak itu, persekolahan dibuka di banyak negara untuk mendukung sebuah masyarakat industrial. Sejak awal persekolahan tidak dirancang untuk mencerdaskan masyarakat apalagi mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreativiti serta karakter. Penyeragaman yang luas melalui standar praktis membunuh keberagaman berpikir, minat dan bakat di sekolah. Pembentukan karakter mensyaratkan pengakuan dan penghargaan pada keunikan personal murid. Standardisasi yang obsesif praktis menghancurkan karakter.

Sebelum zaman persekolahan itu, masyarakat belajar melalui cara-cara informal dan nonformal, melalui konsep berguru, bukan bersekolah. Di Indonesia masyarakat belajar di pondok pesantren melalui setting yang non-formal pada para kyai. Masyarakat Amerika Serikat (AS) sebelum kemerdekaannya, menggantungkan pendidikannya pada membaca buku. Saat ini, masyarakat AS justru kalah literasinya dibanding zaman Benjamin Franklin. Banyak orang menyangka bahwa begitu bersekolah setiap murid langsung belajar. Padahal banyak sekolah hanya tempat guru mengajar, bukan tempat murid belajar. Sekolah dirancang lebih untuk kepentingan guru dan Pemerintah, bukan untuk kepentingan murid dengan keragaman aspirasi, kemampuan, bakat dan minat.

Perlu dicatat bahwa belajar atau learning tidak pernah mensyaratkan formalisme persekolahan atau schooling. Contoh yang paling mutakhir adalah puasa selama ramadhan ini. Bulan ini disebut syahru madrasah, bulan belajar. Ini adalah sebuah proses belajar bersama secara sukarela, informal tanpa membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Melalui proses puasa sebulan penuh ini, jika dikerjakan sungguh-sungguh, pelakunya akan menguasai kompetensi muttaqin, insan bertakwa.

Syarat persekolahan untuk menjadi terdidik itu jelas diskriminatif dan eksklusif serta justru mempersempit kesempatan belajar bagi semua. Apalagi di zaman internet ini.

Ki Hadjar Dewantara telah mengamanatkan tri sentra pendidikan yakni keluarga, masyarakat, dan perguruan. Pendidikan bagi semua harus oleh semua, di mana saja, kapan saja. Setiap murid bisa belajar lebih dari 40 jam per minggu. It takes a village to raise (the character ofa child. Mengatakan (dengan diam-diam dan secara tidak langsung) bahwa pendidikan karakter itu hanya bisa dilakukan oleh guru di sekolah adalah menyesatkan dan mendegradasi keluarga.

Surabaya, 22 Juni 2017

DANIEL MOHAMMAD ROSYID

Guru Besar dan Aktivis Pendidikan Jawa Timur

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular