Thursday, October 9, 2025
spot_img
HomeGagasanKolomMengenang Berpulangnya Pipit Senja

Mengenang Berpulangnya Pipit Senja

Menjadi perempuan bukan berarti menjadi lemah. Justru dari luka-luka kecil yang tak terlihat, kami belajar bertahan, mencintai, dan melahirkan harapan.” — Pipit Senja (19), Biru yang Biru (1978).

Sastrawati Indonesia, Pipit Senja—nama pena dari Etty Hadiwati Arief—telah berpulang di usia 67 tahun pada 29 September 2025 semalam, setelah lama berjuang melawan sakit kronis yang mengharuskannya menjalani hemadialisis secara berkala.

Kepergiannya menandai akhir dari sebuah era sastra populer Indonesia yang pernah bersinar terang di dekade 1970-an, ketika suara perempuan mulai menemukan ruangnya di tengah dominasi narasi maskulin.

Pipit Senja melejit lewat karya pionirnya “Biru yang Biru” (1978), sebuah novel yang bukan hanya menyentuh sisi emosional pembaca, tetapi juga membuka jalan bagi penulis perempuan untuk mengekspresikan kompleksitas batin dan sosial mereka.

Bersama nama-nama seperti Marga T., La Ros, Titik Said, dan lainnya, Pipit Senja menjadi bagian dari gelombang sastrawati yang merajai rak-rak toko buku dengan novel-novel pop yang digemari lintas generasi.

Sebagian karyanya bahkan telah dialihwahanakan ke layar sinema, memperluas jangkauan narasi perempuan ke ruang audiovisual yang lebih luas.

Dalam buku “Proses Kreatif” (1982) yang disunting oleh Pamusuk Eneste, Pipit Senja mengungkapkan bahwa menulis bukan sekadar keterampilan, melainkan proses spiritual yang menyatu dengan denyut kehidupan. Ia menulis dengan tubuh yang rapuh, tetapi dengan semangat yang tak pernah padam.

Karya-karya lainnya seperti “Sepotong Hati di Sudut Kamar” (1979), “Serenada Cinta” (1989), dan “Mawar Mekar di Taman Ligar” (1980) menjadi bukti konsistensinya dalam mengolah bahasa menjadi ruang pengakuan dan perlawanan.

Pipit tidak hanya menulis kisah cinta, tetapi juga melukis lanskap batin perempuan yang bergulat dengan norma, harapan, dan luka.

Dalam refleksi terhadap pandangan strukturalisme yang menyatakan “matinya pengarang,” seperti yang dibahas dalam buku “Matinya Pengarang” (2002) yang disunting oleh mendiang filsuf-penyair Prof. Dr. Toety Heraty Noerhadi (1933-2021), Pipit Senja justru menunjukkan bahwa pengarang tidak pernah benar-benar mati.

Dikutip sebuah narasi dari buku ini, “Pengarang tidak lagi menjadi pusat makna, sebab makna lahir dari pembacaan yang tak pernah final.”

Kutipan ini menegaskan bahwa dalam paradigma poststrukturalisme, otoritas pengarang sebagai pencipta makna telah digeser.

Teks hidup dalam ruang interpretasi pembaca, bukan dalam niat atau biografi penulis.

Dalam konteks Indonesia, buku ini menjadi penting karena mengajak pembaca untuk melihat karya sastra sebagai medan tafsir yang dinamis, bukan sekadar cerminan kehendak pengarang.

Ia hidup dalam setiap kata, dalam setiap pembacaan ulang, dan dalam setiap jiwa yang tersentuh oleh tulisannya.

Pipit Senja telah pergi, tetapi jejaknya tetap abadi dalam sejarah sastra Indonesia.

Ia bukan hanya penulis, tetapi saksi zaman, penyintas tubuh, dan penjaga suara perempuan yang tak pernah berhenti berbicara.

Dalam sunyi, ia menulis. Dalam sakit, ia berkarya.

Dan kini, dalam kepergiannya, ia meninggalkan warisan yang akan terus dikenang. Selamat jalan, Pipit Senja. Kata-katamu tetap hidup.

#cover doa: Surah Yasin oleh Alshaikh Al Shuraim dan Alshaikh Abdul Rahman Al Sudais dirilis pada tahun 2011.

Rekaman ini merupakan bagian dari album “6 Surahs” yang diproduksi oleh Oriental Star Agencies Ltd, dan tersedia di berbagai platform seperti YouTube, Spotify, dan Hungama.

REO FIKSIAWAN

Penulis, tinggal di Sulawesi Utara

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular