Monday, December 9, 2024
spot_img
HomeHiburanMengapa Film Horor Kian Populer di Indonesia?

Mengapa Film Horor Kian Populer di Indonesia?

Salah satu film horor yang laris di Indonesia. (foto: istimewa)

Surabaya, – Film-film bergenre horor dan kriminal kian sering muncul di bioskop tanah air. Masyarakat Indonesia menunjukkan antusiasme yang sangat tinggi ketika beberapa film bergenre serupa rilis. Sebut saja “KKN di Desa Penari” dan “Vina: Sebelum 7 Hari”.

Menurut beberapa pengamat, tingginya antusiasme masyarakat Indonesia terhadap film produksi tanah air juga dipengaruhi oleh masifnya promosi lewat media sosial. Salah seorang pakar komunikasi media Igak Satrya Wibawa mengatakan bahwa film-film yang bergenre horor maupun kriminal sebenarnya terbantu oleh aspek lain di luar narasi, semisal pemasaran yang cukup gencar dari pihak produser.

“Sebagai contoh, film KKN Desa Penari yang ceritanya sudah viral dulu di media sosial. Bisa dibilang promosi yang masif juga memberikan efek positif, bahkan sebelum film itu dirilis,” katanya Igak -sapaan akrabnya- pada media ini.

Menurut Igak, film horor memiliki potensi yang lebih tinggi untuk diterima masyarakat Indonesia. Hal tersebut dipengaruhi oleh jalan cerita yang relatif sederhana dan dorongan adrenalin. Menurutnya, masyarakat cenderung ingin mencari sensasi ‘kaget’ atau ‘takut’ yang dialami saat menonton film horor.

“Saya pribadi kurang setuju kalau film ‘Vina’ bisa membantu mengusut kasus kriminal seperti yang dihebohkan di berita-berita. Selesai atau tidaknya sebuah kasus itu bukan peran film, tetapi kepolisian. Walaupun demikian, film ‘Vina’ bisa membantu mengangkat kembali isu kriminal yang belum terselesaikan. Itu memang erat kaitannya sama viral culture di Indonesia ketika pemerintah cenderung bertindak kalau kasusnya viral lebih dulu,” paparnya.

Di luar itu, lanjut Igak, film “Vina” juga menjadi pembicaraan hangat terkait kasus kriminal yang diangkat. Sejauh ini, ada dua pendapat mengenai isu tersebut. Pendapat pertama menganggap film “Vina” sudah menerobos batas moralitas karena produsen film menjadikan kasus pemerkosaan sebagai ladang untuk meraup keuntungan. Pendapat kedua justru menganggap film “Vina” sebagai film bergenre kriminal biasa yang tidak perlu dipermasalahkan.

“Sebenarnya ada banyak film yang mengangkat kasus kejahatan yang sudah rilis. Namun, problem dari film ‘Vina’ adalah adanya unsur eksploitasi di dalamnya. Batas-batas semacam itu yang kemudian menjadi kontroversi di masyarakat,” imbuh Igak.

Sudah banyak film bertopik kisah nyata, lanjut Igak, yang rilis di Indonesia, misalnya “Sum Kuning”, “Arie Hanggara”, dan “Marsinah”. Namun, ketiganya dirilis saat penggunaan media sosial tidak semasif sekarang. Kondisi semacam itu tentu berbeda dengan “Vina” maupun “KKN di Desa Penari” yang dirilis saat penggunaan media sosial sudah masif.

“Jelas media sosial memiliki peran besar dalam mengubah perilaku masyarakat. Misalnya, antusiasme masyarakat yang tinggi terhadap cerita horor di media sosial mendorong rumah produksi untuk menjadikannya film. Ke depannya, viral culture akan menjadi kontributor yang signifikan untuk memproduksi film di Indonesia,” pungkas pria yang juga dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Airlangga itu.

(khefti/rafel)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular