Monday, June 16, 2025
spot_img
HomeSosial BudayaMenembus Lumpur, Menjemput Harapan

Menembus Lumpur, Menjemput Harapan

Kerja kolektif antara TNI-Polri Dan BPBD bekerjasama dengan warga membersihkan dampak Longsor di Desa Sumberdadi, Kecamatan Trenggalek, Kabupaten Trenggalek, Minggu (18/5/2025). 

TRENGGALEK, CAKRAWARTA.com – Pagi baru saja menyapa Desa Sumberdadi, Kecamatan Trenggalek, Jawa Timur, Minggu (18/5/2025), saat puluhan orang menyingsingkan lengan baju. Hujan yang mengguyur sejak siang kemarin telah memicu longsor hebat di RT 06 RW 03. Jalan utama penghubung dusun lumpuh total. Bukan sekadar jalur transportasi, jalan itu adalah urat nadi ekonomi, pendidikan, dan kesehatan warga.

Bagi Kopral Dua Beni, Babinsa Desa Sumberdadi, pagi itu bukan waktu untuk laporan rutin. Ia datang lebih awal, sebelum matahari sempurna terbit, karena kabar dari warga semalam menyiratkan kegentingan.

“Saya tidak tega. Warga mengabari kalau jalan itu tertutup dan tidak bisa dilewati ambulans. Kalau ada yang sakit, bisa fatal,” ucapnya, sembari menyeka keringat.

Tak lama berselang, tim gabungan dari Koramil 0806-01/Trenggalek, Polres Trenggalek, dan BPBD tiba di lokasi. Beberapa datang dengan kendaraan operasional, lainnya menumpang mobil bak terbuka, menembus jalan berlumpur. Mereka datang bukan sekadar membawa alat, tapi menghadirkan negara dalam bentuk paling konkret: kehadiran dan kerja nyata.

“Bencana bukan alasan untuk diam. Justru inilah saatnya kita hadir di tengah rakyat,” kata Kapten Inf Agus Setiawan, Danramil 0806-01/Trenggalek, yang ikut turun langsung, tak peduli sepatu boots-nya sudah tenggelam lumpur.

Tak ada aba-aba dari pengeras suara. Warga, TNI, Polri, dan BPBD menyatu. Para pemuda karang taruna memikul batang bambu untuk penahan longsor sementara. Anggota polisi membantu mengatur kendaraan yang mencoba menembus jalur sempit yang mulai dibersihkan. Petugas BPBD menyiapkan rute jalur air darurat untuk mencegah longsor susulan.

Di tengah mereka, Agus, Ketua Karang Taruna Desa Sumberdadi, berdiri dengan mata berkaca-kaca. “Mereka datang tanpa tunggu perintah. Tidak ada batas antara aparat dan warga. Ini yang membuat kami merasa tidak sendiri,” ujarnya lirih.

Warga menyaksikan sendiri bagaimana aparat bekerja dalam diam dan peluh. Tak ada sorotan kamera. Tak ada tepuk tangan. Yang terdengar hanyalah derit sekop dan raungan traktor, menyatu dengan suara gemericik air hujan sisa malam.

Hingga sore hari, hasil kerja kolektif itu mulai terasa. Akses yang semula tertutup kini sudah terbuka sebagian. Motor dan pejalan kaki bisa melintas, membawa sembako, air bersih, dan harapan. Bagi sebagian orang, mungkin ini hanya jalan kampung. Tapi bagi warga Sumberdadi, jalan itu adalah simbol: bahwa mereka tak ditinggalkan.

Meski begitu, ancaman belum sepenuhnya sirna. BPBD Trenggalek terus mengingatkan warga untuk waspada, mengingat curah hujan masih tinggi dan kondisi tanah belum stabil.

Namun satu hal sudah teruji hari itu: ketika alam menguji, rakyat dan aparat menjawab dengan bahu yang siap memikul beban bersama. Tragedi di Sumberdadi menjadi pengingat bahwa kekuatan Indonesia bukan hanya pada gedung-gedung tinggi atau peralatan canggih, tapi pada tangan-tangan yang bekerja dalam diam dan hati yang tetap menyala dalam badai.

Di tengah lumpur dan hujan, kita menyaksikan sebuah definisi baru tentang nasionalisme—yang tak selalu memakai bendera, tapi hadir dalam tindakan nyata dan rasa peduli yang tak bisa dibayar oleh apapun. (*)

Kontributor: Arwang

Editor: Rafel

Foto: Arwang

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular