Tuesday, April 23, 2024
HomeGagasanMempertanyakan Kecakapan Jokowi Sebagai Presiden

Mempertanyakan Kecakapan Jokowi Sebagai Presiden

photo

Aksi sejuta umat Bela Islam pada Jumat (4/11/2016) dari Masjid Istiqlal ke Istana Merdeka disertai pula aksi di kota Medan, Makasar dan lainnya merupakan akumulasi ketidakcakapan Jokowi dalam mengantisipasi keadaan, sudah selama sebulan lebih masyarakat Indonesia resah terhadap perkataan Ahok menista Alquran, penegakan hukumnya tidak cepat, tidak segera dan tidak transparan.

Dua minggu sebelumnya puluhan ribu umat Islam lakukan demo membela Islam seri saru di Jakarta dari Istiqlal menuju Balaikota dan Bareskrim. Disertai demo di berbagai kota dengan tuntutan tunggal proses hukum segera Ahok yang telah menista agama. Sebagai Presiden RI, Jokowi selama itu diam membisu, tidak ada aksi menenangkan umat yang sudah sangat resah karena Alquran sebagai kitab suci umat Islam dihina dan dilecehkan. Jokowi justru lebih sibuk dengan hal “remeh-temeh” yang seharusnya dikerjakan oleh pembantunya, permasalahan yang sangat peka di tengah masyarakat yang bisa merusak persatuan, Jokowi malah diam. Seharusnya Jokowi sejak demo pertama umat Islam, secara terbuka menyatakan bahwa proses hukum terhadap Basuki Tjahaya Purnama, akan dilakukan, cepat, tegas dan terbuka.

Keresahan umat Islam telah hadir dan berkembang di tengah masyarakat dengan berbagai reaksi, di kedai, di warung dan di perkumpulan kecil atau reuni , di kegiatan sosial dan telah menjadi diskursus di media sosial, antar sahabat, antar saudara, teman sekerja, teman alumni telah terjadi diskusi panas kadang saling mengejek dan melecehkan ada juga yang berkembang menghina ulama baik dari sesama keyakinan maupun dari kalangan non-muslim. Suasana media sosial dan grup percakapan seperti Whatsap Group yang tadinya akrab saling bersilaturahmi baik sesama muslim dan non-muslim sudah mengarah kepada diskusi panas, suasana kekeluargaan dalam grup sudah tidak kondusif, akibat tidak cepat, tegas dan tranparannya proses hukum terhadap penista agama yang sudah berlangsung selama sebulan lebih.

Dalam kondisi tersebut Jokowi bukan lagi sebagai Presiden yang berusaha menenangkan rakyatnya dan menjaga persatuan malah diam seribu bahasa, padahal sebagai Presiden inilah tanggung jawab utamanya.

Jokowi baru bereaksi setelah beberapa hari mau diadakan demo besar-besaran oleh umat Islam dengan berkunjung ke Prabowo Subianto, dan mengundang pimpinan MUI, NU dan Muhammadiyah. Dalam pertemuan tersebut tidak ada perkataan Jokowi secara tegas malah mengambang. Mantan walikota Solo itu tidak memilih untuk menyampaikan keterangan pers setelah pertemuan dengan pemuka agama tersebut. Padahal Jokowi sebagai Presiden RI dengan tegas melalui dukungan rakyat yang diperolehnya, dapat menyatakan dengan tegas, “Hai rakyatku saya Presiden RI. Saya akan perintahkan kepada Kapolri dan Kejagung untuk melakukan proses hukum secara cepat, tegas dan transparan terhadap penista agama siapapun dia!” dan tidak perlu bermanuver macam-macam sehingga ekskalasi umat Islam yang demikian besar tidak terjadi.

Blunder Yang Fatal

Blunder yang paling fatal adalah Jokowi malah memilih keluar Istana untuk meresmikan sesuatu yang bisa diwakilkan kepada menterinya atau kepada Wakil Presiden. Padahal jauh hari pimpinan umat Islam menyatakan akan menyampaikan aspirasinya kepada Presiden Jokowi. Bukankah Presiden sudah mengetahui rakyatnya yakni umat Islam sudah hadir dan melaksanakan Sholat Jum’at di Masjid Istiqlal hingga meluber ke jalan-jalan di depan Kementerian Agama dan Hotel Borobudur.

Saya mengikuti perjalanan umat Islam dari Masjid Istiqlal sampai ke depan RRI dan selama perjalanan sangat merasakan getaran hati umat Islam yang sangat jelas karena telah disakiti akibat adanya pelecehan Alquran mereka oleh seorang pejabat publik yang notabene dekat dengan Presiden. Walau demikian sakit hatinya, aksi umat bela Islam dalam jumlah yang luar biasa tersebut berjalan tertib, lancar dan aman bahkan sampah pun ada bagian yang memunguti demi menghindari cemoohan para pihak yang kerap mencari kesalahan kecil dan keluar dari substansi pokok yang menjadi perjuangan umat Islam seperti terjadi pada Oktober lalu.

Bukankah dengan sedemikian kuatnya keinginan rakyat bertemu pemimpinnya dan besarnya jumlah mereka yang diperkirakan terbesar sepanjang sejarah demonstrasi di Indonesia, seharusnya Presiden cepat tanggap dan segera menerima utusan dari umat Islam sehingga aksi bisa cepat bubar dan tidak malah membiarkan berlama-lama.

Menarik ketika pihak Istana beralasan bahwa ketidakhadiran Presiden Jokowi kareba terhalang masuk Istana karena permintaan Paspamres, mudah- mudahan ini bukan kebohongan. Karena sejak kapan pintu Istana hanya satu? Bukankah di belakang Istana jalan Juanda kosong tidak ada umat yang berdemo.

Katakanlah jika ada demo pun sejak kapan Istana tidak ada helipad, jika Jokowi segera hadir di Istana dengan menerima utusan aksi umat bela Islam secara cepat, tidak akan ada alasan lagi buat pimpinan aksi masa untuk tidak membubarkan diri, apalagi jika Jokowi langsung tegas menyatakan akan melakukan tindakan proses hukum terhadap Basuki Tjahaja Purnama secara cepat, tegas dan transparan sebagaimana yang Jokowi sampaikan sewaktu tengah malam setelah jatuh korban dan aksi rakyat setempat yang tak terkendali di Luar Batang, Penjaringan Utara.

Sayang sekali Presiden Jokowi ternyata tidak cakap dalam memimpin bangsa ini, untuk hal-hal yang sensitif selalu terlambat.

Di tengah masyarakat sampai sekarang masih terjadi ke resahan hati, sensi dan tidak lagi solid, silaturahmi dalam grup media sosial sesama teman, alumni, kelompok kerja dan lainnya yang sebelumnya akrab, berganti dengan gesekan emosi, kadang terjadi saling melecehkan, menista dan mencaci antar sesama.

Pemimpin yang cakap seharusnya menyatukan rakyatnya, langsung bergerak ke depan guna meredam dan memberikan ketenangan jika terjadi kegelisahan di tengah masyarakatnya. Namun, sangat disayangkan sekali bangsa Indonesia kali ini, memiliki Presiden yang kurang cakap terhadap apa yang sedang berlangsung di tengah rakyatnya, hanya beralasan Kerja, Kerja, Kerja. Tanggung jawab dia sebagai pemersatu justru terabaikan. Sungguh ironis.

SJAFRIL SOFYAN

Aktivis77-78, Ketua Dewan Pakar IKA ITT/STTT  dan Wakil Ketua Litbang SI Pusat.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular