Kerjasama ekonomi dari bentuk yang sederhana seperti kerjasama antara petani dengan pedagang pengumpul, hingga bentuk kerjasama yang kompleks seperti kerjasama Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang sebentar lagi diberlakukan, sejatinya, mengedepankan asas resiprokal dan sama-sama untung.
Pada tingkat minimal – kebijakan negara termasuk kebijakan perdagangan – tidak boleh berdampak negatif bagi (warga) negara lain.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), hingga Maret 2014, dari jumlah penduduk miskin 28,28 juta orang, 63% tinggal di desa yang sebagian besar petani penggarap atau buruh tani. Mereka adalah produsen pangan sekaligus sebagai konsumen pangan, petani penggarap atau buruh tani menghadapi berbagai permasalahan
Hak asasi manusia untuk kecukupan pangan adalah hak asasi yang mendasar bagi setiap orang. Hak tersebut tercantum dalam pasal 11 Konvenan Internasional tentang Hak Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR). Lebih dari 150 negara telah meratifikasi ICESCR dan mereka wajib untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas pangan, bukan hanya bagi warga yang tinggal di dalam wilayah kedaulatan negaranya, namun juga bagi warga negara lain yang hidup di luar wilayah kedaulatan tersebut.
Grafik 1. EKSPOR PERTANIAN VERSUS IMPOR PERTANIAN, BPS 2014
Artinya, rakyat Indonesia harus memeras tandan buah segar sawit, atau harus mengeringkan biji kakao/biji kopi, atau harus memetik lada terlebih dahulu untuk memperoleh sejumlah uang membeli pangan impor, sayuran dan buah impor dan hasil ternak (susu dan daging) impor untuk sekedar menyambung hidup.
Sementara itu, kontribusi lapangan usaha pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun kian meningkat tiap tahunnya antara lain meliputi lapangan usaha tanaman bahan pangan, tanaman perkebunan, peternakan dan hasil-hasilnya, kehutanan dan perikanan. Investasi dalam negeri di sektor pertanian. Sedangkan, realisasi investasi dalam negeri didominasi sektor pertanian. Artinya, dari segi peluang bisnis sektor pertanian menjanjikan keberlanjutan keuntungan dan usaha bagi pemodal.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa gelombang impor pangan memengaruhi ketahanan pangan berdampak terhadap petani berlahan sempit dalam hal penghasilan, melemahkan kemampuan petani berlahan sempit untuk mencukupi kebutuhan pangan mereka sendiri, sehingga meningkatkan kemiskinan perdesaan oleh karena keterbatasan akses sumber daya produksi.
Oleh sebab itu, petani-petani harus mengusahakan pertaniannya dengan biaya produksi yang rendah, dan bernilai tambah, agar petani menerima harga yang layak untuk membeli pangan impor. Teori ekonomi mengajarkan bahwa biaya produksi rendah menjadi modal daya saing produksi. Apakah situasi ini berlaku juga bagi komoditas pertanian Indonesia, terutama daya saing dalam perdagangan MEA? Data Food and Agriculture Organization (FAO) Tahun 2013 memperlihatkan potret muram daya saing komoditas utama pertanian Indonesia. Peringkat daya saing komoditas pertanian Indonesia yang berjaya di kawasan ASEAN adalah ekspor cabai dan lada kering, ekspor pulp/kertas, ekspor produk perikanan kalah jauh dari Vietnam dan Thailand meskipun faktanya Indonesia adalah negara kepulauan, ekspor buah tropis segar dibawah satu peringkat dari Filipina, ekspor cengkeh kalah jauh dari Singapura.
Premis bahwa kerjasama perdagangan haruslah menguntungkan, marilah kita tengok apa yang diatur oleh MEA dalam gambar berikut ini:
Salah satu pilar MEA yakni terbentuknya pasar dan basis prduksi tunggal ada lima kata “Bebas” disana, yakni bebas arus barang, bebas jasa, bebas investasi, bebas tenaga kerja dan bebas arus permodalan. Dan satu program yang sepertinya menjadi keunggulan daya saing Indonesia yakni pengembangan sektor Food-Agriculture-Forestry. Namun, sejauhmana prediksi dampaknya terhadap petani Indonesia? Berikut ini rincian dampak MEA bagi sektor pertanian dan petani:
- Penurunan /penghapusan tarif impor:
- Harga benih dan pakan impor, harga pupuk impor lebih murah, dibandingkan harga benih dan pakan lokal bersertifikat dan harga pupuk bersubsidi (karena ada wacana subsidi pupuk akan dihapuskan)
- Penetapan pajak ekspor:
- Harga tingkat petani ditekan, atau harga tingkat dunia ditingkatkan, dan kombinasi keduanya
- Perbedaan tingkat upah usaha tani dengan upah perkotaan:
- Kelebihan pasokan tenaga kerja di usaha tani lebih besar dari pasokan tenaga kerja perkotaan yang terdidik, sehingga tingkat upah di usaha tani lebih rendah dari tingkat upah di perkotaan
- Beragam mekanisme standardisasi usaha tani ramah lingkungan:
- Pengetahuan petani tentang Good Agricultural Practices (GAP) melalui penyuluhan, belum mampu membuat petani meninggalkan pola lama, karena besarnya risiko kegagalan hasil panen dan tingginya biaya usaha tani menerapkan GAP
- Menyuburkan praktek pinjaman berbunga tinggi melalui tengkulak dan institusi pembiayaan beragunan kendaraan bermotor dan hewan ternak.
- Mahalnya biaya usaha tani dan risiko hasil dikompensasi petani dan nelayan melalui pinjaman kepada tengkulak.
- Industri pangan Indonesia merupakan industri yang memiliki kandungan impor tinggi dan berorientasi pasar domestik sangat terpukul akibat depresiasi Rupiah. Depresiasi Rupiah tidak berhasil meningkatkan ekspor komoditas unggulan pertanian karena permintaan komoditas pertanian dunia melemah dan juga elastisitas produk ekspor unggulan pertanian bersifat inelastic.
Daya dukung pemerintah melalui belanja fiskal di tahun 2016 akan diupayakan melalui peningkatan belanja 10 Kementerian/Lembaga, salah satunya yang terbesar adalah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan yang terkecil belanja Kementerian Pertanian. Nampaknya, fokus pembangunan infrastruktur lebih utama ketimbang memperkuat sektor pertanian termasuk peningkatan posisi tawar petani.
Tabel 2. Belanja 10 Kementerian/Lembaga Terbesar Tahun 2016, Kementerian Keuangan RI
Perangkat kebijakan lainnya terkait sektor pertanian adalah UU Desa, yang menjadikan desa sebagai pemutar roda ekonomi. Namun, perangkat kebijakan perdagangan dan industri di desa belum sepenuhnya disiapkan, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan koperasi serta Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), masih terkendala banyak hal, meskipun barusaja pemerintah menggulirkan Paket III Kebijakan Ekonomi, salah satunya Kredit Usaha, yang diturunkan dari 22% menjadi 12%.
Semoga sektor pertanian dan petani Indonesia, mengambil manfaat dari kerjasama ekonomi MEA yang serba “Bebas” itu, jika tidak bermanfaat, tak ada ruginya jika Indonesia menyatakan mundur dari kerjasama perdagangan MEA, tapi, apakah mau dan bisa?
DINA NURUL FITRIA
Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi Pertanian IPB