Sunday, December 8, 2024
spot_img
HomeSosial BudayaLestarikan Cagar Budaya, ALIT Indonesia Gelar Diskusi di Candi Songgoriti

Lestarikan Cagar Budaya, ALIT Indonesia Gelar Diskusi di Candi Songgoriti

Direktur ALIT Indonesia Yuliati Umrah (tengah, berkacamata) saat memberikan sambutan pada Forum Diskusi Kebudayaan di halaman Candi Songgoriti, Batu, Sabtu (15/4/2023). (foto: Alit Indonesia)

BATU – Candi Songgoriti merupakan salah satu candi tertua di Jawa Timur yang merupakan salah satu bukti sejarah peradaban era akhir kerajaan Mataram Kuno di abad ke VIII. Candi yang memiliki keistimewaan yakni dikelilingi 3 sumber air panas, dingin dan hangat ini menjadi salah satu destinasi unggulan Kota Batu untuk tujuan wisata alam.

Seluruh warga desa sekitar candi, mengenal candi ini sebagai candi yang memberikan manfaat air kesehatan yakni air panas yang terus memancar dari badan candi dan dimanfaatkan sejak dulu kala oleh warga desa setempat untuk mandi maupun untuk keperluan kesehatan.

Kehadiran Candi Songgoriti dan sumber air panasnya turut serta membentuk ekosistem budaya masyarakat setempat. Diantaranya seperti tradisi ruwatan desa, sedekah bumi serta menjaga dan membersihkan candi rutinan setiap bulan purnama karena warga desa merasa mendapatkan berkah kebaikan dan kesehatan dari kehadiran candi ini.
Sayangnya, antusiasme warga dalam menjaga kelestarian candi ini harus diwarnai dengan berbagai permasalahan akan status dan dugaan eksploitasi air dari cagar budaya di Desa Songgokerto ini.

Sejalan dengan hal tersebut, ALIT Indonesia menggelar forum diskusi yang mengundang para ahli, untuk mendapatkan berbagai perspektif terkait dengan permasalahan ini, Sabtu (15/4/2023).

Diskusi ini dihadiri oleh para sesepuh desa dan tokoh pemuda desa Songgokerto serta para pegiat budaya dari beberapa daerah seperti Kabupaten Malang, Surabaya, Kota Malang dan Sidoarjo. Sekitar 30 orang hadir dalam diskusi ini.

Endah Budi Heryani, Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XI, membuka diskusi dengan memberikan sambutan. Ia menjelaskan terkait dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur pelestarian cagar budaya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2022 tentang Register Nasional dan Pelestarian Cagar Budaya.

“Pada pasal 57 disebutkan bahwa Pelestarian Cagar Budaya dapat meliputi Perlindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan. Dijelaskan pula bahwa, setiap orang atau komunitas bisa ikut serta dalam proses pelestarian budaya,” ujarnya.

Yuliati Umrah selaku Direktur Eksekutif Yayasan ALIT Indonesia, juga memberikan sambutan dalam acara ini. Ia melihat banyak potensi luar biasa yang ada di kawasan Songgoriti. Sehingga, ALIT memiliki ide untuk membuat wilayah tersebut sebagai desa budaya yang lebih ramah anak.

“Dengan candi sebagai center sekaligus tempat anak-anak desa sekitar bisa mengenal lebih dalam tentang sejarah di wilayahnya,” tukasnya dalam kesempatan itu.

Sayangnya, ide tersebut, lanjut Yuli,  disambut kurang baik oleh beberapa investor dan pengusaha di sekitar, yang merasa bahwa ALIT berpotensi mengganggu mereka dalam mengakses sumber air panas yang ada di candi tersebut.

“Hal ini yang kemudian membuat Tim ALIT ingin melihat lebih jauh terkait sejarah candi Songgoriti dan berbagai masalah atau sengketa yang melingkupinya,” imbuh Yuliati Umrah.

Selanjutnya, sambutan disampaikan oleh Mishariadi, selaku Kamitua atau perwakilan warga sekitar. Ia menyampaikan keluhan warga terkait dengan bagaimana para investor dan pengusaha di sekitar Candi hanya memanfaatkan sumber air yang ada saja, tanpa melakukan sesuatu untuk merawat kelestarian alam dan budaya yang ada di Candi Songgoriti.

Sementara Direktur LBH Surabaya, Abdul Wachid Habibullah menjelaskan proses konservasi air dan cagar budaya dalam kacamata hukum. Pihaknya menyinggung berbagai contoh kasus lain yang serupa terkait dengan maraknya kasus privatisasi air yang dilakukan oleh para pengusaha di kota Batu, sebagai efek samping dari masifnya branding Kota Wisata.

Myrtati Dyah Artaria, Guru Besar Antropologi FISIP Universitas Airlangga (ketiga dari kiri) saat memberikan materi pada Forum Diskusi Kebudayaan di halaman Candi Songgoriti, Batu, Sabtu (15/4/2023). (foto: Alit Indonesia)

“Candi Songgoriti dilihat dari landscape dan situs cagar budayanya, wilayah ini seharusnya masuk dalam wilayah lindung. Ini berarti wilayah ini merupakan wilayah yang harus dijaga dan tidak boleh ada tindakan eksploitasi sumberdaya secara besar-besaran,” ujarnya.

Sementara Endah menambahkan, terkait dengan rancunya administrasi dan kepemilikan wilayah masuk di Kabupaten Malang atau Kota Batu. Terdapat permasalahan politik antara wilayah Kota Batu dan Kabupaten Malang, yang membuat candi menjadi terbengkalai.

“Ini harus ada tindak lanjut, untuk memperjelas status kepemilikan dan administrasi dari candi Songgoriti,” ujarnya tegas.

Selanjutnya, pematerinya adalah Retno Hastijanti. Ia berfokus mengenai penjelasan terkait dengan bagaimana mem-branding kembali situs candi dan berbagai potensi budaya yang ada di desa.

“Ini dilakukan dengan harapan anak-anak dan remaja di sekitar, bisa lebih tertarik dan peduli akan sejarah dan potensi budaya yang ada, sehingga diharapkan di kemudian hari dapat meningkatkan pendapatan wilayah dari sector wisata. Namun dengan branding dan kegiatan yang lebih positif bagi anak-anak dan warga sekitar,” tukasnya.

Sukarno, selaku Ketua RW 1 sekaligus perwakilan warga sekitar, menyampaikan keinginan warga akan kejelasan pengelolaan candi, sehingga warga mendapatkan akses untuk mengelola, melestarikan, dan merawat candi Songgoriti.

Pemateri terakhir adalah Myrtati Dyah Artaria, Guru Besar Antropologi FISIP Universitas Airlangga, menjelaskan bagaimana potensi budaya tak benda ini juga bisa menjadi potensi yang dapat dieksplorasi lebih lanjut.

 

“Apalagi persoslam air ini memiliki peran penting dalam peradaban manusia dan memperbaiki citra candi sebagai tempat yang lebih positif,” ujarnya.

Diskusi kebudayaan itu menghasilkan 4 hal yang harusnya menjadi perhatian bersama dan semua pihsk. Pertama, destinasi wisata berbasis budaya dengan candi sebagai sentrum tradisi-tradisi yang dilahirkan dan dilestarikan warga lokal. Kedua, destinasi wisata ramah anak harus segera dikembangkan, untuk menghapus stigma buruk yang ada tentang Songgoriti yang lekat dengan stigma sex tourism. Ketiga, cagar budaya yang menjadi bagian utama budaya lokal setempat harus lestari, namun terkendala dengan adanya masalah privatisasi air panas yang jadi bisnis utama pelaku wisata yang makin menjauhkan candi dari peran masyarakat.

Terakhir, permasalahan politik kedua wilayah, Kota Batu dan Kabupaten Malang, membuat candi tertua ini justru makin terbengkalai dengan sisi lain sumber airnya menjadi bisnis kelompok privat.

Di akhir diksusi, semua pihak yang hadir sepakat bahwa butuh atensi dari pemerintah provinsi dan pusat untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada di candi yang berpotensi membuat candi lebih terabaikan. Peran warga sangat patut diapresiasi negara secara konkrit dengan mendorong rebranding wisata Songgoriti yang berbudaya dan ramah anak. Juga warga bisa mendapat akses dalam menjaga dan melestarikan situs ini dari perusakan dan penggunaan yang tidak semestinya.

(riris/bti)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular