
JOMBANG, CAKRAWARTA.com – Ribuan jamaah memenuhi halaman Masjid Al-Firdaus, Dusun Paritan, Desa Keras, Kecamatan Diwek, Selasa (4/11/2025) malam. Suasana religius terasa khidmat saat gema doa, istighosah, dan lantunan salawat mengiringi pelaksanaan Lailatul Ijtima’ yang digelar oleh Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Diwek.
Kegiatan yang diawali dengan salat Isya berjamaah itu dilanjutkan dengan kajian kitab At-Tibyan karya Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari, sang pendiri Nahdlatul Ulama. Kajian disampaikan oleh Gus Variz Muhammad Mirza, cicit langsung dari Mbah Hasyim, yang tampil dengan gaya khas santri muda Tebuireng yang hangat dan menginspirasi.
Ketua Tanfidziyah MWCNU Diwek, KH Hamdi Sholeh, menegaskan bahwa kegiatan seperti Lailatul Ijtima’ bukan sekadar tradisi, melainkan upaya menghidupkan kembali ajaran para muassis (pendiri) NU.
“Sampeyan harus bisa menghidupkan Mbah Hasyim Asy’ari kembali,” pesan KH Hamdi kepada Gus Mirza.
“Setelah At-Tibyan, semoga nanti bisa dilanjutkan dengan kajian Arba’ina Haditsan.” imbuhnya.
Kiai Hamdi mengingatkan, amalan yang diwariskan Mbah Hasyim harus terus dijaga dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya melalui salat tasbih, yang walaupun berat, minimal dilakukan sekali seumur hidup.
“Minuman yang nikmat, jika dituangkan ke cangkir yang kotor, tentu tidak akan enak diminum. Begitu pula diri kita, karena amalan adalah wasilah untuk menyucikan hati,” ujarnya.
Ia juga menegaskan bahwa mengikuti Lailatul Ijtima’ merupakan bentuk pengakuan spiritual sebagai santri Mbah Hasyim.
“Mbah Hasyim punya beberapa gerbong menuju surga. Salah satunya Tebuireng, tapi yang paling besar bernama Nahdlatul Ulama,” katanya.
Sementara itu, KH Fahmi Amrullah Hadzik, Ketua PCNU Jombang sekaligus pengasuh Pondok Tebuireng Putri, menjelaskan bahwa Lailatul Ijtima’ adalah sarana mempererat ukhuwah dan meneladani ajaran ulama.
“Lailatul artinya malam, ijtima’ artinya berkumpul. Tapi ini bukan kumpul-kumpul biasa, apalagi di tempat maksiat. Ini wadah untuk memperkuat silaturahmi dan meneguhkan nilai keagamaan,” ujarnya.
Kiai Fahmi juga menyinggung tradisi khas NU yang sarat nilai sosial dan rasa syukur. Dengan gaya jenakanya, ia membandingkan dengan program pemerintah.
“Kalau Pak Presiden Prabowo punya program Makan Bergizi Gratis, NU sejak dulu sudah punya MBG juga yakni Makan Berkat Gratis,” katanya disambut gelak tawa jamaah.
“Makanya orang NU jarang kurus. Kalau kurus, mungkin karena jarang ikut Lailatul Ijtima’,” lanjutnya berseloroh.
Dalam kesempatan yang sama, Gus Mirza mengingatkan pentingnya memahami 40 prinsip dalam kitab Arba’ina Haditsan karya Mbah Hasyim. Ia juga mengutip dawuh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) agar NU tidak dijadikan alat politik.
“Ciri khas orang NU itu lugu, ikhlas, dan suka kumpul-kumpul. Ada makanan disyukuri, tidak ada juga tidak apa-apa,” tuturnya ringan.
“NU bukan obor besar yang menyala di Jakarta, melainkan lilin-lilin kecil yang menerangi setiap desa,” pungkasnya, disambut tepuk tangan dan haru para jamaah.
Acara kemudian ditutup dengan doa bersama yang dipimpin oleh KH Nurul Fuad, Wakil Ketua PCNU Jombang. Dalam hening malam, ribuan jamaah menengadahkan tangan, berharap keberkahan dari perjuangan para ulama terdahulu.(*)
Kontributor: Hari Prasetia
Editor: Abdel Rafi



