
JAKARTA, CAKRAWARTA.com – Genap satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto, sorotan publik kini tertuju pada ambisi besar pemerintah dalam mengejar pertumbuhan ekonomi di tengah ancaman tekanan fiskal dan kualitas sumber daya manusia yang belum siap menghadapi transformasi digital.
Kritik itu mengemuka dalam diskusi publik bertajuk “Refleksi dan Proyeksi: Satu Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran” yang digelar oleh Keluarga Alumni Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAKAMMI), Sabtu (1/11/2025) malam. Acara yang berlangsung daring melalui Zoom Meetings ini menghadirkan Handi Risza, ekonom dan Wakil Rektor Universitas Paramadina, sebagai narasumber utama.
Dalam paparannya, Handi menilai arah kebijakan fiskal tahun 2026 berpotensi menghadapi tekanan berat. Sejumlah program besar yang menjadi unggulan pemerintahan Prabowo, menurutnya, memiliki konsekuensi fiskal yang signifikan.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) senilai Rp 335 triliun, pembentukan Danantara Fund sebesar 20 miliar dolar AS (sekitar Rp 326 triliun), serta rencana 80.000 Koperasi Merah Putih dengan total dana Rp 400 triliun, disebut Handi sebagai kebijakan ambisius yang perlu dikawal ketat agar tidak menjadi beban APBN.
“Defisit APBN 2026 diproyeksikan melebar ke 2,68% dari PDB, atau sekitar Rp 689 triliun, naik dari target sebelumnya 2,48%. Jika tidak hati-hati, tekanan fiskal ini bisa menggerus ruang belanja produktif pemerintah,” ujar Handi.
Ia menegaskan bahwa strategi pemerintah seharusnya lebih realistis dan fokus pada efisiensi investasi. Rasio efisiensi investasi (ICOR) Indonesia yang masih mencapai 6,5, menurut Handi, terlalu tinggi dibanding rata-rata negara ASEAN yang berkisar antara 4,0 hingga 5,0.
“ICOR kita tinggi karena kebocoran anggaran, regulasi rumit, dan birokrasi yang belum efisien. Pemerintah harus memperbaiki tata kelola investasi agar setiap rupiah belanja publik benar-benar produktif,” katanya.
Selain soal fiskal, Handi juga menyoroti tantangan mendasar pada kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Ia mengingatkan bahwa transformasi ekonomi digital tidak akan berjalan tanpa fondasi pendidikan dan keterampilan yang kuat.
“Sebanyak 38,8% tenaga kerja Indonesia masih lulusan SD ke bawah, dan indeks pendidikan kita masih tertinggal dari negara tetangga,” ujarnya.
Jika tidak segera dibenahi, lanjut Handi, bonus demografi yang sering diagungkan justru bisa berubah menjadi bumerang ekonomi. “Kita butuh strategi SDM yang konkret, bukan sekadar program populis. Dunia bergerak cepat, tapi kesiapan manusianya masih tertinggal,” tegasnya.
Ia juga menilai bahwa pembangunan manusia seharusnya menjadi prioritas utama agar pertumbuhan ekonomi yang dikejar tidak bersifat semu. “Peningkatan produktivitas tenaga kerja adalah kunci. Tanpa itu, pertumbuhan ekonomi hanya akan bergantung pada belanja negara,” tambahnya.
KAKAMMI: Kritik yang Konstruktif
Wakil Ketua KAKAMMI, Yudha A. Wiranagara, mengatakan diskusi ini bertujuan menghadirkan ruang intelektual yang kritis namun konstruktif. “KAKAMMI ingin mendorong publik tetap rasional dan objektif. Kita tidak menolak kebijakan pemerintah, tetapi mengingatkan agar setiap program ekonomi benar-benar berlandaskan efisiensi dan keadilan sosial,” ujarnya.
Menurut Yudha, tantangan ekonomi tahun 2026 tidak hanya soal angka-angka di neraca, tetapi juga soal moral dan integritas kebijakan publik. “Kebijakan ekonomi tidak boleh kehilangan ruh keadilan sosial. APBN harus menjadi alat keberpihakan terhadap rakyat kecil, bukan sekadar instrumen akumulasi kekuasaan ekonomi,” tegasnya.
Diskusi yang berlangsung dua jam itu diikuti ratusan peserta dari kalangan akademisi, aktivis, dan masyarakat umum. Antusiasme peserta menunjukkan tingginya perhatian publik terhadap arah kebijakan ekonomi nasional di bawah pemerintahan baru.
Dalam penutupnya, KAKAMMI menegaskan komitmennya untuk terus menjadi mitra kritis pemerintah dalam mengawal kebijakan publik. “Kami tidak berdiri di posisi oposisi, tetapi di posisi nalar, menjaga agar ambisi ekonomi tetap berpijak pada rasionalitas fiskal dan keadilan sosial,” ujar Yudha.
Refleksi KAKAMMI menegaskan satu pesan penting bahwa pertumbuhan ekonomi yang kokoh tidak cukup hanya dengan anggaran besar, tetapi dengan tata kelola yang bersih, manusia yang siap, dan moral kebijakan yang teguh.
Satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto menunjukkan semangat besar untuk mendorong ekonomi nasional. Namun, sebagaimana diingatkan KAKAMMI dan para ekonom, pertumbuhan tanpa disiplin fiskal bisa berujung pada jebakan defisit. Dalam politik anggaran, kehati-hatian sering kali lebih bijak daripada gebrakan. Negara harus belajar menakar langkah, antara ambisi dan kemampuan, antara janji dan realitas.(*)
Editor: Abdel Rafi



