
JAKARTA, CAKRAWARTA.com – Kelangkaan beras premium yang melanda sejumlah pasar modern belakangan ini bukanlah soal kekurangan produksi, melainkan buntut dari kekacauan distribusi yang kian tak terkendali. Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI) menuding bahwa minimnya transparansi pemerintah dan kepanikan pelaku usaha telah menjebak konsumen dalam pusaran ketidakpastian.
“Yang terjadi sekarang bukan krisis pangan, melainkan krisis distribusi. Konsumen menjadi korban karena negara dan pelaku usaha gagal memberikan kepastian,” tegas Tulus Abadi, Ketua FKBI dalam keterangannya, Sabtu (23/8/2025) pagi.
Kasus beras oplosan yang diusut Satgas Pangan Bareskrim Polri berbuntut panjang. Penarikan massal produk di ritel besar seperti Alfamart dan Indomaret, ditambah penahanan stok oleh produsen dan distributor, lanjut Tulus, menyebabkan rak-rak kosong di berbagai daerah. Akibatnya, konsumen panik dan panic buying pun tak terhindarkan.
Alih-alih menenangkan, langkah ini justru memperparah keadaan. “Langkah kehati-hatian yang diambil ritel dan produsen malah memperburuk situasi. Konsumenlah yang menanggung akibatnya yaitu harga naik, stok langka, kualitas tak jelas,” ungkap Tulus.
Surat Telegram Kapolri yang memerintahkan distribusi ulang dalam dua hari, lanjutnya, ternyata gagal di lapangan. Produsen dan pedagang tetap takut melepas stok karena khawatir terseret pidana. Alhasil, konsumen terhimpit dalam situasi tanpa kepastian.
Menurut FKBI, masalah makin runyam karena pemerintah bungkam. Minimnya komunikasi publik memberi ruang luas bagi disinformasi, spekulasi harga, hingga praktik penimbunan oleh pedagang besar.

Tulus menegaskan, konsumen punya hak atas informasi yang jujur, jelas, dan akurat mengenai pangan yang mereka beli, sebagaimana dijamin oleh UU Perlindungan Konsumen dan UU Pangan.
Karena itu, lanjutnya, pihak FKBI mendesak agar beberapa hal berikut ini:
- Audit dan sertifikasi produk dipercepat agar distribusi bisa normal kembali tanpa menakut-nakuti pelaku usaha.
- Kementan lebih transparan dalam wacana penghapusan beras premium, karena kebijakan gegabah justru bisa kontraproduktif.
- Ritel dan produsen buka jalur komunikasi publik, bukan sekadar diam dan menunggu arahan.
- Organisasi konsumen dilibatkan dalam mekanisme pengawasan, supaya kebijakan pangan tak hanya berorientasi pada penindakan hukum, tetapi juga perlindungan hak masyarakat.
“Cukup sudah konsumen diperlakukan sebagai korban. Negara harus hadir bukan hanya dengan ancaman hukum, tetapi dengan solusi yang melindungi hak masyarakat atas pangan berkualitas,” tutup Tulus.
FKBI menegaskan, tanpa transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi konsumen, kebijakan pangan hanya akan menjadi drama berkepanjangan, dengan konsumen sebagai penonton sekaligus korban utama. (*)
Editor: Abdel Rafi



