“Bulan pertama berseri-seri
Bulan kedua menyesuaikan diri
Bulan ketiga saling iri
Bulan keempat saling menutup diri
Bulan kelima jalan sendiri-sendiri.”
Ini puisi yang pernah ditulis para aktivis pemuda di Surabaya. Mereka menyindir pasangan koalisi walikota-wakil wali kota (mungkin benar mungkin pula salah), hasil pemilukada di banyak daerah yang menurut para aktivis itu hanya kompak beberapa bulan saja pasca pemilukada. Setelah itu kongsi politik (koalisi) pecah. Walikota dan wakil walikota saling menjauh. Jalan sendiri-sendiri.
Gejala ini meskipun naif, terasa merusak etika demokrasi, lumrah terjadi hampir di hampir daerah di tanah air ini. Bukan hanya di level pemilukada kabupaten-kota. Di pemilukada provinsi sama serupa. Gubernur dan wakil gubernur, walikota dan wakil walikota, dan bupati dan wakil bupati maju sendiri-sendiri menjadi calon orang nomor satu di pemilu berikutnya.
Kompetisi politik yang demokratis memang memberikan kesempatan yang setara terhadap semua orang untuk dipilih dan memilih secara bebas dan otonom. Yang sering diabaikan, meminjam intermezzo prokem masa kini, emang gue pikirin, dalam persamaan untuk memilih dan dipilih terdapat modal sosial yang disebut kompetensi. Ada norma-norma yang disebut patut dan tidak patut.
Memanfaatkan kesempatan yang sama dan bebas yang diberikan sistem politik demokratis memang tak melanggar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pada tahun 2008 direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008. Sah-sah saja. Namun, norma kepantasan, patut dan tidak patut berlaku universal. Ini kembali ke nurani masing-masing. Sebab, patut dan tidak patut dalam banyak hal bersinggungan dengan rasa malu atau tidak kepada orang banyak.
Geger Sebelum Warga Menikmati Hasilnya
Di banyak daerah, duet kepala daerah gubernur dan wakil gubernur, walikota dan wakil walikota, serta bupati dan wakil bupati sudah berantakan ketika rakyatnya belum menikmati buah prestasi kepemimpinan politik duet orang nomor 1 dan orang nomor 2 pemerintah daerah yang mereka janjikan di panggung kampanye pemilukada. Duet ini tak sampai lima tahun. Mereka harus buyar.
Banyak faktor tentang rapuhnya relasi kepala daerah dengan wakil kepala daerah yang mengakibatkan duetnya berumur pendek. Salah satu di antara sekian faktor itu adalah ego bahwa kepala daerah atau wakil kepala daerah lebih berkuasa. Salah satu di antara mereka merasa memiliki kontribusi lebih besar dalam memenangkan pemilukada.
Ada pula karena kepala daerah lebay (berlebihan) menafsirkan posisinya sebagai orang nomor 1 di pemerintah daerah (pemda). Dalam penafsiran yang lebay itu, kekuasaan sebagai orang nomor 1 harus tunggal dan sentralistik. Buntutnya wakil kepala daerah hanyalah sebagai pembantu. Bukan mitra untuk berbagi kuasa (shared power). Ini pun juga diperburuk lantaran baik Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 maupun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, tidak cukup tegas dan legalistik dalam mengatur pembagian kerja dan pembagian kekuasaan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Ironisnya, dorongan berkuasa sering mengaburkan rambu-rambu ketidakpatutan dalam nilai-nilai keadaban demokrasi universal. Pengalaman di Surabaya dalam Pemilukada 2010, walikota incumbent yang sudah dua periode berkuasa, enggan purna tugas. Karena konstitusi hanya membolehkan kepala daerah menjabat dua kali periode saja, dibuatlah siasat. Demi bertahan di puncak kekuasaan di Surabaya, si kepala daerah ngotot tetap maju lagi pada pemilukada tanggal 2 Juni 2010. Tidak sebagai calon orang nomor satu. Dia ikhlas turun posisi. Ogah risih, ia maju menjadi calon wakil walikota. Tak ada aturan yang dilanggar memang. Hanya nurani yang mungkin berdegub-degub. Ada sesuatu yang agaknya kuranglah patut.
Tetapi politik di bumi Nusantara kadang memang saudara jauh antara kepatutan dan etika sosial. Di Kabupaten Kediri preseden ketidakpatutan lebih menggugah nurani moral. Bupati incumbent punya dua istri. Dia poligami. Karena bupati incumbent sudah dua periode menjadi bupati Kediri konstitusi melarang dia maju lagi giliran istri tua dan istri mudanya bersaing untuk maju menjadi calon bupati Kediri. Dua istri yang dipoligami itu bersaing untuk menggantikan sang suami.
Reportase sekilas pengalaman dua pemilukada 2010 di Surabaya dan di Kabupaten Kediri mengonfirmasikan preseden buruk mengenai norma kepatutan. Memang tidak ada aturan yang dilanggar. Tidak pula ada pasal dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang ditabrak. Toh sedemikian itu, Pemilukada 2010 di Surabaya dan di Kediri itu tetaplah menggelikan.
Ajaran dasar demokrasi yang memberi ruang lega bagi persamaan dan kebebasan yang otonom untuk memilih dan dipilih justru dimanfaatkan dengan murahan. Tidak elegan. Menjauhi keadaban politik. Hanya pamer nafsu berkuasa yang tidak patut.
Dalam bahasa lain dapat dikatakan dari pengalaman sejumlah duet orang nomor 1 dengan orang nomor 2 di Jawa Timur yang patah kongsi bahkan sebelum bulan madu berakhir, bahwa relasi kepala daerah dengan wakil kepala daerah tidak sepenuhnya didasari komitmen untuk menciptakan pemerintahan yang efektif. Kesan yang dapat dipahami ialah motif sharing insidental demi meraih kekuasaan sebagai orang nomor satu di pemerintah kabupaten atau kota.
Potret koalisi parpol pengusung calon duet kepala daerah dan wakil kepala daerah pun juga sangat rapuh. Sebab motif parpol berkoalisi amatlah pragmatis. Dengan cara apa pun yang penting bisa mendapatkan bagian dari kue kekuasaan. Ketika motif demikian yang menebal sering masuk koalisi hanya dengan satu kaki. Satu kaki ada di koalisi yang diharapkan menang dalam kompetisi politik seperti pilpres. Satu kaki lainnya menunggu di luar. Kaki yang di luar ini bisa bergerak ke kanan, ke kiri, ke depan, dan ke belakang. Jaga-jaga. Jika koalisi gagal menang, dalam sekejap kaki yang nunggu di luar, meminjam lagu Mulan Jameela, sudah hijrah ke lain hati. Koalisi seperti inilah yang patut disebut koalisi campur sari. Koalisi setengah hati, kata Rully Chairul Azwar.
… Koalisi yang ada sekarang … hanyalah koalisi semu. Pola dukungan bisa berubah-ubah berdasarkan isu dan kepentingan masing-masing partai. Alasan yang dikemukakan kadang semu. Karena partai koalisi harus menyalurkan aspirasi rakyat. Karena itu koalisi itu sangat cair dan lemah.. (Rully Chairul Azwar, 2009).
Di mana pun seharusnya komitmen koalisi bermula dari kompromi. Tidak saling menonjolkan perbedaan. Yang diutamakan simpul-simpul persamaan. Kalau pun tidak tercapai kompromi, maka tenggang rasa perlu diperlihatkan. Ketika Natsir gagal mencapai kompromi dengan Bung Karno yang mengakibatkan Partai Masyumi dibubarkan, dia tetap dapat mengendalikan emosinya. Dengan tetap santun bin etis, Natsir hanya berujar, kami sepakat untuk tidak sepakat. Tak menyakiti lawan politiknya. Tanpa aksi-aksi yang menyulut anarki.
Kalau sudah demikian, lantas, siapa yang bisa bilang kalau koalisi gado-gado ini bisa efektif menopang jalannya pemerintahan, termasuk di daerah kabupaten-kota di tanah air ini?
Apa pun, kita terus berharap tentu dengan optimistik perubahan dan perbaikan format politik, sistem demokrasi, dan etika politik yang unggul-mulia, dapat segera menjelang. Semoga tak jadi cermin ucapan Schiller, pujangga Jerman:
Suatu abad besar telah lahir
Namun ia menemukan generasi kerdil.
Apakah perseteruan antara Bupati Sidoarjo dan Wakil Bupati Sidoarjo merupakan bagian dari “Koalisi Campur Sari Ibarat Sikut-sikutan Dalam Sarung”? Kita lihat dan pahami bersama.
MAKSUM
Wartawan Senior