CEO atau Presiden Freeport Mc Mohan, Richard Adkerson mengancam Indonesia terhitung 120 hari harus mengembalikan status IUPK ke KK, jika tidak mereka akan mengajukan kasus ke Arbitrase Internasional. Saya menjadi ingat dimana dalam suatu kesempatan, mantan Menko Maritim Rizal Ramli pernah memberikan julukan terhadap Freeport sebagai greedy. Begitu juga dalam kesempatan bertemu dengan Prof. Jeffrey Winter, seorang ekonom dan Indonesianis dari Amerika Serikat (AS), Rizal Ramli mendapatkan julakan Freeport dari Jeffrey sebagai “binatang ekonomi”. Sebagai informasi, karena sudah mengetahui bagaimana kiprahnya, masyarakat AS juga tidak respek terhadap Freeport.
Bagaimana dengan kondisi dan perkembangan dari perusahan Freeport yang mengelola tambang di Grasberg Papua? Tulisan berikut disarikan dari catatan serta potret teman-teman penulis yang pernah aktif dalam lingkungkan birokrasi dan kebijakan yang paham betul tentang kelakuan Freeport.
Freeport menanam mimpi-mimpinya di Indonesia dengan menghasilkan sampai 12 juta dollar AS setiap harinya. Daya ekspornya pun mencapai satu juta konsentrat. Pencapaian tersebut berhasil dibukukan walaupun harus menghadapi regulasi yang cukup ketat di Indonesia. Olahan emas, tembaga dan mineral lainnya itu, bagi Freeport sudah cukup demi mendongkrak induk perusahaannya yakni Freeport Mc Mohan untuk pelunasan utang perusahaan sekaligus memuluskan ikhtiar perusahaan ini di bidang gas dan minyak. Sebagai informasi, dari usaha penambangan di Grassberg Papua, Freeport memasok 65% saham kepada induknya FCX yang berkedudukan di Arizona, 15% dari 65% itu mampu berkontribusi dalam menambah APBN negara adikuasa ini.
Data tersebut tak pernah ada dalam laporan triwulan perusahaan. Kebanyakan perusahaan itu dalam laporannya banyak mengulas pajak dan royalti kepada negara dimana operasi dilakukan. Jarang perusahaan membuka informasi soal keuntungan yang mereka berikan di induk perusahaan mereka maupun negara asalnya. Namun, sepak terjang Freeport bisa dibaca melalui ulasan para peneliti indenpenden yang punya keahlian di bidang saham, tambang dan pasar ekonomi. Disana terbuka siapa dan maunya apa Freeport ini. Situs pembuka kinerja Freeport adalah Bloomberg yang rutin melansir pergerakan saham dengan kode FCX. Sementara untuk ulasan kinerja Freeport gudangnya di situs Alpha.
Dari berbagai penelitian yang dilansir tersebut, mengarah pada kemana dan sampai kapan pola-pola kebijakan Freeport di seluruh dunia itu dianggap relevan. Sebagai informasi saja, saham FCX di tambang yang beroperasi di Cili saja hanya sebesar 1,5% saja. Sementara di Indonesia, skema kontrak karya, Freeport menguasai 80% saham. Negara Indonesia melalui perusahaan keluarga seperti Bakrie dan Julius Tahija ikut ambil jatah dengan nilai investasi sebatas kontraktor belaka.
Tahun 2021 perusahaan ini dianggap lenyap dengan pola kerja mereka, yang seenaknya membunuh atau membungkam negara penghasil tambang dengan kebijakan Kontrak Karya (KK). Mimpi Freeport itu mulai keok pasca negara yang masih menerima pola kontrak karya, kini berjuang untuk membalikkan skema perusahaan untuk tidak seenaknya mengambil untung dan memberi ampas ke negara melalui fee, pajak dan royalti. Monster (skema KK) mulai lumpuh perlahan. Mimpi untuk mengais untung ratusan miliaran per hari. Lantaran mimpi itu tak kesampaian, monster tersebut melakukan kebohongan luar biasa.
Komitmen membangun smelter sejak tahun 2010, selalu ditunda dengan alasan biaya mahal, lokasi tidak ada dan atau tidak cocok. Freeport selama ini dengan skema kontrak karya merasa berada di zona nyaman, 50 tahun Freeport beroperasi dengan cara mengumbar komitmen sana sini. Jangankan komitmen bangun smelter yang tidak ada hasilnya, ada ribuan MoU yang perusahaan teken dengan berbagai komunitas dan lembaga, tidak pernah ada yang terealisasi. Komitmen hanya berlaku diatas kertas.
Masyarakat Indonesia dibohongi seolah-olah tanpa Freeport, negara akan ambruk, digembar-gemborkan Kabupaten Timika akan lumpuh bila Freeport hengkang. Mereka tebar pesona bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) Papua terbesar berasal dari Freeport. Ini gila! Perusahaan Freeport menikmati 80%, sisanya diberikan ke negara berupa pajak dan seterusnya. Memangnya siapa yang bangga dengan aliran uang dari ampas investasi?
Lantaran terlalu enak selama 50 tahun, sekarang setelah diganti skemanya dari KK ke IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus), Freeport dapat bagian saham sebesar 49% sementara Indonesia akan bisa menguasai (divestasi) 51% saham. “Monster” yang berstatus perusahaan ini sudah selama setengah abad merasa nyaman menguras kekayaan negara, sekarang resah dan gelisah, berusaha memperalat karyawan dan menantang pemerintah Indonesia untuk berperkara. Akankah Indonesia yang bangsa besar ini dan dengan penduduk 260 juta yang merpakan negara terbesar ke-4 di dunia kalah atau selalu mengalah dengan satu perusahaan Freeport yang “serakah” kata Rizal Ramli dan binatang ekonomi alias monster kata Jeffrey Winter ini?
Selama ini kita menyaksikan bagaimana pemerintah sering “mengalah”. Waktu penyelesaian smelter biasanya dibatasi 5 tahun dan ketika berakhir di 2014 kemudian diperpanjang 3 tahun sampai dengan 2017, dan kemudian melalui Peraturan Pemerintah ditambah lagi 5 tahun, menjadi total 13 tahun.
Tentunya, jika memang Freeport terus “mengancam” melalui rencana mengadukan Indonesia ke Arbitrase Internasional dan atau malah memberikan ultimatum kepada Indonesia, tentulah kiranya kita berharap Pemerintahan Jokowi-JK bisa teguh pada sikapnya untuk mengubah mekanisme dari KK ke IUPK maka mereka bisa gentar dan teguh pendirian dalam menghadapi “monster” serakah ini dan tidak “menyerah” seperti pemerintahan sebelumnya. Presiden Joko Widodo pernah menegaskan bahwa dirinya tidak main-main dengan upaya pemerintahannya untuk menegakkan peraturan yang ada dimana Freeport dalam hal ini harus tunduk patuh mengingat ia berbisnis di wilayah hukum Republik Indonesia. Semoga!
Ir. Syafril Sjofyan
Pengamat Kebijakan Publik