Jakarta, – Ketua Umum KSPTMKI dr. Roy Sihotang, MARS, menyatakan dalam pidato pembukaan Deklarasi Kesatuan Serikat Pekerja Tenaga Medis dan Kesehatan Indonesia, bahwa, reformasi membawa perubahan bagi bangsa Indonesia. Salah satu perubahan yang signifikan adalah amandemen undang-undang dasar 1945 yang mengubah orientasi menjadi lebih kepada pro modal. Tidak terkecuali dalam sektor kesehatan, kapital merambah masuk dalam pelayanan medis dan kesehatan mengurangi peran negara sebagai mana yang didesakan oleh kekuatan neoliberal.
Menurutnya, fenomena orientasi pro modal ini sangat terlihat di era reformasi, yang dibuktikan dengan bertambahnya institusi pelayanan kesehatan swasta. Institusi pelayanan kesehatan, lanjutnya, yang tadinya didominasi institusi negara seperti, puskesmas, RS pemerintahan dan praktik dokter/tenaga kesehatan pribadi (seperti bidan dan lain lain) diganti dengan menjamurnya klinik, RS swasta dan institusi layanan swasta lainya sebagai simbol orientasi pro modal oleh negara.
“Perubahan ini tidak membawa banyak kebaikan dalam aspek Tenaga Medis dan Kesehatan Nasional dalam kaitannya dengan relasi Industrial terhadap Industri Kesehatan yah berkembang pesat,” tegasnya, Minggu (8/9/2024).
Selama 28 tahun era reformasi, lanjut Roy Sihotang, tenaga medis dan kesehatan dihadapkan pada situasi lingkungan kerja yang sangat menyedihkan, antara lain:
1. Kontrak kerja yang tidak jelas dan sering kali dianggap sebagai Mitra yang tidak memiliki hak sebagai pekerja (termasuk dalam hal ini adalah residen di RS vertikal milik pemerintah)
2. Upah yang tidak layak (termasuk untuk dokter Internship yang menopang pelayanan kesehatan di penjuru tanah air)
3. Jam kerja yang tidak manusiawi (termasuk terjadi pada dokter dan dokter residen di RS vertikal pemerintah)
4. Tidak adanya Jaminan Kesehatan dan Kecelakaan Kerja.
5. Kebijakan cuti yang tidak jelas
6. Ketiadaan pesangon ketika terjadi PHK.
7. Tidak adanya jaminan hari tua.
Orientasi pro modal negara dalam aspek industri kesehatan yang ditandai menjamurnya RS dan klinik swasta serta institusi pelayanan Kesehatan lainya, lanjutnya, menuntut tersedianya man power yaitu tenaga medis dan kesehatan, untuk menyokong industri kesehatan. Namun, menjamurnya pendirian fakultas kedokteran, fakultas keperawatan dan institusi pendidikan penghasil tenaga medis dan kesehatan, tidak didukung dengan perubahan kebijakan terkait hubungan industrial antara tenaga medis dan kesehatan dengan industri kesehatan di Indonesia.
“Keberadaan BPJS sebagai Universal Health Insurance di Indonesia, kebijakan terkait dengan BPJS serta bargaining position tenaga medis dan kesehatan terhadap industri kesehatan yang lemah, semakin memperburuk situasi,” tegasnya.
Hal ini, lanjut Roy Sihotang, ditambah dengan kenyataan bahwa dewasa ini berbagai syarat perizinan akreditasi dan kredensialing serta rekredensialing terhadap fasilitas kesehatan yang ditetapkan baik oleh negara maupun BPJS mengkondisikan besarnya volume modal yang dibutuhkan untuk mendirikan fasilitas kesehatan atau menyelenggarakan suatu pelayanan kesehatan.
“Keadaan ini niscaya akan menyingkirkan posisi tenaga medis dan tenaga kesehatan sebagai profesional independen yang berpraktik mandiri atau memiliki fasilitas kesehatannya sendiri,” tukasnya.
Bahkan, lanjutnya, terkait fasilitas kesehatan dan alat alat kesehatan adalah merupakan investasi yang padat modal sehingga sangat mengurangi kemungkinan tenaga medis atau tenaga kesehatan untuk memilikinya sendiri. Oleh karena itu terjadi proses proletarisasi yaki pemisahan pekerja medis dan kesehatan dari alat alat produksinya. “Pendek kata dalam industri kesehatan tenaga medis dan tenaga kesehatan adalah pekerja,” tegasnya.
Karena itulah, alasan kuat kemudian dirinya serta tenaga medis dan kesehatan di Indonesia mendeklarasikan Kesatuan Serikat Pekerja Tenaga Medis dan Kesehatan Indonesia atau KSPTMKI di Gedung YLBHI pada hari ini, Minggu (8/9/2024).
“KSPTMKI lahir dan dideklarasikan sebagai wadah perjuangan Pekerja Medis dan Kesehatan di Indonesia hari ini, Minggu 8 September 2024 di Gedung YLBHI Jakarta,” tandas Roy Sihotang.
(Haris Pranatha/Abdel Rafi)