
Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan dan Undang-Undang Nomor 87 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan di Bidang Kebudayaan, arah pembangunan kebudayaan nasional mengalami lompatan signifikan. Negara menegaskan kembali komitmennya bahwa kebudayaan bukan sekadar ornamen seremoni, melainkan fondasi strategis dalam memperkuat identitas bangsa, memperkuat daya saing, serta menjadi arus utama pembangunan. Di tingkat daerah, semangat ini direspons dengan terbitnya Peraturan Daerah Jawa Timur Nomor 6 Tahun 2024 tentang Pemajuan Kebudayaan Daerah. Perda tersebut secara eksplisit mengakui pentingnya keberadaan lembaga representatif seperti Dewan Kebudayaan sebagai mitra kritis pemerintah daerah dalam menyusun strategi kebudayaan, melakukan pengawasan kebijakan, dan memastikan pelibatan masyarakat budaya dalam setiap pengambilan keputusan.
Dalam konteks itulah, keberadaan Dewan Kebudayaan Jawa Timur (DKJT) seharusnya menempati posisi strategis sebagai wadah pengorganisasian para pegiat budaya, akademisi, dan pemangku kepentingan kebudayaan daerah. DKJT bukan hanya simbol, melainkan jembatan antara kebijakan dan denyut kebudayaan di lapangan. Sayangnya, dinamika internal dalam Musyawarah Daerah (Musda) DKJT 2025-2030 tidak cukup memberikan harapan untuk mendorong transformasi DKJT menjadi benar-benar representatif dan transformatif sebagaimana amanat regulasi. Agenda-agenda struktural yang seharusnya membuka ruang dialog dan reformasi kelembagaan justru dibayangi oleh stagnasi, dominasi segelintir pihak, serta pengabaian terhadap prinsip partisipasi. Dalam kondisi seperti itu, mempertahankan diri di dalamnya justru berisiko melanggengkan ilusi kemajuan tanpa perubahan mendasar.
Harapan Kultural versus Realitas Struktural
Sejak awal bergabung, penulis membawa harapan bahwa DKJT akan menjadi ruang kolektif yang egaliter dan progresif, tempat di mana para pegiat budaya dari berbagai latar belakang bisa menyusun agenda kebudayaan secara partisipatif. Namun, realitas struktural yang penulis hadapi justru menunjukkan kecenderungan sebaliknya yakni dominasi pola pikir elitis, pengambilan keputusan yang tak transparan, serta minimnya mekanisme evaluasi internal. Semangat kolaboratif kerap tergantikan oleh agenda-agenda tertutup yang hanya melibatkan segelintir figur dominan tanpa pelibatan kritis dari anggota. Struktur organisasi yang seharusnya adaptif dan akomodatif justru menjadi menara gading yang tak lagi mendengar denyut kebutuhan komunitas budaya akar rumput. Dalam kondisi ini, harapan untuk menjadikan DKJT sebagai garda depan pemajuan kebudayaan daerah nyaris mustahil terwujud tanpa reformasi menyeluruh dari dalam.
Salah satu momen paling menyedihkan dalam pengalaman penulis di DKJT adalah ketika upaya untuk membangun transparansi dan efisiensi justru dibalas dengan peminggiran. Seorang yang mencoba menginisiasi cadangan dana demi efektivitas dan efisiensi pengelolaan anggaran. Alih-alih mendapat dukungan, ia malah diberhentikan dari jabatannya tanpa dialog yang terbuka. Kasus ini menjadi cermin betapa budaya organisasi dalam tubuh DKJT belum mampu menghargai i’tikad baik untuk membangun tata kelola yang sehat dan akuntabel. Jika sebuah lembaga kebudayaan justru menolak transparansi serta menutup ruang partisipasi internal, bagaimana mungkin ia mampu menyuarakan nilai-nilai luhur budaya secara eksternal? Dalam ruang yang anti-kritik dan enggan berbenah seperti itu, bertahan justru berarti menormalisasi ketertutupan yang bertentangan dengan semangat zaman.
Ketika Komunikasi Gagal Menjadi Ruang Kolektif
Komunikasi dalam organisasi kebudayaan seharusnya menjadi ruang bersama untuk saling mendengar, bukan alat kontrol satu arah. Namun yang terjadi di DKJT justru sebaliknya: komunikasi hanya difungsikan sebagai formalitas, bukan mekanisme deliberatif yang sehat. Tidak ada forum terbuka yang memungkinkan anggota menyampaikan gagasan tanpa merasa didikte. Rapat-rapat lebih sering menjadi pengesahan keputusan yang telah disiapkan sebelumnya, bukan wadah membentuk keputusan secara kolektif. Bahkan dalam proses penyusunan struktur baru, masukan dan aspirasi banyak pihak diabaikan begitu saja. Atmosfir seperti ini melelahkan secara intelektual dan emosional. Penulis tidak dalam kapasitas mengincar posisi, tapi berharap pada keadaban kolektif, yakni kesediaan untuk membangun bersama dengan kesetaraan dan saling menghargai. Ketika semangat itu tidak hadir, maka tak ada lagi urgensi untuk bertahan dalam wadah yang menutup pintu dialog.
Bagi sebagian orang, keputusan mundur bisa dianggap sebagai bentuk kekalahan atau sikap menyerah. Tapi bagi penulis, justru inilah bentuk paling jujur dari tanggung jawab moral. Penulis tidak ingin terus berada dalam sistem yang gagal mereformasi dirinya, apalagi sistem yang justru menumpulkan idealisme mereka yang ingin memperbaiki dari dalam. Mundur adalah pilihan sadar untuk tidak larut dalam rutinitas yang tidak memanusiakan, tidak menghargai inisiatif, dan terus-menerus menutup ruang kritis. Dalam dunia kebudayaan, etika jauh lebih penting daripada simbol. Dan etika itu penulis perjuangkan dengan mundur: menjauh dari kemunafikan struktural, sekaligus tetap menjaga api kesadaran bahwa kebudayaan tidak pernah bisa diselamatkan oleh organisasi yang abai terhadap nurani.
Bergerak Tanpa Struktur, Berjejaring dengan Jiwa
Keluar dari DKJT bukan berarti penulis berhenti mencintai kebudayaan Jawa Timur. Justru sebaliknya, inilah bentuk cinta yang paling radikal yakni memilih menjauh agar tidak terjebak dalam sistem yang membungkam suara-suara tulus dari dalam. Di luar struktur, penulis merasa lebih bebas untuk merawat budaya secara organik bersama komunitas, seniman, dan anak-anak muda yang bergerak tanpa pamrih. Penulis tetap percaya bahwa lembaga seperti DKJT masih mungkin menjadi rumah bersama, asalkan bersedia membuka diri pada reformasi, transparansi, dan semangat kolektif. Namun selama nilai-nilai itu terus diabaikan, maka menjauh adalah bentuk perlawanan yang paling masuk akal. Sebab dalam dunia kebudayaan, kadang yang paling penting bukan tinggal dalam bangunan yang megah, melainkan menegakkan tiang nilai agar rumah bersama itu tidak runtuh.
Sebaliknya, penulis akan terus bergerak bersama Budaya Nusantara Seni Tradisi Lokal (BN SETALOKA) dan Cultural Odyssey, dua lembaga kebudayaan yang penulis rintis berdasarkan semangat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Inisiatif ini lahir dari pertemuan antar individu yang saling terbuka, jujur, dan mau membangun satu sama lain, tanpa dominasi, tanpa saling menjatuhkan. Penulis yakin, keputusan untuk keluar dari DKJT justru membawa manfaat lebih besar bagi ekosistem kebudayaan secara keseluruhan sekaligus menghadirkan maslahat nyata bagi para pelaku budaya. Penulis akan terus berikhtiar mendaftarkan sebanyak mungkin maestro di berbagai daerah agar tidak tenggelam dalam sunyi, memberikan dukungan nyata bagi para pelestari seni tradisi, dan menggerakkan para tokoh yang selama ini tertutup oleh keglamoran dan hiruk-pikuk viralitas. Doakan penulis tetap kuat, karena mencintai kebudayaan seringkali berarti memilih jalan sepi yang penuh ketekunan dan keikhlasan. Semoga.
PROBO DARONO YAKTI
Fungsionaris DKJT 2020-2025, Departemen Penelitian dan Pengembangan; Ketua Budaya Nusantara Seni Tradisi Lokal (BN SETALOKA); Dan Dosen Hubungan Internasional, FISIP Universitas Airlangga