Thursday, January 23, 2025
spot_img
HomeGagasanKelompok Militan HTS, Ujian bagi Bashar Al-Assad

Kelompok Militan HTS, Ujian bagi Bashar Al-Assad

Di tengah ketegangan yang semakin memuncak di Suriah, posisi Bashar al-Assad semakin terancam oleh dinamika yang berkembang di wilayah tersebut. Salah satu faktor utama yang memperburuk situasi adalah kebangkitan Hayat Tahrir al-Sham (HTS), kelompok militan yang kini menguasai sebagian besar wilayah Idlib. HTS, yang dikenal sebagai cabang dari al-Qaeda sebelumnya, mendapatkan dukungan dari Turki dalam konteks persaingan geopolitik dengan kelompok Kurdi. Turki, yang memandang Pasukan Demokratik Suriah (SDF) sebagai ancaman besar karena kaitannya dengan PKK, memberikan dukungannya kepada HTS dalam upaya mempertahankan pengaruhnya di wilayah utara Suriah. Hal ini semakin memperburuk kompleksitas konflik, karena Kurdi, yang memiliki kendali atas beberapa wilayah strategis, semakin bergantung pada SDF untuk mempertahankan posisi mereka.

Ketegangan ini memunculkan ujian besar bagi kepemimpinan Bashar al-Assad, yang menghadapi tantangan dari berbagai kelompok yang berlomba-lomba untuk meraih kendali wilayah. Di satu sisi, al-Assad harus berhadapan dengan kelompok pemberontak yang semakin terfragmentasi, sementara di sisi lain, ia harus mengelola ketegangan yang timbul akibat intervensi asing, termasuk Turki yang memiliki agenda tersendiri di Suriah utara. Konflik ini mengancam untuk memperdalam fragmentasi negara, dengan berbagai kelompok saling bertarung untuk kekuasaan dan pengaruh. Pada saat yang sama, kepemimpinan al-Assad sedang diuji oleh pertarungan yang melibatkan kekuatan eksternal dan internal, yang tidak hanya berisiko mengubah peta politik Suriah, tetapi juga dapat berdampak pada stabilitas lebih luas di kawasan Timur Tengah.

Lima Posisi Penting dari Negara-negara Terlibat

Pertama, serangan HTS terhadap rezim Bashar al-Assad menandai kembalinya Turki sebagai aktor utama dalam percaturan politik Timur Tengah. Sebagai negara yang mendukung berbagai kelompok pemberontak di Suriah, Turki kini semakin berperan dalam memperkuat posisi faksi-faksi oposisi, termasuk HTS yang bertindak sebagai proksi. Keterlibatan langsung Turki memperburuk ketegangan dengan pihak-pihak lain yang terlibat dalam konflik, terutama dengan Kurdi dan SDF yang mendapat dukungan dari Amerika Serikat, membuka peluang bagi Turki untuk memanfaatkan konflik ini untuk memperluas pengaruhnya di kawasan.

Kedua, kepemimpinan Bashar al-Assad kini menghadapi ujian berat setelah serangan HTS yang menambah kompleksitas tantangan yang dihadapinya. Meski rezimnya telah kembali menguasai sebagian besar Suriah, perlawanan dari berbagai faksi yang menentangnya, termasuk HTS, semakin menantang otoritasnya. Hal ini memperlihatkan bahwa kontrol penuh atas seluruh wilayah Suriah masih jauh dari tercapai, dan ketidakstabilan internal semakin mengancam keberlanjutan kepemimpinan Assad.

Ketiga, serangan ini membuka potensi masuknya aktor-aktor besar seperti Amerika Serikat, NATO, dan Rusia untuk lebih terlibat dalam menyuplai persenjataan atau bahkan dalam intervensi langsung. Ketiganya memiliki kepentingan strategis yang sangat besar di Suriah dan kawasan Timur Tengah secara keseluruhan. Dengan meningkatnya ketegangan di lapangan, peran mereka dalam mengalirkan bantuan militer atau dukungan lainnya akan semakin krusial dalam menentukan arah konflik ini, serta bisa mengubah keseimbangan kekuatan di kawasan.

Keempat, perhatian internasional yang sebelumnya terfokus pada konflik Israel-Palestina kini beralih ke Suriah seiring dengan meningkatnya ketegangan ini. Krisis di Suriah semakin menarik perhatian publik global, terutama karena dampaknya terhadap stabilitas kawasan Timur Tengah dan potensi terjadinya eskalasi lebih lanjut. Reaksi dunia terhadap perkembangan ini akan sangat menentukan, baik dalam bentuk diplomasi maupun intervensi langsung, yang bisa membawa dampak jangka panjang bagi geopolitik kawasan.

Kelima, posisi HTS yang menjadi proksi Turki semakin mempersulit situasi di Suriah, terutama dengan ketidakjelasan sikap SDF dalam koalisinya. SDF, yang sebagian besar terdiri dari kelompok Kurdi, masih berada di persimpangan jalan, memilih untuk berkoalisi dengan siapa dalam menghadapi serangan-serangan dari faksi-faksi pro-Assad dan HTS. Ketidakpastian ini membuka ruang bagi potensi konflik yang lebih luas dan memperburuk ketegangan antara berbagai kelompok yang memiliki kepentingan berbeda dalam menentukan masa depan Suriah.

Implikasi Lanjutan

Potensi keterlibatan dari AS, NATO, dan Rusia cukup besar memberikan celah untuk perpecahan Suriah. Suriah di bawah Basar Al-Assad akan didukung oleh “sekutu abadinya” Rusia, adapun AS dan NATO akan berpihak pada SDF dan Kurdi. Di sisi lain, Turki tetap mempertahankan posisinya sebagai pendukung HTS. Konflik di Timur Tengah sebagian besar memang kompleks dan multidimensi, sehingga koalisi-koalisi politik-militer baru membentuk prospek aliansi strategis yang mutakhir ke depan. Selain menjadi ajang pembuktian bagi negara-negara besar saling berebut pengaruh, konflik ini dapat menjadi “teater” untuk mempertontonkan keunggulan senjata-senjata buatan dari tiga blok yang saling berpengaruh di Timur Tengah.

Erdogan memanfaatkan konflik Suriah untuk memperkuat posisi Turki sebagai kekuatan utama di Timur Tengah, dengan beberapa tujuan strategis. Dukungan terhadap HTS menjadi instrumen untuk melawan pengaruh Kurdi, yang dipandang Turki sebagai ancaman keamanan karena kaitannya dengan PKK. Selain itu, keterlibatan ini menunjukkan ambisi Erdogan untuk mengembalikan pengaruh Turki di dunia Arab yang sempat memudar, sekaligus menegaskan peran Turki sebagai pemimpin dunia Islam. Dalam konteks geopolitik, Erdogan juga berupaya menyeimbangkan kekuatan di kawasan dengan menantang dominasi negara besar seperti Rusia dan Amerika Serikat, serta mempertahankan relevansi Turki di tingkat global.

Mengidamkan Timur Tengah tanpa Campur Tangan Kekuatan Besar

Konflik Suriah dan keterlibatan berbagai aktor regional mencerminkan kerumitan politik di kawasan Timur Tengah, dimana aliansi dan kepentingan sering kali bersifat pragmatis dan berubah-ubah. Persaingan antar negara seperti Turki, Iran, dan Arab Saudi, serta campur tangan kekuatan besar seperti AS dan Rusia, menciptakan medan politik yang semakin fragmentaris. Situasi ini menunjukkan bahwa stabilitas di Timur Tengah bukan hanya soal menyelesaikan konflik lokal, tetapi juga bagaimana negara-negara di kawasan tersebut mampu membangun arsitektur keamanan kolektif yang dapat menyeimbangkan kepentingan domestik dan regional tanpa terus-menerus melibatkan kekuatan eksternal.

 

PROBO DARONO YAKTI

Dosen Hubungan Internasional FISIP UNAIR

Direktur CNDSS

Deputi Direktur Program Emerging Indonesia Project

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular