Tuesday, December 16, 2025
spot_img
HomeGagasanKedekatan Militer Indonesia-Tiongkok: Strategis, tetapi Sarat Risiko

Kedekatan Militer Indonesia-Tiongkok: Strategis, tetapi Sarat Risiko

Tiongkok tidak pernah memandang Indonesia sekadar sebagai mitra biasa. Bagi Beijing, Indonesia adalah aktor kunci di Asia Tenggara, bukan semata karena skala ekonominya, melainkan karena posisi geografisnya yang sangat strategis yaitu berada di jalur vital pelayaran internasional sekaligus menjadi jangkar utama ASEAN. Dalam lanskap kebijakan luar negeri dan pertahanan Tiongkok, Indonesia menempati posisi penting dalam mengamankan kepentingan ekonomi, politik, sekaligus ekspansi pengaruhnya di kawasan.

Sejak pemerintahan Presiden Joko Widodo, hubungan Indonesia dan Tiongkok mengalami penguatan, khususnya melalui kerja sama ekonomi dalam kerangka Belt and Road Initiative (BRI). Berbagai proyek infrastruktur, mulai dari kereta cepat hingga kawasan industri, menjadi wajah nyata kolaborasi kedua negara. Namun, di balik derasnya investasi ekonomi, dimensi kerja sama pertahanan mulai mencuat. Stabilitas kawasan yang menjadi prasyarat utama keberhasilan BRI menempatkan sektor militer sebagai pilar yang tak terpisahkan dari agenda geopolitik Beijing.

Strategis, tapi Penuh Perhitungan

Sebagai Menteri Pertahanan, di pemerintahan Joko Widodo, sosok Prabowo Subianto menunjukkan pendekatan terbuka terhadap berbagai negara besar, termasuk Tiongkok. Serangkaian pertemuan bilateral dan nota kesepahaman pertahanan menunjukkan bahwa kerja sama militer antara Indonesia dan Tiongkok mulai bergerak dalam pola yang lebih terstruktur dan jangka panjang. Kini, ketika Prabowo menjabat sebagai presiden, arah tersebut tampaknya akan berlanjut, bahkan mungkin meningkat baik dalam intensitas maupun cakupannya.

Ada sejumlah keuntungan yang bisa diperoleh. Pertama, Indonesia dapat mendiversifikasi mitra pertahanannya. Ketergantungan yang terlalu besar pada negara-negara Barat selama ini, seperti Amerika Serikat dan Australia, membatasi ruang manuver strategis. Tiongkok menawarkan alternatif yang dapat memperkuat posisi tawar Indonesia.

Kedua, kerja sama ini berpotensi mendongkrak kemampuan militer nasional, terutama dalam aspek teknologi. Dengan keunggulan di bidang pertahanan siber, drone, kapal patroli ringan, dan sistem komunikasi militer, Tiongkok dapat menjadi mitra yang relevan, tentu dengan catatan ada transfer teknologi yang substansial.

Ketiga, stabilitas kawasan yang terjaga melalui kemitraan ini bisa berdampak positif terhadap kelangsungan proyek BRI di Indonesia. Jika keamanan aset bersama seperti pelabuhan dan jalur logistik dapat dijaga, maka bukan tidak mungkin akan muncul dukungan pembangunan lebih lanjut di wilayah-wilayah yang selama ini termarjinalkan.

Risiko dan Dilema Strategis

Namun, setiap keuntungan geopolitik selalu hadir dengan sisi kerentanannya. Kedekatan dalam bidang pertahanan adalah pedang bermata dua. Pertama, terbuka kemungkinan terjadinya kebocoran informasi strategis, mulai dari sistem logistik, data pertahanan, hingga struktur komando. Tanpa sistem pengamanan siber yang kokoh, risiko ini sulit dielakkan.

Kedua, terlalu dalamnya kerja sama berisiko menimbulkan ketergantungan strategis. Pengalaman sejumlah negara di Afrika dan Asia Tengah menunjukkan, hubungan militer yang tidak seimbang bisa memunculkan keterikatan yang melemahkan otonomi kebijakan dalam jangka panjang, baik karena utang pertahanan maupun karena ketergantungan pada pasokan suku cadang.

Ketiga, dari perspektif geopolitik kawasan, kedekatan ini bisa mengusik solidaritas ASEAN. Ketika beberapa negara seperti Vietnam dan Filipina tengah bersitegang dengan Tiongkok terkait Laut Tiongkok Selatan, Indonesia perlu berhati-hati agar tidak terkesan condong ke satu sisi. Kredibilitas Indonesia sebagai pemimpin kawasan yang netral dan berprinsip bisa tergerus.

Apalagi, kita masih menghadapi realitas klaim sepihak Tiongkok melalui peta Ten-Dash Line yang menabrak Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara. Meskipun kedua negara secara diplomatik menyatakan tidak memiliki sengketa, insiden antara kapal penjaga pantai Tiongkok dan aparat Indonesia di perairan Natuna menunjukkan bahwa ketegangan di lapangan tetap nyata.

Merawat Jarak, Menjaga Kemandirian

Dalam menghadapi dinamika ini, Indonesia perlu mengelola hubungan strategis dengan Tiongkok secara bijak dan proporsional. Prinsip non blok, otonomi pertahanan, dan kehati-hatian diplomatik harus tetap dijadikan pijakan. Indonesia perlu terus memperkuat hubungan dengan mitra lain seperti Jepang, Korea Selatan, India, hingga negara-negara Eropa, guna mencegah konsentrasi ketergantungan pada satu aktor besar.

Secara diplomatik, Indonesia juga perlu mendorong konsolidasi posisi ASEAN dalam merespons isu-isu kawasan, termasuk Laut Tiongkok Selatan. Di bidang ekonomi, ketahanan industri strategis dan hilirisasi sumber daya harus diperkuat untuk mengurangi ketergantungan pada investasi asing. Sementara dalam ranah teknologi, kerja sama alternatif dengan negara seperti Turki, Korea Selatan, dan India bisa menjadi opsi untuk mengurangi dominasi ekosistem pertahanan Tiongkok.

Yang tak kalah penting, dibutuhkan tata kelola kerja sama luar negeri yang lebih transparan dan akuntabel. Pengawasan lintas institusi dengan melibatkan DPR, akademisi, dan masyarakat sipil, sangat diperlukan agar setiap langkah strategis Indonesia berada dalam koridor kepentingan nasional jangka panjang.

Dalam dunia yang semakin multipolar dan penuh ketidakpastian, fleksibilitas adalah kekuatan. Namun, fleksibilitas tak boleh mengaburkan arah. Hubungan dengan Tiongkok sebaiknya dilihat bukan sebagai ikatan subordinatif, melainkan sebagai bagian dari strategi besar Indonesia untuk tetap berdiri di tengah: mengambil manfaat tanpa kehilangan marwah dan kemandirian. Di sinilah kepiawaian diplomasi Indonesia akan terus diuji dimana bukan sekadar bersahabat, tetapi juga tetap tegak dalam prinsip.

 

PROBO DARONO YAKTI

Dosen Hubungan Internasional Universitas Airlangga dan Direktur Center for National Defense and Security Studies

MUHAMMAD ARIEF ZULIYAN

Dosen Hubungan Internasional Universitas Diponegoro dan peneliti isu keamanan dan Timur Tengah

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular