Tuesday, October 14, 2025
spot_img
HomeGagasanKolomKebudayaan Vandalistik

Kebudayaan Vandalistik

“Penjarahan makam(the looting of tombs) bukan sekadar tindakan kriminal, melainkan peristiwa budaya, yang membentuk kembali makna warisan dan otoritas negara.” – Fiona Greenland (47), Ruling Culture: Art Police, Tomb Robbers, and the Rise of Cultural Power in Italy (2021)

Tradisi vandalistik bukanlah fenomena baru dalam sejarah kebudayaan manusia. Ia telah menjadi bagian dari narasi besar peradaban, bahkan sejak masa Yunani kuno.

Dalam mitologi mereka, para dewa tidak hanya menciptakan tatanan, tetapi juga kerap merusaknya.

Para Titan, misalnya, dijadikan simbol kekuatan purba yang harus dimusnahkan demi kelahiran tatanan baru.

Sebagai vandalistik mitologis, para Titan yakni Cronus dan saudara-saudaranya, dijatuhkan oleh anak-anak mereka sendiri, dipimpin oleh Zeus dalam perang besar Titanomachy dan dikurung di Tartarus, tempat terdalam di dunia bawah, jadi simbol penghancuran warisan dan nilai-nilai lama demi membangun narasi baru yang lebih sesuai dengan kepentingan penguasa baru.

Vandalistik dalam konteks ini bukan sekadar tindakan destruktif, melainkan bagian dari siklus kekuasaan dan dominasi yang terus berulang.

Dalam epos Mahabarata, kita menyaksikan bagaimana para Pandawa dan Kurawa saling bertindak vandalistik, tidak hanya dalam peperangan fisik, tetapi juga dalam penghancuran nilai-nilai dan ikatan keluarga.

Vandalisme di sini menjadi metafora dari perebutan kekuasaan yang mengorbankan warisan budaya dan spiritualitas.

Bahkan dalam sejarah Romawi pada 64 M, Nero dikenal sebagai sosok yang konon menghancurkan kota Roma sendiri, menandai bagaimana kekuasaan bisa berubah menjadi alat penghancuran terhadap simbol-simbol peradaban.

Memasuki abad ke-20, tindakan vandalistik menjadi lebih nyata dan brutal. Pemboman terhadap Candi Borobudur pada tahun 1985 dan penghancuran patung-patung Buddha oleh Taliban di Bamiyan pada 2001 adalah contoh nyata bagaimana warisan budaya dijadikan sasaran dalam konflik ideologis dan politik.

Tindakan ini bukan hanya merusak fisik artefak, tetapi juga menghancurkan ingatan kolektif dan identitas budaya yang melekat padanya.

Di Indonesia, praktik vandalistik terhadap warisan budaya masih berlangsung dalam bentuk yang lebih halus namun tetap merusak.

Pembangunan bendungan Kuwil di Minahasa Utara, misalnya, telah menyebabkan ekskavasi situs budaya Waruga (makam batu khas Minahasa) yang kini rusak dan teronggok di belakang gedung utama kompleks bendungan.

Waruga, yang seharusnya dijaga sebagai simbol spiritual dan sejarah lokal, justru dipinggirkan demi proyek infrastruktur.

Lebih jauh lagi, rencana Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara untuk mengubah Taman Budaya menjadi SPBU menunjukkan bagaimana ruang budaya (cultural field), dalam istilah Pierre Bourdieu, direduksi menjadi komoditas ekonomi.

Taman Budaya yang seharusnya menjadi arena ekspresi dan pertumbuhan kebudayaan lokal, kini terancam kehilangan fungsi dan maknanya.

Fenomena ini dapat dibaca melalui lensa kritik penjarahan budaya yang diulas Fiona Greenland dalam Ruling Culture, di mana ia menyebut praktik “tomborola” atau perampokan artefak budaya sebagai bagian dari strategi kekuasaan.

Dirujuk pada Tom Jones (50), Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia: Kebijakan Budaya Selama Abad ke-20 Hingga Era Reformasi (2015), hakikat pendirian Taman Budaya bukan sekadar fasilitas seni, melainkan bagian dari proyek politik budaya negara untuk membentuk dan menyebarkan versi resmi dari identitas nasional.

Taman Budaya menjadi arena di mana seni tradisional, bahasa, dan nilai-nilai yang dianggap sah oleh negara dipamerkan, sekaligus menjadi alat kontrol terhadap ekspresi budaya lokal yang tidak sesuai dengan narasi dominan.

Sementara, Edward W. Said dalam Kebudayaan dan Imperialisme (1995) mengungkap bagaimana dominasi imperialistik selalu menyertakan penghancuran simbol-simbol budaya lokal.

Lebih lanjut, ungkap Said, kekuasaan imperialistik merusak keberagaman budaya dengan menciptakan identitas tunggal yang menyingkirkan kompleksitas dan warisan lokal.

Dalam konteks ini, praktik imperialisme dapat dipahami sebagai bentuk vandalisme terhadap kebudayaan, karena ia menghapus, menggantikan, atau mendistorsi nilai-nilai asli demi dominasi narasi kolonial.

Budaya vandalistik bukan sekadar tindakan merusak benda, tetapi juga proses sistematis yang menghapus makna, identitas, dan sejarah.

Ia adalah cermin dari relasi kuasa yang tidak adil, di mana yang kuat menentukan apa yang layak dipertahankan dan apa yang boleh dihancurkan.

Dalam konteks ini, menjaga kebudayaan bukan hanya soal pelestarian fisik, tetapi juga perlawanan terhadap logika kekuasaan yang mereduksi nilai menjadi fungsi, dan warisan menjadi hambatan.

#coverlagu: “Cultural Heritage” oleh Yona dirilis pada tahun 2022 dan tersedia di berbagai platform musik seperti TIDAL.

Lagu ini merupakan karya instrumental dari Yona Music Project, yang dikenal dengan komposisi musik latar bernuansa sinematik dan relaksasi.

Meski tak disertai lirik, lagu ini dapat dimaknai sebagai penghormatan terhadap akar sejarah dan spiritualitas, sekaligus ajakan untuk menjaga dan merawat warisan budaya sebagai bagian dari kehidupan kontemporer.

Dalam konteks global, karya ini juga bisa dibaca sebagai bentuk perlawanan halus terhadap praktik-praktik vandalistik atau penjarahan budaya yang merusak nilai-nilai lokal demi kepentingan ekonomi atau politik.

REINER EMYOT OINTOE (ReO)

Fiksiwan, tinggal di Sulawesi Utara

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular