
Surabaya, – Mengawali tahun 2025 ini, Indonesia sebagai bangsa yang majemuk akan menghadapi satu tradisi yang telah lama berlangsung khususnya bagi masyarakat Tionghoa yaitu Imlek. Secara nasional, Imlek akan jatuh pad Rabu (29/1/2025) besok dan menjadi simbol lintas budaya di tanah air.
Menurut sejarawan Universitas Airlangga, Shinta Devi Ika Santhi Rahayu, perayaan Imlek berasal dari tradisi menyambut musim semi di negeri asalnya, Cina alias Tiongkok dimana saat itu, mayoritas masyarakat Tiongkok adalah petani. “Para petani ini menyambut datangnya musim semi sebagai pertanda awal hidup yang baru,” tukas Shinta dalam keterangannya, Selasa (28/1/2025).
Untuk konteks Indonesia, perayaan Imlek sempat pernah dilarang dilaksanakan yakni saat era Presiden Soeharto atau Orde Baru terutama di arela publik. “Di masa Orde Baru, tradisi Imlek tidak boleh dirayakan di ruang publik. Pelaksanaannya juga secara terbatas,” papar Shinta.
“Baru pada pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid, perayaan Imlek mendapatkan pengakuan secara nasional bahkan menjadi hari libur nasional,” imbuhnya.
Shinta menegaskan bahwa keunikan Imlek terletak pada aspek inklusivitasnya, dimana menurutnya, tradisi Imlek tidak hanya dimiliki oleh masyarakat Tionghoa saja melainkan seluruh masyarakat Indonesia. Shinta mencontohkan seperti tradisi membagikan angpao yang juga ada di momen Idulfitri atau adanya mie panjang umur dan kue keranjang yang telah menjadi bagian dari tradisi bersama bahkan termasuk barongsai dan berbagai pernak-pernik Imlek lainnya telah menjadi bagian masyarakat Indonesia secara umum.
“Ini membuktikan betapa terbukanya masyarakat Indonesia terhadap budaya baru khususnya budaya Tionghoa,” tegas Shinta.

Karena itulah, Shinta menerangkan bahwa terdapat elemen filosofis pada setiap pernak-pernik Imlek dimana misal tekstur lengket pada kue keranjang mencerminkan eratnya hubungan persaudaraan termasuk kuenya sendiri melambangkan harapan hidup bahagia.
“Untuk warna merah yang biasanya identik sebagai warna dominan dalam perayaan Imlek itu melambangkan keberuntungan dan kesuksesan, sementara untuk warna emasnya sendiri melambangkan kemakmuran,” paparnya menjelaskan detail.
Untuk konteks perayaan yang eringkali diidentikan dengan hujan adalah pembawa rezeki berlimpah, menurut Shinta, masyarakat Tionghoa percaya bahwa sebelum perayaan Imlek, Dewi Kwan Im turun ke Bumi untuk menyiram bunga meihua. “Makanya dalam perayaan Imlek jika turun hujan diyakini sebagai siraman air dari Sang Dewi tersebut,” katanya.
Banyaknya filosofi yang terkandung dalam perayaan Imlek, lanjut Shinta, menjadikannya tidak hanya sekebuah momentum budaya, melainkan telah menjadi simbol keberagaman dan harmoni yang harus dipertahankan di tengah maraknya globalisasi sehingga menjadi perekat persatuan dan kesatuan bangsa.
(pkip/rafel)