Friday, October 11, 2024
spot_img
HomeGagasanKasus Siyono: Negara Jangan Beternak Dendam

Kasus Siyono: Negara Jangan Beternak Dendam

IMG-20160315-WA0024

Di tengah serunya pembahasan revisi Undang-Undang (UU) Pemberantasan Terorisme, kegaduhan terjadi. Seorang terduga pelaku tindak pidana terorisme bernama Siyono, asal Klaten, Jawa Tengah, meninggal dunia dalam tahanan Densus 88 Polri.

Meski otoritas Polri telah merilis penyebab kematiannya, tak mudah bagi publik untuk begitu saja menerima penjelasan itu. Betapa tidak, seseorang yang sehari sebelumnya ditangkap dalam kondisi fisik segar bugar lalu dikabarkan menjemput ajal karena kelelahan. Siyono dikabarkan melakukan perlawanan di dalam kendaraan, saat dibawa untuk diperiksa.

Pemerintah dan para pemangku pemberantasan terorisme harus diingatkan agar jangan pernah memproduksi dendam atau beternak terorisme. BNPT, Polri, BIN dan TNI harus menyadari bahwa terorisme sesungguhnya bukanlah kejahatan yang berdiri sendiri. Dia bersifat interaksionisme dan dapat dikelompokkan ke dalam kejahatan balas dendam atau hate crimes.

Terorisme adalah reaksi negatif terhadap aksi yang dipandang ‘jahat’. Pandangan ‘jahat’ itu sendiri memang lebih merupakan persepsi ketimbang fakta.

Ketidakmampuan untuk memberi reaksi secara langsung dan terbuka atas sikap, perbuatan seseorang atau sekelompok orang bahkan kebijakan penguasa (negara) yang dipandang secara subyektif sebagai perbuatan dzalim, semena-mena, diskriminatif atau tidak adil, dapat dengan mudah melahirkan reaksi berupa anarkisme dan terorisme. Apalagi jika negara ternyata tidak memiliki atau mampu menyediakan ‘legitimate means‘ yang memadai untuk mengoreksi sikap, perbuatan maupun kebijakan yang dipandang ‘jahat’ itu.

Terorisme dapat dengan mudah hadir menyusul persoalan politik, hukum, ekonomi dan sosial. Dia berpeluang hadir dalam setiap geliat kehidupan. Karena ini adalah soal ketidakpuasan, kekecewaan, keputusasaan. Dia lahir sebagai paradoks demokrasi.

Terorisme memang extra ordinary crime, sehingga dapat dipahami juga bahwa pencegahan dan penindakan atas kejahatan ini membutuhkan upaya hukum luar biasa. Tapi sebenarnya merumuskan standar dan prosedur penangkapan pelaku teror, apalagi yang belum cukup bukti, tidaklah mudah.

Pemerintah harus menyadari, problem utama dalam pemberantasan terorisme sebenarnya adalah rendahnya kepercayaan masyarakat pada i’tikad baik penguasa terhadap rakyat. Kekhawatiran ini bahkan lebih besar daripada ketakutan masyarakat terhadap ancaman teror itu sendiri. Terlebih lagi adanya fakta bahwa penegakan hukum kita masih lemah dan diskriminatif disana-sini. Sementara itu, karakter operasional pemberantasan terorisme bahkan justru bersifat rahasia dan tertutup.

Intimidasi dan kekerasan fisik adalah teknik interogasi paling purba untuk mendapatkan pengakuan tersangka. Ini memang cara paling mudah dan efektif. Namun perkembangan zaman dan penghormatan atas hak-hak hukum, membuat teknik interogasi itu kerap menjadi kontra produktif jika dilakukan secara serampangan.

Pertanyaannya, apakah para personil Densus 88 yang menjadi ujung tombak pemberantasan terorisme di lapangan memiliki kemampuan memadai untuk itu? Jika tidak, tentu saja jangan berikan kewenangan berlebihan. Tugas utamanya dalam penindakan adalah melumpuhkan dan membawanya agar dapat dimintai keterangan sehingga diperoleh informasi yang kuat soal aktivitas dan jejaring si tersangka maupun kelompok yang diduga terkait terorisme.

Selebihnya, bagaimana agar pelaku bersedia bicara atau bahkan bersikap kooperatif, sebaiknya disiapkan tim yang lebih andal dalam memainkan aspek psikologis tersangka. Jika tidak cermat dan hati-hati, kesalahan fatal yang dilakukan petugas pada proses penangkapan maupun pada proses interogasi, justru dapat dipandang sebagai ketidakmampuan atau kegagalan kepolisian melakukan pengungkapan dan mendapatkan alat bukti yang cukup.

Kembali ke kasus Siyono, agar tidak menimbulkan spekulasi dan problem baru, alangkah baiknya jika pemerintah bersedia melakukan investigasi yang mendalam. Adakah pelanggaran prosedur, kelalaian atau tindakan melampaui kewenangan yang telah dilakukan aparat di lapangan? Perlu dilakukan evaluasi menyeluruh atas praktek penangkapan terduga pelaku tindak pidana terorisme yang bukti permulaannya belum cukup kuat, agar tak menimbulkan masalah seperti salah tangkap, pelanggaran hak warga negara, dan sebagainya.

Selain itu, kasus Siyono juga menunjukkan pentingnya revisi UU Pemberantasan Terorisme memberi ruang bagi mekanisme pengawasan dan perlindungan hak-hak warganegara. Selain membahas soal tambahan dan perluasan kewenangan, harus ada klausul yang membahas semacam fungsi pengawasan parlemen yang spesifik atas upaya pemberantasan terorisme.

Juga perlu ada mekanisme ‘legitima temeans‘ melalui pasal-pasal yang mengatur tentang pemulihan hak, rehabilitasi nama baik, maupun penggantian yang layak atas kerugian materiil dan immateriil yang dialami seseorang yang tidak terbukti menjadi pelaku tindak pidana terorisme, salah tangkap, atau bahkan meninggal dunia dalam proses pengungkapan sebelum kesalahannya dapat dibuktikan. Termasuk juga peluang mengajukan gugatan jika hak-hak tadi tidak diberikan kepada dirinya, maupun ahli warisnya.

Di sisi lain, reward dan punishment bagi aparatur yang terlibat dalam pemberantasan terorisme perlu dipertegas. Semisal bagi aksi penangkapan yang berakhir dengan kematian si terduga pelaku, harus dilakukan evaluasi yang menyeluruh mengenai hal itu dan tiap pelanggaran tak lagi ditolerir.

Terakhir, untuk memuaskan rasa keadilan masyarakat dan akuntabilitas pemberantasan terorisme di Indonesia, pemerintah perlu segera merespons tuntutan berbagai pihak untuk melakukan investigasi dan evaluasi mendalam atas kasus Siyono. Harus ada yang bertanggungjawab untuk itu, agar i’tikad baik dalam hal pemberantasan terorisme tak lagi diragukan masyarakat.

Jangan lagi membudidaya kebencian, jika tak ingin menuai teror. Percuma bicara deradikalisasi hingga berbusa, jika mengelola kepercayaan masyarakat saja tak mampu.

KHAIRUL FAHMI
Institute for Security and Strategic Studies (ISESS)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Berita Terbaru

Most Popular