Palu, – Tak banyak pejabat militer yang serius mendalami suatu budaya dimana ia pernah bertugas dan kemudian keseriusan itu dibawa ke ranah akademis hingga membuatnya mampu meraih gelar impian, doktor. Itulah yang dilakukan si anak pedagang kelontong di Pasar Tradisional Tanah Merah, Bangkalan, Madura, Jawa Timur, Mayjen TNI Farid Makruf, M.A., yang pernah menjabat sebagai Danrem 132/Tadulako di Sulawesi Tengah periode 2020-2021.
Keseriusannya menjalani studi, riset lapangan hingga berjibaku dengan penulisan disertasi yang memakan waktu yang lumayan di tengah tanggung jawabnya sebagai perwira tinggi TNI, akhirnya menemukan ujungnya ketika pada akhirnya, Senin (5/8/2024) bisa melaksanakan ujian terbuka dalam rangka meraih gelar Doktornya di Universitas Tadulako, Palu. Adapun disertasi yang dipresentasikan Farid Makruf berjudul “Analisis Sistem Budaya Ketadulakoan dalam Perspektif Ketahanan Nasional.”
Penelitian Pati TNI bintang dua tersebut mengkaji kontribusi sistem budaya Ketadulakoan terhadap ketahanan nasional, dengan tujuan menggabungkan perspektif budaya lokal dan konsep ketahanan negara. “Disertasi ini diharapkan memberikan wawasan baru untuk memperkuat fondasi ketahanan nasional Indonesia,” ucapnya.
Ujian terbuka Mayjen TNI Farid Makruf dipimpin langsung oleh Ketua Tim Penguji, Profesor Amar, yang juga menjabat sebagai Rektor Universitas Tadulako. Sekretaris tim penguji adalah Profesor Adam Malik, dan anggota penguji lainnya meliputi Prof. Dr. Muhammad Nur Ali, M.Si (Promotor), Dr. Ahmad Herman, M.Si (Co Promotor), Prof. Dr. Muhammad Khairil, M.Si, MH, dan Dr. Hasan Muhammad.
Penguji eksternal yang hadir dalam ujian ini adalah Prof. Dr. H. Muh. Akbar, M.Si, CWM, Dr. Ir. Benny Hutahayan, S.H, M.H, M.P.A, dan Prof. Slamet. Selain itu, Dr. Sitti Chaeriah Ahsan, M.Si, turut serta sebagai penguji internal.
Dalam pelaksanaan ujian, para penguji memberikan berbagai masukan dan pertanyaan kritis terkait desertasi yang disampaikan oleh Mayjen TNI Farid Makruf. Diskusi yang terjadi tidak hanya menguji pengetahuan dan pemahaman kandidat, tetapi juga memperkaya penelitian dengan berbagai perspektif yang mendalam.
Penelitian yang dilakukan oleh Mayjen TNI Farid Makruf ini diharapkan dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam konteks ketahanan nasional. “Dengan menganalisis sistem budaya Ketadulakoan, penelitian ini diharapkan menjadi referensi penting untuk memperkuat ketahanan nasional melalui pemahaman budaya lokal yang lebih komprehensif,” imbuhnya.
Kehadiran para penguji yang berkompeten dan diskusi yang konstruktif dalam ujian terbuka ini menandakan langkah penting dalam pengembangan akademik dan ilmu pengetahuan di Indonesia. Mayjen TNI Farid Makruf berharap hasil dari ujian ini dapat memberikan dampak positif bagi pengembangan ketahanan nasional di masa depan.
Dihubungi seusai melaksanakan ujian doktoralnya, Mayjen TNI Dr. Farid Makruf mengatakan bahwa dirinya ingin menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan dan bantuan hingga saya dapat diwisuda sebagai doktor.
“Ucapan terima kasih saya yang pertama ditujukan kepada para pembimbing saya, Prof. Dr. Muhammad Nur Ali, M.Si dan Dr. Ahmad Herman, M.Si, yang telah memberikan bimbingan, nasihat, dan dorongan tanpa henti selama proses penelitian ini,” tukasnya.
“Saya juga berterima kasih kepada seluruh tim penguji yang terdiri dari Prof. Amar, Prof. Adam Malik, Prof. Dr. Muhammad Khairil, M.Si, MH, Dr. Hasan Muhammad, Prof. Dr. H. Muh. Akbar, M.Si, CWM, Dr. Ir. Benny Hutahayan, S.H, M.H, M.P.A, Prof. Slamet, dan Dr. Sitti Chaeriah Ahsan, M.Si. Ujian ini menjadi lebih bermakna dengan masukan dan pertanyaan kritis yang diberikan oleh Bapak dan Ibu sekalian,” imbuhnya.
“Tidak lupa, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada keluarga saya yang selalu memberikan dukungan moral dan motivasi tanpa henti. Tanpa mereka, saya tidak akan bisa mencapai titik ini,” yang ditujukan pada keluarganya yang turut mendampingi selama ujian sidang terbuka doktoralnya di hadapan 10 penguji.
“Terakhir, saya sampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada seluruh teman, rekan kerja, dan staf Universitas Tadulako yang telah memberikan dukungan serta bantuan teknis dan administratif selama proses studi saya,” tandasnya.
Mengenal Mayjen TNI Dr. Farid Makruf, M.A
Farid Makruf lahir di Desa Petrah, Kecamatan Tanah Merah, Kabupaten Bangkalan, Madura pada 6 Juli 1969. Tanah kelahirannya ini bisa jadi membuat sosok Farid Makruf cocok dengan karakter Korps Pasukan Khusus yang garang.
Terlahir dari keluarga pedagang kelontong di Pasar Tradisional Tanah Merah, sekitar 21 kilometer dari Bangkalan, Farid Makruf kecil sudah belajar memahami karakter masyarakat. Seperti Emha Ainun Nadjib, budayawan nasional yang pernah mengatakan bahwa, “pasar adalah universitas terbaik. Di pasarlah, segala macam karakter orang bertemu.”
Bekal itulah yang dibawa Farid Makruf hingga menjadi komandan di beberapa satuan. Kemampuannya memahami karakter anak buah dan cepat tanggapnya atas kebutuhan anggota membuatnya akrab tapi tetap disegani.
Pengalamannya hidup di lingkungan pasar, bertemu dengan orang dengan karakter beragam, kemampuan beradaptasi dengan situasi, dan berkomunikasi dengan banyak orang terbawa hingga menjadi komandan satuan.
Setamat SMA, ia sudah mendaftar ke Institut Pertanian Bogor dan kemudian lulus. Suatu waktu bapaknya membawa brosur Akabri dan menunjukkan padanya. Farid Makruf remaja tertarik. Bapaknya pun bertanya, sembari menunjukkan daun pisang; “Rid, ini warna apa?” Ia menjawab; “Warna hijau.” Bapaknya pun langsung menyambung; “Bila begitu, ikut saja tes Akabari. Sebab kalau kamu jawab itu biru daun, kamu bakal tak lulus.”
“Bapak sengaja bertanya begitu karena kebiasaan orang Madura yang menyebut warna biru daun untuk daun yang berwarna hijau. Jadi semuanya biru,” kisahnya sembari tertawa.
Farid pun pun mencoba mendaftar dan setelah melalui serangkaian tes, ia pun dinyatakan lulus.
“Alasan saya waktu itu karena kuliah IPB maka tentu saja orang tua saya akan mengeluarkan biaya banyak, sementara masih ada kakak saya yang kuliah. Saya pun mendaftar di Akabri dan lulus. Dan itu tanpa katabelece atau orang dalam ya,” kisahnya kemudian.
Lulus dari Akabri, ia langsung diperintahkan masuk Korps Pasukan Khusus, pasukan elit yang sudah tersohor sejak lama itu. Pada 1992-1994 ditugaskan di Timor Timur. Pada 2003-2004, Farid Makruf yang masih berpangkat Kapten ditugaskan bergabung dengan UNAMSIL (United Nation Mission in Sierra Leone). Misi ini dibentuk oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa sejak Oktober 1999 untuk membantu pelaksanaan Kesepakatan Perdamaian Lomé, sebuah perjanjian yang dimaksudkan untuk mengakhiri perang saudara Sierra Leone, Afrika Barat.
Setelahnya, sejumlah penugasan dilakoninya termasuk menjadi Danrem 162/Wira Bhakti, Mataram 2016-2018 sampai Danrem 132/Tadulako, Palu. Di Palu, ia menjadi wakil Penanggung Jawab Kendali Operasi (PJKO) Operasi Tinombala, kemudian Operasi Madago Raya yang memburu kelompok sipil bersenjata Mujahiddin Indonesia Timur.
Bertugas di Palu, tak ubahnya mengulang apa yang sudah dikerjakannya di Mataram, NTB. Di Bima, dia melakukan upaya menghadang laju tumbuhnya radikalisme. Saat gempa bumi Lombok 2018, ia menjadi Komandan Satuan Tugas Penanggulangan Darurat Bencana. Itu pula yang dihadapinya pasca bencana dahsyat Padagimo – Palu, Donggala, Sigi dan Parigi Moutong. Selain menjalankan tugas keseharian sebagai komandan satuan, ia juga menjadi Komandan Satgas Percepatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana Sulteng.
Gaya kepemimpinannya di satuan militer dan penugasannya bersama orang-orang sipil terpola dengan baik. Ia punya prinsip; Pemimpin yang baik itu tak harus berharap pujian, Ia cuma berpikir apa yang dilakukannya bisa bermanfaat buat orang banyak.
“Menjadi pemimpin itu berarti harus bermanfaat buat orang banyak,” kata anak lelaki pasangan H. Raden Mochammad Munir dan Hj. Siti Amina ini.
Kemampuannya melakukan penggalangan para pihak patut diancungi jempol. Para Akademisi, komunitas budayawan, seniman, pecinta senjata tradisional, dan olahragawan diajaknya bertemu. Mulai dari berdiskui hingga membuat kegiatan-kegiatan edukatif dan informatif, bahkan menerbitkan sejumlah buku. Buku Tadulako, Leluhur Sulawesi Tengah; Dari Mitos ke Realitas yang ditulisnya dianggap sebagai salah satu buku referensi akademik yang penting.
Sekarang, peraih magister dalam bidang kajian keamanan dari University of Hull, Inggris itu telah selesai menjalani studi doktoralnya di Pasca Sarjana, Universitas Tadulako.
“Semoga studi yang telah saya jalani dan pertahankan hari ini (Senin (5/8/2024), red.) dapat memberikan dampak positif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan ketahanan nasional. Terima kasih,” pungkasnya.
(tommy/rafel)