Saturday, April 20, 2024
HomeSains TeknologiLingkunganJasad Manusia Jadi Kompos, Pakar Lingkungan: Bisa Tularkan Penyakit!

Jasad Manusia Jadi Kompos, Pakar Lingkungan: Bisa Tularkan Penyakit!

 

SURABAYA – Ide menjadikan langkah pengomposan manusia sebagai metode baru dalam menangani orang mati yang dianggap unggul jika dibandingkan dengan pemakaman tradisional dan kremasi ternyata memiliki dampak terhadap lingkungan hidup manusia. Metode baru yang kini telah legal di sebagian negara bagian di Amerika Serikat seperti di Colorado, Oregon, Vermont dan Washington.

Prosesnya dilakukan dengan meninggalkan tubuh dalam wadah berisikan serpihan kayu dan bahan organik lainnya selama sekitar satu bulan. Kemudian memanfaatkan bakteri untuk menjadikan jasad sebagai kompos. Proses penguburan di California membutuhkan tiga galon bahan pembalseman untuk tiap jasadnya seperti formaldehida, metanol, and etanol. Sedangkan proses kremasi menghasilkan lebih dari 500 pound (227 kilogram) karbondioksida dari proses pembakaran satu jasad.

Pembakaran itu sendiri menghabiskan energi yang setara dengan dua tangki bensin. Di Amerika Serikat, kremasi menghasilkan sekitar 360.000 metrik ton karbondioksida setiap tahun.

Ternyata metode demikian, menurut Guru Besar Kesehatan Lingkungan Universitas Airlangga Prof. Dr. drh. Ririh Yudhastuti, M.Sc., pengomposan manusia terdapat resiko menularkan penyakit yang dibawa oleh si jasad.

“Karena takutnya akan menyebarkan penyakit. Contohnya hewan yang kena penyakit antraks, rabies, atau penyakit ini (lain, Red) itu menguburnya pun kalau orang dulu menggunakan gamping. Itu artinya apa? Kita mematikan mikroorganisme, parasit atau apa tidak baru dikubur. Atau kalau bisa kita bakar atau kremasi. Itu fungsinya mematikan kuman-kuman yang nanti bisa tumbuh pada tanaman,” katanya pada media ini, Jumat (18/11/2022).

Prof Ririh menerangkan bahwa misalnya dalam penanganan jasad manusia yang terinfeksi Covid-19 saja, tingkat penularannya tinggi. Yakni, jasad tersebut harus dikubur sedalam 3 meter atau lebih serta tidak berada di sekitar sumber air.

“Itu baru satu penyakit. Lalu bagaimana dengan penyakit lain seperti HIV/AIDS dan antraks. Itu bisa menularkan pada tanaman di atasnya. Terus beberapa ayam (burung unta) yang memakan di situ seperti biji-bijian itu ada antraksnya. Walaupun dia tidak terkena antraks, tapi DNA-nya ada,” tandasnya.

Menurut Prof Ririh, negara bagian di Amerika Serikat seperti Colorado kemungkinan memiliki budaya dan kondisi lingkungan yang mendukung legalisasi metode pengomposan manusia beda dengan di Indonesia.

“Jadi, mungkin hal semacam itu (pengomposan manusia, red.) biasa di sana. Dan, di sana tanahnya kan kering jadi tidak banyak unsur haranya,” pungkasnya.

(bus/pkip/bti)

RELATED ARTICLES

24 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular