
Permintaan Wakil Ketua Umum Projo, Freedy Damanik, kepada Presiden Prabowo Subianto agar memberikan amnesti kepada Silfester Matutina dalam kasus pencemaran nama baik terhadap Wapres Jusuf Kalla, membuka kembali perdebatan krusial tentang batas antara kekuasaan politik dan supremasi hukum.
Freedy beralasan bahwa Silfester layak mendapat amnesti seperti halnya Gus Nur dalam perkara fitnah ijazah Presiden Jokowi. Namun narasi ini berbahaya jika dijadikan preseden. Amnesti bukan hadiah politik, melainkan mekanisme hukum luar biasa yang diberikan dalam kondisi sangat terbatas dan dengan pertimbangan mendalam.
Hukum Belum Ditegakkan
Putusan terhadap Silfester Matutina telah berkekuatan hukum tetap sejak tahun 2019 dengan vonis 1,5 tahun penjara. Namun hingga 2025, vonis tersebut belum dieksekusi. Di sinilah letak persoalan mendasar: bagaimana mungkin seorang terpidana yang belum menjalani masa hukumannya justru diminta untuk “diampuni”?
Kita menghadapi ironi hukum. Ketika vonis pengadilan diabaikan oleh aparat penegak hukum, dan ketika loyalitas politik dianggap lebih penting dari penegakan keadilan, maka sistem hukum berada di ujung tanduk. Jika Presiden menyetujui permintaan amnesti ini, pesan yang dikirim kepada publik sangat jelas: hukum bisa dikompromikan demi kenyamanan politik.
Wewenang Presiden yang Terbatas
Secara konstitusional, Pasal 14 UUD 1945 memang memberikan Presiden hak untuk memberikan amnesti dan abolisi, namun harus dengan pertimbangan DPR. Dalam praktiknya, kewenangan ini harus dijalankan dengan kehati-hatian tinggi dan bukan untuk menyelesaikan konflik individual atau kepentingan partisan.
Pemberian amnesti yang ideal adalah dalam kerangka rekonsiliasi nasional, penghapusan kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi, atau pengakuan atas kekhilafan negara dalam menghukum warganya. Namun dalam kasus Silfester, tidak ada indikasi bahwa putusan pengadilan lahir dari tekanan politik, kriminalisasi, atau ketidakadilan struktural. Sebaliknya, ini adalah perkara pribadi antara dua warga negara, yang telah melalui proses hukum secara formal dan final.
Potensi Bahaya Preseden
Jika amnesti diberikan hanya karena kedekatan politik atau atas dasar “rasa tidak enak”, maka ke depan kita akan menyaksikan semakin banyak terpidana politikus atau buzzer yang berlindung di balik jalur amnesti untuk menghindari jerat hukum.
Kita tidak boleh membiarkan negara dikelola dengan mentalitas balas jasa. Bila seseorang bisa bebas dari hukuman hanya karena kedekatan dengan kekuasaan, maka prinsip negara hukum berubah menjadi negara perasaan, di mana relasi personal lebih menentukan dari putusan hakim.
Amnesti bukan barang murah. Ia harus dijaga eksistensinya sebagai upaya negara untuk merawat keadilan substansial, bukan menyelamatkan loyalis yang terjerat persoalan pribadi. Dalam negara hukum, setiap warga negara setara di hadapan hukum. Tidak boleh ada kekhususan hanya karena kedekatan.
Menolak Impunitas
Presiden Prabowo Subianto, sebagai kepala negara sekaligus simbol penegakan hukum, harus menunjukkan sikap tegas. Bila beliau ingin mewariskan pemerintahan yang kuat dan berwibawa, maka keputusan ini adalah ujian awal: apakah hukum masih tegak lurus, atau mulai melunak saat menyentuh orang dekat.
Daripada mengampuni vonis yang bahkan belum dilaksanakan, akan lebih bijak jika Presiden mendorong eksekusi hukum terlebih dahulu. Setelah itu, jika memang ada alasan kemanusiaan atau pengakuan kekhilafan yang sah, mekanisme hukum seperti grasi atau rehabilitasi bisa dipertimbangkan, tentu melalui prosedur resmi.
Jika prinsip ini dilanggar, maka masa depan hukum Indonesia akan semakin kabur: antara hukum, kekuasaan, dan loyalitas. Jangan biarkan amnesti menjadi alat pelindung impunitas.
AGUNG NUGROHO
Direktur Jakarta Institut



