JAKARTA – Jaksa Agung RI, HM Prasetyo melihat adanya kesia-siaan terkait kasus peristiwa G30S/PKI dibawa ke International Public Tribunal atau pengadilan publik internasional di Den Haag, Belanda. Hal tersebut disebabkan, Indonesia sendiri menurutnya bisa menyelesaikan permasalahan tersebut.
“Kenapa dibawa ke sana? Kita kan bisa menyelesaikan sendiri,” ujar Jaksa Agung saat ditemui di Ecopark, Ancol, Jakarta, Kamis (12/11).
Sebagai informasi, saat ini pengusutan peristiwa yang terjadi pada 1965 itu memang belum jelas. Di satu sisi, ada pihak-pihak yang menginginkan pelaku dihukum, namun di sisi lain mereka belum menemukan bukti yang kuat. Prasetyo sendiri menilai temuan-temuan yang diklaim sebagai bukti tidak bisa dipakai. Ujungnya, kasus-kasus terkait G30SPKI tak ada yang diproses penyidikan. Karena, untuk bisa mencapai tahapan itu, suatu bukti haruslah kuat, sehingga bisa diproses hukum. Pada 2008 Komnas HAM telah mengajukan beberapa bukti namun dianggap lemah.
“Hasilnya masih belum memenuhi syarat untuk ditingkatkan ke penyidikan,” imbuhnya.
Lagipula, rezim dimana pelanggaran kemanusiaan ini diduga terjadi, sudah tidak ada. Namun, karena belum menjadi suatu kasus dan baru dugaan, maka sistem kadaluarsa tidak ada. Oleh karena itu, Jaksa Agung ingin agar pencarian bukti bisa terlaksana.
“Kita berharap beban masa lalu ini segera bisa kita akhiri. Kita sedang melakukan perencnaaan oleh kita sendiri. Ada tahapannya,” pungkasnya.
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) sebagai penjaga gawang urusan luar negeri Indonesia, menganggap pengadilan publik internasional di Den Hag itu adalah kebebasan beraspirasi. Pemerintah Indonesia sendiri, menurut Juru Bicara Kemlu, Armanatha Nasir mengaku tidak mempermasalahkan hal tersebut. Terlebih, kegiatan tersebut, menurutnya diluar mekanisme hukum yang sah maupun proses nasional yang telah dan sedang berlangsung.
“Sebagai negara demokrasi yang menghormati HAM, kita memandang kegiatan tersebut sebagai kebebasan untuk menyampaikan ekspresi dan pendapat,” ujar Armanatha Nasir.
Menurut sosok yang akrab disapa Tata tersebut, pihaknya menilai masyarakat sebagai bangsa Indonesia harus bersikap visioner. Artinya, bisa melihat suatu hal dengan pandangan ke depan dan tetap menghormati. Utamanya dalam mencari kejadian sebenarnya dari suatu sejarah. Pasalnya, tiap negara memiliki dinamika sejarah masing-masing, tidak terkecuali Indonesia.
“Penanganan nasional dalam hal ini perlu dikedepankan khususnya dalam konteks rekonsiliasi,” ucap Tata.
Sebagai negara demokratis dengan komitmen terhadap perlindungan HAM, pemerintah RI menurut Tata, pastilah memiliki keyakinan tinggi menyelesaikan permasalahan di masa lalu.
“Penanganan masalah HAM di tahun 1965 menuntut pendekatan komprehensif dan inklusif, melibatkan seluruh elemen bangsa,” pungkas Tata.
(msa/bti)