JAKARTA, CAKRAWARTA.com – Polemik Bulan Dana PMI DKI Jakarta memicu kegaduhan. Relawan Kesehatan (Rekan) Indonesia menuding program tahunan itu tak lagi mencerminkan semangat kemanusiaan, melainkan sarat paksaan, minim transparansi, bahkan rawan jadi ajang “bancakan” dana miliaran rupiah.
“Kalau dalam tradisi Buddhis, pindapāta itu murni niat baik dimana para Bante berjalan terima sedekah sukarela umat, tanpa target, tanpa potongan. Tapi Bulan Dana PMI di DKI, warga diperlakukan sebaliknya dimana siswa sekolah, pegawai instansi, hingga masyarakat luas seakan wajib setor,” tegas Ketua Umum Rekan Indonesia, Agung Nugroho, di Jakarta, Selasa (9/9/2025) pagi.
Agung mengungkap praktik janggal di lapangan. Alih-alih semangat tulus membantu sesama, pejabat instansi yang jadi penanggung jawab justru disebut mendapat persentase dari hasil kutipan. “Inilah yang membuat program ini lebih mirip rutinitas administrasi ketimbang aksi kemanusiaan. Bahkan bisa masuk kategori gratifikasi,” ujarnya.
Tak berhenti di situ, Agung juga mempertanyakan ke mana larinya dana yang terkumpul setiap tahun. Menurutnya, publik jarang mendapat laporan audit terbuka, meski jumlahnya mencapai miliaran rupiah. “Kalau Bante jelas bahwa makanan masuk mangkuk, langsung dimakan hari itu juga. Dana PMI? Rakyat tak tahu jelas alurnya,” sindirnya.
Karena itu, Rekan Indonesia mendesak Pemprov DKI segera mencari skema baru pendanaan untuk PMI. Agung mengusulkan agar BUMD diwajibkan menyisihkan anggaran CSR bagi PMI. Dengan begitu, roda operasional tetap berjalan tanpa harus menekan masyarakat dengan iuran berkedok sukarela.
“Jakarta ini kota global, mestinya bisa jadi contoh soal transparansi dan akuntabilitas. Jangan biarkan sedekah berubah jadi ritual administratif yang menekan warga. Bulan Dana PMI harus direformasi agar kembali ke ruh kemanusiaan,” pungkas Agung. (*)
Editor: Abdel Rafi
