Thursday, February 13, 2025
spot_img
HomeGagasanIndonesia Gabung BRICS: Respons Konfigurasi Geopolitik Baru?

Indonesia Gabung BRICS: Respons Konfigurasi Geopolitik Baru?

Bergabungnya Indonesia ke dalam kemitraan BRICS tidak cukup mengejutkan, karena setidak-tidaknya Presiden Prabowo Subianto telah berwacana sejak awal kepemimpinannya untuk masuk dalam kelompok negara yang terdiri atas Brazil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan tersebut. Kendati demikian masuknya Indonesia ke BRICS menyisakan tanda tanya besar mengingat ketegangan geopolitik dunia semakin meningkat, mulai dari konflik Rusia-Ukraina hingga dinamika Tiongkok-Taiwan, serta situasi memanas di Laut Cina Selatan sehingga membutuhkan atensi yang cukup besar terkait posisi terjepit Jakarta diimpit kekuatan besar dengan potensi untuk meninggalkan jauh-jauh salah satu prinsip kebijakan luar negeri yakni “lingkaran konsentris”.

Absennya Menteri Luar Negeri Sugiono dalam salah satu pertemuan penting negara-negara Asia Tenggara atau Association of South-East Asian Nations (ASEAN) pada Desember 2024 lalu menandai potensi pengabaian “lingkaran konsentris” pertama yang justru penting untuk menjaga stabilitas di lingkaran terkecil. Terutama sekali sebagai jembatan awal atau test case Jakarta dalam memperluas keterlibatan di tingkat global menjadi semakin lemah dalam lingkup regional. Muncul pertanyaan, apakah Indonesia telah kehilangan fokus pada fondasi strategisnya di kawasan?

BRICS, Tantangan Lingkaran Konsentris dan Implikasi Geopolitik Regional

BRICS dibentuk untuk melawan dominasi Barat dalam tatanan dunia, dengan Tiongkok dan Rusia sebagai penggerak utama maka blok kerja sama ekonomi yang berdiri pada tahun 2009 sebagai BRIC tersebut mendorong transisi menuju dunia multipolar. Sebaliknya, Indonesia yang memiliki agenda dan pendekatan politik luar negeri yang berbeda justru mengusung peran representasi penting bagi negara-negara Selatan untuk memperjuangkan global south sesuai dengan semangat yang diusung oleh Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955.

Namun, salah satu prinsip politik luar negeri Indonesia yakni “lingkaran konsentris” menuntut agar fokus utama tetap pada stabilitas regional. ASEAN adalah lingkaran pertama yang menjadi fondasi dari kebijakan luar negeri Indonesia. Keterlibatan di forum global seperti BRICS tidak boleh mengesampingkan peran strategis ASEAN dalam menjaga stabilitas Indo-Pasifik secara lebih luas lagi, terlebih organisasi regional bentukan tahun 1967 ini dapat menjadi tameng Indonesia terhadap kekuatan besar yang bersinggungan langsung dengan Asia Tenggara seperti Tiongkok, India, dan Rusia.

Eskalasi dan ketegangan geopolitik akibat meningkatnya aktivitas Tiongkok di kawasan Laut Cina Selatan yang memperebutkan teritorial laut lepas tersebut dengan negara-negara ASEAN tentu menjadi duri di dalam sekam yang seharusnya mendapat perhatian khusus oleh pemerintahan Prabowo Subianto. Sebaliknya, Prabowo justru telah membuat deal secara bilateral dengan Tiongkok yang klausulnya sama sekali tidak dapat diterima oleh khalayak karena justru memberikan ruang bagi Negeri Tirai Bambu itu untuk mengeksplorasi Laut Natuna Utara. Aksesi ke BRICS tentu dapat diestimasi semakin memuluskan jalan Tiongkok untuk memainkan daya tawarnya terhadap Indonesia agar dapat mendatangkan keuntungan ekonomi dan investasi dengan terus “menggadaikan” hak berdaulat Indonesia atas “irisan wilayah” yang diakui di kawasan Laut Cina Selatan sebagai bagian penting dari stabilitas geopolitik Indo-Pasifik.

Tetap Berhati-hati dengan Dominasi Tiongkok dan Rusia

Indonesia memang telah bergabung dengan BRICS, namun ke depan kalkulasi perlu dibuat secara matang dengan melihat peran penting Tiongkok dan Rusia dalam memimpin BRICS. Kedua negara kerap diasosiasikan dengan tendensi anti-Barat yang tentu sedikit banyak dapat memengaruhi hubungan Indonesia dengan mitra-mitra Baratnya yang strategis termasuk Uni Eropa dan Amerika Serikat. Belum lagi pengabaian terhadap stabilitas regional dapat melemahkan posisi Indonesia sebagai pemimpin kawasan khususnya di ASEAN sebagai representasi Asia Tenggara maupun lebih luas lagi di Indo-Pasifik.

Bermain-main dan melibatkan diri dengan isu sensitif seperti Tiongkok-Taiwan atau Rusia-Ukraina akan membuat Indonesia larut dengan persoalan-persoalan internal negara-negara anggota BRICS. Sudah barang pasti bahwa Indonesia akan sulit untuk netral dan objektif dalam memosisikan diri pada kebijakan luar negeri dari negara-negara sekaliber Rusia dan Tiongkok pasca bergabung dengan prakarsa kerja sama ekonomi yang saat ini juga diikuti oleh Mesir, Ethiopia, Iran, dan Persatuan Emirat Arab tersebut. Bias sikap pasti akan timbul dan seluruhnya berada di luar kontrol baik Presiden Prabowo Subianto maupun Menlu Sugiono.

Memang sejak awal, pengamat hubungan internasional baik di Indonesia dan dunia memandang kebijakan luar negeri era Prabowo masih belum memperhatikan dimensi-dimensi krusial dalam pengambilan keputusan untuk menghadapi secara serius konstelasi internasional yang sedemikian dinamisnya. Sebagai pakar strategi militer terlebih seorang Jenderal dari Kopassus, Prabowo memahami pentingnya melindungi lingkaran terkecil dalam menjaga kepentingan yang lebih besar. Namun melompati forum ASEAN terlebih pada 2023 lalu memegang keketuaan hanya karena fokus pada bergabung dengan BRICS, berpotensi mengurangi kredibilitas internasional dan mengancam stabilitas di lingkup terdekat. Kembali, pertanyaan berikutnya muncul: dengan pembagian tugas dan fungsi satu Menteri dan tiga Wakil Menteri Luar Negeri, bagaimana semua urusan luar negeri dapat tertangani dengan baik dan mencapai kepentingan nasional Indonesia secara maksimal?

Kesimpulan dan Rekomendasi

Bergabungnya Indonesia ke BRICS menawarkan suatu peluang strategis untuk memperkuat hubungan dengan negara-negara Global South, terlebih bertepatan dengan agenda Indonesia untuk meningkatkan leverage Indonesia menjadi negara maju. Tentu tanpa menafikan prinsip “lingkaran konsentris” sebagai panduan utama kebijakan luar negeri Indonesia. Terdapat pertimbangan-pertimbangan strategis yang perlu diperhatikan oleh jajaran pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Luar Negeri Sugiono. Pertama, Indonesia harus memastikan bahwa peran strategisnya di ASEAN tidak terganggu oleh keterlibatan di BRICS. Stabilitas kawasan adalah fondasi bagi keamanan nasional dan kontribusi global dengan memperhatikan isu-isu aktual di kawasan yang bersinggungan dengan urusan pertahanan dan keamanan.

Kedua, Indonesia perlu mengoptimalkan BRICS sebagai platform ekonomi tanpa terjebak dalam dinamika politik-militer yang memperdalam polarisasi geopolitik. Indonesia telah memiliki G20 dan MIKTA misalnya yang juga dapat diekspansi fungsi dan perannya dalam ekonomi politik global. Ketiga, kehadiran aktif di forum-forum regional, terutama ASEAN, adalah langkah penting untuk menjaga kredibilitas dan kepemimpinan Indonesia di Indo-Pasifik. Perlunya untuk memastikan presensi Indonesia pada KTT maupun PTM tetap signifikan. Keempat, Indonesia harus memperkuat komitmennya pada politik bebas aktif, dengan pendekatan nonblok atau justru multiblok yang memastikan fleksibilitas dalam hubungan internasional.

Kebijakan luar negeri Indonesia di bawah Presiden Prabowo Subianto memiliki potensi besar untuk membawa perubahan signifikan. Namun, tanpa penguatan fondasi di lingkaran pertama, langkah menuju kancah global seperti BRICS hanya akan menjadi strategi yang rapuh. Indonesia harus menjaga keseimbangan antara komitmen regional dan keterlibatan global agar tetap relevan dalam dinamika geopolitik yang semakin kompleks. Semoga.

 

PROBO DARONO YAKTI

Dosen Hubungan Internasional FISIP UNAIR dan Direktur Center for National Defence Security Studies (CNDSS)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular