Friday, December 6, 2024
spot_img
HomeGagasanIdeologisasi Fiqh Lingkungan dan Narasi Climate Denial

Ideologisasi Fiqh Lingkungan dan Narasi Climate Denial

Sebelum saya menguraikan tentang bagaimana corak ideologisasi lingkungan dari argumentasi mas Ulil Abshar Abdalla atau tendensi ideologis dari Mas Ulil dalam opininya tentang fiqh lingkungan, saya kembali akan menekankan karakter penulisan dalam opini saya ini. Saya mempercayai apa yang pernah diutarakan oleh Edward W Said (1983) dalam “The World, The Text and The Critics” bahwa suatu teks akan menciptakan kekuatan maksimal ketika berhasil mengurai dan membongkar ruang politik-sosial-kultural dari teks dan proses produksi teksnya yang didudukkan dalam realitas sejarah atau worldliness. Mengingat dengan itulah keterlibatan publik dari seorang penulis menemukan relevansi politiknya, dengan mempertanyakan relasi kekuasaan, kepentingan dan produksi serta reproduksi suatu teks yang hadir dalam ruang publik.

Worldliness dan Ideologi

Melalui pijakan yang telah dibangun melalui bahu raksasa intelektual dari Edward W Said yaitu aktivitas menulis sebagai manifestasi worldliness, atau menulis sebagai realisasi tindakan praksis, saya menggunakan pisau analisis kritik ideologi. Kritik ideologi yang seirama dengan penjelasan Terry Eagleton (1993) dalam karyanya “Ideology: An Introduction” (sesuatu yang juga dikutip oleh Mas Ulil sebagai pembelaan atas kritik ideologi-nya yang sayangnya: antara lupa dia jelaskan pemahamannya atau pelit sekali dia jelaskan maknanya kepada sidang pembaca). Terry Eagleton dalam karya klasiknya ini menempatkan ideologi bukan sebagai kesadaran palsu maupun ilusi, namun sebagai pemaknaan terhadap pengalaman hidup yang selalu terkait dengan kenyataan material konkret sebagai suatu keseluruhan (whole/totality).

Ketika penulis memproduksi teks dalam rangka memaknai suatu realitas sosial dan memunculkan suatu posisi dan sikap politik, maka pembacaan terhadapnya (mengingat Terry Eagleton adalah intelektual yang berpijak pada konsepsi materialisme historis) membutuhkan perhatian terhadap bagaimana teks terhubung dengan kenyataan material beroperasi. Artinya kita kembali pada pembahasan bagaimana posisi teks dalam pertarungan sosial menempatkan relasi kuasa terbangun, kepentingan bertaut, berpisah dan bertentangan, serta operasi politik bekerja merawat dan membentuk formasi sosial, politik dan kebudayaan.

Ketika teks Mas Ulil menuding kalangan aktivis lingkungan sebagai ideolog environmentalist tanpa menjelaskan realitas ekonomi-politik pertarungan sosial yang dihadapi oleh kaum aktivis lingkungan, adalah sekedar menggunakan istilah ideologi dari Terry Eagleton sebatas komedi omong saja! (meminjam istilah pada zaman pergerakan). Istilah ideologi dalam pemaknaan Terry Eagleton digunakan sebagai bentuk pengecohan kepada publik atau strategi ideologis untuk memperkuat argument yang dibangun. Itulah realitas konkret yang sedang dihadirkan dalam pembacaan atas fiqh lingkungan Ulil Abshar Abdalla sebagai strategi ideologi, dan subyek yang menulisnya sebagai Sang Ideolog yang terkoneksi dengan realitas konkret kuasa tambang!

Perihal Climate Denial dan Strategi Ideologi

Berangkat dari hal tersebut tulisan ini akan melanjutkan untuk membongkar kritik ideologi yang telah diuraikan pada opini terdahulu. Pertama-tama kita akan mengupas tendensi ideologis dari artikel fiqh lingkungan Mas Ulil sebagai bagian dari narasi kalangan climate denial! Sengaja saya memberi klaim bahwa corak narasi yang ditulis oleh Mas Ulil dalam kategori kalangan climate denial, karena sebagai bagian dari pertarungan dan polemis politik, maka tidak bisa dilepaskan dari watak politiknya yang disebut agonistik. Agonistik sendiri dalam makna Yunani berangkat dari kata agon yaitu konflik, konfrontasi atau kontestasi antara satu pihak dan pihak lainnya (yang tentu harus dilakukan dengan cara beradab dan anti kekerasan). Disitu saya mendefinisikan posisi opini Mas Ulil yang saya sengketakan sebagai pihak climate denial.

Apakah kalangan climate denial yang saya maksud dalam artikel saya? Kalangan yang mengusung narasi climate denial bukan berarti mereka yang sama sekali membantah hadirnya perubahan iklim, bukan mereka yang menganggap bahwa terjadinya climate change sebagai bagian dari konspirasi Yahudi kepada dunia sebagai cara menundukkan warga dunia seperti banyak hoax yang kita dengar dan baca di media sosial.

Kalangan climate denial di sini seperti diutarakan oleh sosiolog yang berkecimpung pada isu lingkungan Kari Marie Norgaard (2011) dalam “Living in Denial Climate Change, Emotions, and Everyday Life” bahwa mereka para penolak perubahan iklim (climate denial) bukanlah semata-mata yang menganggap bahwa perubahan iklim itu tidak ada, namun termasuk didalamnya mereka yang mengetahui tentang realitas ilmiah dari perubahan iklim namun:

Pertama, kalangan yang menolak perubahan secara literal diajukan sebagai prioritas; Kedua, memaknainya secara eufimistik atau menggunakan jargon-jargon teknis untuk melemahkan urgensitas dari antisipasi atas realitas climate change (interpretative denial); Ketiga, kalangan yang mengabaikan implikasi sosial-politik dari climate change (implicatory climate). Diantara tiga elemen kategoris tersebutlah kita menempatkan diskursus yang diproduksi oleh Mas Ulil dalam opininya sebagai bagian dari climate denial.

Untuk lebih jelasnya mari kembali kita bedah argumen dari Mas Ulil, pertama-tama Mas Ulil menempatkan kajian ilmiah perihal climate change sebagai sesuatu yang netral. Disini teksnya menghindarkan diri untuk memberikan penilaian terkait dengan pro-kontra perihal isu perubahan iklim maupun pemanasan global. Namun demikian dalam menginterpretasikan maupun menimbang implikasi sosial dari diskursus perubahan iklim sangat terlihat strategi ideologis dari teks tersebut sebagai pendukung climate denial. Pada teks Mas Ulil bukan saja menginterpretasikan problem climate change secara eufimistik, langkah yang lebih radikal, para aktivis gerakan sosial lingkungan (environmental social movement) dipandang sebagai kaum ideolog penebar ideologi (dalam kata peyoratif) lingkungan yang hendak menakut-nakuti warga dunia akan ancaman climate change. Untuk lebih jelasnya saya kutip sekelumit uraian beliau:

“Di dalam dunia sekular (terutama di Barat) yang diasumsikan telah “bersih” dari diskriminasi dan persekusi karena alasan-alasan keagamaan, kita menyaksikan munculnya kembali persekusi dalam bentuk lain: yaitu apa yang disebut dengan “cancel culture”, budaya meng-cancel atau mengucilkan orang lain (hingga menutup akses orang bersangkutan pada pekerjaan) karena perbedaan pandangan dalam isu-isu tertentu yang memang “polarizing”, memecah belah. Isu climat change masuk dalam kategori ini. Seseorang yang memiliki pandangan yang (sebut saja) heterodoks atau menyimpang dari “the so-called” ortodoksi sains mengenai climate change, akan mengalami peng-cancel-an. Ini terjadi karena soal lingkungan sudah berubah menjadi isme atau ideologi.
Kalau memakai bahasa Islam, di Barat isu lingkungan ini sudah berubah menjadi “akidah” (dalam bentuknya yang telah disekularkan, tentunya!), bukan lagi isu fikih. Kecenderungan meng-akidah-kan isu lingkungan (climate change), menurut saya, adalah sumber dari pandangan yang diam-diam menajiskan tambang. Saya memandang, masalah tambang ini harus di-downgrade ke level fikih saja. Ini masalah khilafiyyah biasa. Perbedaan tak usah menyebabkan seseorang “dikafirkan”, yakni di-cancel, dianggap jahat. Kecenderungan ini saya lihat begitu menonjol di kalangan para aktivis lingkungan, atau sekurang-kurangnya sebagian dari mereka. (pada tulisan pertama)”.

“Perseteruan tentang “climate change” di Barat juga sudah meningkat ke level ideologi ini. Perdebatan mengenai isu ini bukan sekedar perdebatan biasa, melainkan sudah menjadi pertengkaran yang memiliki aura “keagamaan”. Mereka yang tidak setuju dengan wacana dominan tentang “climate change” diperlakukan dengan cara yang mirip dengan cara-cara “ortodoksi agama” memperlakukan lawan-lawannya: yaitu membikin sebutan yang “menyeramkan” seperti “kafir” dan “murtad”. Dalam isu lingkungan, mereka yang mempertanyakan ortodoksi soal “climate change” akan diberikan label menyeramkan: “climate denialist”, penentang perubahan iklim. Sebutan ini membuat orang-orang teringat pada istilah lain: “holocaust denialist”, penentang holocaust. Secara implisit, isu lingkungan dan perubahan iklim sudah dinaikkan tarafnya sehingga mirip dengan horor holocaust.

Kecenderungan ideologis dalam isu “climate change” dan gender ini sudah menampakkan pengaruhnya ke Indonesia. Makin ke mari, makin kita rasakan gelombangnya. Saya mengatakan bahwa gelombang ideologisasi ini sangat “toxic”, beracun. Saya berpandangan: ini semua harus dilawan dan ditangkal” (pada tulisan kedua).”

Apalagi ketika Mas Ulil mengilustrasikan perjuangan aktivis lingkungan Greta Thunberg sebagai contoh narasi ideologis (dalam makna buruk) kaum aktivis lingkungan yang dianggap abai terhadap aspirasi rakyat Bantul Kulonprogo Yogya yang butuh listrik energi batubara. Seperti berikut:
“Contoh paling baik dari sikap “alarmism” tersebut bisa kita lihat dalam kampanye ala Greta Thunberg, aktivis lingkungan dari Swedia. Thunberg menarik perhatian dunia melalui aksi-aksinya yang berlangsung bertahun-tahun untuk mendesak para pemimpin dunia segera mengambil langkah-langkah kongkret untuk mencegah terjadinya pemanasan global. Puncaknya adalah pidato Thunberg di U. N. Climate Action Summit pada 2019 melalui kata-katanya yang masyhur: “How dare you! You have stolen my dreams and my childhood with your empty words.”

Pidato Thundberg ini, menurut saya, gambaran yang gamblang sekali dari kampanye lingkungan yang sudah berubah jadi ideologi. Thunberg mengira mimpi anak-anak di dunia itu bisa diwakili oleh satu anak dari negeri super-kaya seperti Swedia. Seolah anak-anak dari desa Kulon Progo atau Bantul tidak memiliki mimpi sendiri yang berbeda. Dia, misalnya, tidak membayangkan bahwa ada milyaran anak-anak di kawasan dunia lain yang mimpinya tergantung pada adanya penerangan listrik yang ditenagai oleh batubara atau energi fosil lainnya.”

Teks-teks tersebut membangun batas dan membentuk pembelahan antara nalar fiqh Islami vis a vis nalar dunia Eropa/sekuler, dimana fiqh Islami bercorak dialogis, terbuka dan inklusif, sementara nalar Eropa/sekuler eksklusif, anti-dialog.

Disini artikel Mas Ulil telah mencampuradukkan dan menumpangtindihkan pembelahan esensialis antara Islam dan Barat, Islami dan sekuler (khas Huntingtonian dan nalar kaum Islam fundamentalis seperti Sayyid Qutb, Abul A’la Al-Mawdudi dalam racikan aneh model penalaran Mas Ulil sebagai veteran kaum Islam Liberal yang senang membangun batas dialogis, inklusif versus anti-dialog, eksklusif). Semua itu dibubuhi dengan stempel terkait cancel culture berhubung dengan sikap eksklusi-isolasi-pengucilan dengan berbagai kata kafir, murtad seakan-akan sebagai sesuatu yang diungkapkan oleh kalangan aktivis lingkungan terhadap mereka yang menolak isu tersebut.

Dengan strategi ideologis seperti ini maka paripurnalah kaum aktivis lingkungan di hadapan teks Mas Ulil sebagai mereka kalangan kaum dogmatis anti-dialog, kerjanya mengekslusi yang berbeda dan maunya menang sendiri. Persis saat Mas Ulil pada fase liberal-nya menggambarkan kaum islamis, kaum Islam-politis, kaum fundamentalis Islam sebagai musuh yang tak pernah bisa berpikir dengan akal sehat.

Antara Turnberg dan Lomborg

Yang diabaikan dalam penggambaran narasi Mas Ulil terkait kalangan aktivis lingkungan ini adalah dimana apresiasi Mas Ulil terhadap langkah Greta Turnberg yang menjadi aktivis lingkungan saat dirinya menyerukan aksi konkret kepada para petinggi negara di Paris Agreement 2015. Langkah praksis konkret yang apabila kita tetap mengelola problem climate change dalam rutinitas yang berlangsung pada pola sistem kapitalisme saat ini (business as usual), maka batas toleransi kenaikan iklim 2 derajat celcius akan terjadi, pada tahun 2030-an, sementara saat ini iklim dunia telah naik kurang lebih 1,2 derajat celcius bahkan dalam waktu tidak lama lagi sampai pada 1,5 derajat celcius.

Apakah ketika berbagai efek jebolnya daya tahan bumi akibat deforestasi di Kalimantan, eksploitasi batubara dan minyak bumi di berbagai tempat di seluruh dunia, absennya pengimbang energi terbarukan ancaman pemanasan global, naiknya suhu udara yang telah mengganggu pergantian musim di Eropa, terendamnya Miami di AS dan kemungkinan Jakarta yang tidak bisa dilepaskan dari pencairan es di Greenland, kenaikan suhu udara ekstrem di Asia Tengah tidak pula mengancam penduduk Kulonprogo Bantul? Isu kolektif yang dibela oleh anak umur 21 tahun bernama Greta Turnberg dan kawan-kawan sesama aktivis lingkungan dengan risiko persekusi sosial, intimidasi maupun penahanan oleh otoritas berwajib.

Mari kita bandingkan reputasi Greta Turnberg dengan ilmuwan ilmu politik dan statistik Bjorn Lomborg yang menggugat para pejuang lingkungan (yang ditempatkan sebagai hero oleh Mas Ulil dalam status FB beliau pra-polemik). Lomborg yang karyanya Sceptical Environementalist (judul ini menjadi bagian dari klaim diri Mas Ulil dan barisan pendukungnya dalam artikel yang dia buat) terbit tahun 2001 sempat disidang dan sempat dinyatakan bersalah karena problem ketidakjujuran intelektual, fraud (menipu) dan misconduct (melanggar prosedur metode ilmiah) oleh Komite Ilmiah pemerintahan Denmark. Suatu keputusan yang memunculkan kontroversi di parlemen.

Selanjutnya seperti diutarakan oleh ilmuan dan penulis Howard Friel (2010) dalam karyanya “Lomborg Deception”, dia telah melakukan pengecohan kepada publk terhadap karya-karyanya. Klaim Lomborg tentang wacana perubahan iklim dan pemanasan global yang diteliti oleh para ilmuwan lingkungan dipandang hanya membuang-buang uang yang tidak perlu, atas problem yang tidak eksis adalah hasil dari beratus-ratus kutipan yang tidak sesuai dengan konteks, berlusin argumen hit the straw-men (argumen orang-orangan sawah), dan ilusi riset yang gegabah. Mari kita saksikan argumen Lomborg yang dia tulis pada tahun 2010 berjudul Who’s Afraid of Climate Change? Berikut ini,” bahwa kenaikan 20 kaki diatas permukaan laut, akan merendam sekitar 16000 persegi mil garis pantai, dimana sekitar 400 juta rakyat hidup. Itu adalah jumlah yang besar. Namun faktanya itu tidak kurang dari 6% dari populasi dunia, dimana 94% populasi tidak akan terendam”.

Saya terhenyak mendengar argumen tersebut, dan tepat di sini kita menyaksikan apa yang diutarakan oleh Norgaard yang saya tampilkan di atas sebagai bentuk implicatory denial. Sebuah penolakan terhadap implikasi dari perubahan iklim yang dibangun berdasarkan argumen neo sosio-darwinian, bahwa dunia hanya untuk pemenang, sementara mereka yang kalah dibiarkan saja punah, atau kalau kita masih ingat selaras dengan argumen developmentalisme Orde Baru bahwa atas nama pembangunan biarlah rakyat menjadi korban!

Kajian Lomborg seperti sempat saya sentuh pada tulisan sebelum ini menekankan pada kalkulasi utilitarian Bentham dimana dalam kalkulasi untung-rugi yang menjadi pertimbangan. Dilema yang dikedepankan olehnya persis seperti yang diutarakan oleh Mas Ulil dalam perumpamaan fiqh-nya antara mobil supir dan penumpangnya masuk ke jurang atau menabrak anak kecil yang sedang lewat, seperti halnya Lomborg memilih mengorbankan 6% populasi dunia atau menyelamatkan 94% populasi. Padahal keduanya melupakan satu asumsi, soal masih adanya waktu apabila warga dunia mengambil langkah konkret memperbaiki dunia yang tengah rusak ketahanan tubuhnya.

Selanjutnya, mengapa teks Mas Ulil menempatkan perjuangan kaum aktivis lingkungan yang mengabarkan tentang kerusakan alam, perubahan iklim serta pemanasan global seperti halnya kaum yang dia stempel sebagai kaum dogmatik Islamis dengan kategorisasi eksklusif dan anti dialog? Implikasi ideologis dari narasi seperti ini justru akan mengisolir kalangan yang berbasis pada penelitian-penelitian ilmiah yang valid terkait problem lingkungan hidup dan akan dianggap sebagai penyebar ketakutan.

Gugatan gerakan sosial terhadap aktivitas tambang akan dimaknai sebagai aktivitas dogmatik, anti-dialog, eksklusif dibawah sorotan fiqh lingkungan yang terkandung dalam teks Mas Ulil.

Metode cancel culture berangkat dari teks Mas Ulil-lah yang berpeluang besar akan diterapkan pada aktivis lingkungan dimana mereka tidak akan diberi panggung, diajak berdialog dan dilibatkan dalam event-event NU dalam memperjuangkan untuk mencapai kemaslahatan bagi rakyat banyak dengan membangun kesadaran ekologis. Narasi Mas Ulil disini bukan saja bersikap climate denial, tapi juga memiliki potensi mendorong semangat anti-sains dan anti-intelektual. Sungguh merupakan kontradiksi dari rintisan membangun jalan progresif Islam sesuatu yang dirintis sebelumnya oleh KH Abdurrahman Wahid (dan Mas Ulil Abshar Abdalla selama ini dipandang sebagai murid dan pewarisnya oleh beberapa kalangan).

Ideologi Fiqh dan Realitas Historis Konkret

Apa keterhubungan dari narasi teks Mas Ulil dengan realitas pertautan kekuasaan, bekerjanya mekanisme politik dan benturan serta pertautan kepentingan seperti yang diutarakan oleh Terry Eagleton.

Membahas lingkungan dan pertambangan dalam pertimbangan Terry Eagleton perlu ditempatkan secara konkret material dan historis, tanpa itu semua maka pandangannya hanya akan menjadi tempelan pemanis opini belaka. Lahan pertambangan dalam realitas konkretnya, sebagai perwujudan land grabbing dan akumulasi melalui penjarahan yang terjadi di lapangan kerap kali membawa efek perusakan atas sumber daya air, mendorong potensi banjir, pemindahan paksa masyarakat adat dan pengusiran paksa terhadap warga.

Selanjutnya kalau kita meneropong lebih luas untuk mengambil contoh di wilayah Kalimantan terjadi deforestasi, seperti halnya yang terjadi di Amazon maupun Afrika, dimana hutan-hutan tersebut mampu mengurangi sekitar 107 juta ton emisi karbon dari atmosfer. https://www.bbc.com/indonesia/articles/cz5p7444zd5o.

Semua hal tersebut sangat ditentukan oleh arah pertautan kekuasaan politik dan kepentingan korporasi tambang, yang apabila kita hendak menimbang terkait konsesi tambang kepada ormas perlu untuk menginvestigasi kebijakan yang diatur dalam PP No 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Perubahan tersebut dengan memberi kesempatan bagi ormas untuk mendapatkan konsesi tambang dan tidak hanya melalui mekanisme tender, berarti melonggarkan persyaratan penerimaan konsesi tambang. Hal tersebut menunjukkan morat-maritnya tata kelola tambang di Indonesia.

Pertimbangan lain terkait analisis ekonomi-politik bahwa pertimbangan antara aktivitas politik berjalin kelindan dengan aktivitas ekonomi, dimana posisi dan pengaruh NU (sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia) dalam realitas pertarungan politik aktual, tidak bisa dilepas begitu saja dari konsesi ekonomi pertambangan, salah satu contoh seperti diutarakan oleh Gus Nadirsyah Hosen menjelang Pilpres https://www.youtube.com/watch?v=qNxrnOMvLPM.

Sementara terkait posisi dalam corak produksi dan reproduksi sosialnya, alih-alih memberikan kemaslahatan dan memupuk kemandirian bagi warga santri, relasi sosial dari nilai ekonomi dalam proses dari tambang menjadi pertambangan yang sarat dengan perjumpaan antara relasi pasar dan perburuan rente, transaksi ekonomi-politik maupun politik represi dan penguatan dosis perubahan dan pemanasan iklim global, serta corak akumulasi melalui penjarahan akan membuat warga NU bergantung dengan pola-pola ekonomi politik oligarkis. Pada akhirnya mata rantai sosial-politik, sosial-ekonomi, sosial-budaya ini melanggengkan proses penundukan kekuatan sosial dominan terhadap kaum-kaum marjinal.

Rangkaian pertimbangan-pertimbangan tersebut dan penjelasan kekuatan sosial mana melakukan tindakan apa bagi siapa, dan pihak manakah yang diuntungkan dan dirugikan dalam skema pertarungan sosial konkret merupakan realitas-realitas konkret yang hilang dalam uraian teks dari Mas Ulil, yang setelah ketika berani memasang makna dari uraian Terry Eagleton tentang ideologi, maka penjelasan ideologi dari Mas Ulil sekedar komedi omong saja.

Apalagi kalau kita merujuk pada pandangan dan posisi Terry Eagleton (2015) dalam karyanya yang berjudul “Hope Without Optimism”. Disebutkan oleh Eagleton bahwa hope (harapan) berbeda dengan optimism (optimisme) dimana sikap optimisme dia tempatkan sebagai sikap konservatif dimana keyakinan akan dunia yang lebih baik dimasa depan, didukung oleh sikap percaya tanpa kritisisme terhadap kondisi material dan corak kekuasaan yang bekerja dalam konfigurasi sosial-politik, sementara kontras dengan hope (harapan) yang kalangan yang kritis dan skeptis terhadap relasi kuasa dalam tatanan sosial-politik sangat memungkin adalah orang yang berharap dunia yang lebih baik.

Sikap berpijak pada harapan digerakkan oleh keberanian untuk memproblematisir dan mengubah tatanan politik yang ada dan percaya pada perjuangan kolektif untuk mengubahnya sebagai prakondisi pada masa depan yang lebih baik.

Terry Eagleton pada halaman 22 bukunya Hope Without Optimism menguraikan bahwa contoh dari sikap konservatisme optimistik ada pada Steven Pinker seorang saintis yang sangat percaya era modern dan masa depan manusia mengarah yang lebih baik, namun menurut Eagleton bahwa problem konservatisme optimistik Pinker (2011) -seperti halnya posisi Bjorn Lomborg-yang tertera dalam karyanya “The Better Angels of Our Nature” bahwa menurut Pinker tampil dengan pandangan yang menyepelekan atas problem-problem lingkungan seperti perubahan iklim dan pemanasan global.

(In similar spirit, Pinker drastically plays down the dangers of climate change, a topic that occupies, extraordinarily, no more than a page of his anodyne account. He even has the gall to remark that the shift from a fear of nuclear war, which he unaccountably imagines to have dwindled, to the prospect of ‘damage to ecosystems, flooding, destructive storms, increased drought, and polar ice melt’, represents ‘a kind of progress’).

Tepat di sinilah posisi Terry Eagleton ternyata kontras tidak hanya dengan posisi Steven Pinker tapi juga dengan teks fiqh lingkungan yang diolah oleh Mas Ulil!

Sebenarnya penjelasan relasi kekuasaan, kepentingan dan politik sangat penting dalam pembahasan fiqh lingkungan dan tambang. Mengingat bahwa apabila kita letakkan konteks sosial diatas, dan menempatkan posisi ideologis dari artikel Mas Ulil pada analisis final kita akan menyaksikan interkoneksi antara dan realitas konkret menyejarah dan teks ideologis dari Mas Ulil. Atau kita dapat memahami secara konkret terkait mengedepannya diskursus relasi perubahan qaul qadim (pendapat lama) menjadi qaul jadid (pendapat baru) dari persoalan fiqh lingkungan pertambangan.

Pada bagian terakhir kita akan mendiskusikan langkah konkret apa yang harus diambil secara politik dalam pemahaman realitas pertarungan gagasan, ideologi dan realitas politik yang berlangsung.

AIRLANGGA PRIBADI KUSMAN

Dosen Politik FISIP Universitas Airlangga

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular