
JAKARTA, CAKRAWARTA.com –
Memasuki usia ke-498 tahun pada 22 Juni 2025, DKI Jakarta kembali disorot. Bukan hanya soal pencapaian sebagai kota metropolitan dan ikon global, namun juga terkait lemahnya perlindungan terhadap konsumen, terutama di sektor kesehatan, hak disabilitas, dan pengawasan layanan publik. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai momentum ulang tahun Ibu Kota harus dijadikan titik balik bagi Pemprov DKI untuk memperbaiki komitmennya dalam menjaga hak-hak dasar warga sebagai konsumen.
Salah satu sorotan utama YLKI adalah absennya Peraturan Daerah (Perda) Kawasan Tanpa Rokok di Jakarta. “Ini menjadi rapor merah bagi kota sebesar Jakarta,” tegas Ketua YLKI, Niti Emiliana. Padahal, Perda KTR adalah amanat langsung dari UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023. YLKI menilai lambannya pengesahan Perda ini menandakan rendahnya komitmen terhadap perlindungan masyarakat dari bahaya asap rokok, khususnya kelompok rentan seperti lansia, ibu hamil, ibu menyusui, dan anak-anak.
YLKI mendesak agar substansi Perda KTR yang tengah dibahas di Panitia Khusus DPRD DKI harus komprehensif dan berpihak pada kesehatan publik. Sebagai kota global, Jakarta disebut bisa belajar dari Singapura dalam implementasi kawasan bebas rokok. Apalagi, tema ulang tahun kali ini adalah “Jakarta Kota Global dan Berbudaya“, yang seharusnya ditafsirkan dengan budaya hidup sehat.
YLKI juga menyoroti minimnya aksesibilitas bagi penyandang disabilitas di Jakarta. Padahal, UU Perlindungan Konsumen dengan tegas menjamin hak atas pelayanan yang adil dan tidak diskriminatif. Niti Emiliana menyebut masih banyak fasilitas publik, termasuk halte, transportasi umum, dan rumah sakit, yang belum ramah disabilitas.
“Perda Nomor 4 Tahun 2022 tentang Hak Penyandang Disabilitas tidak boleh hanya menjadi hiasan di atas kertas. Harus benar-benar diimplementasikan,” tegasnya. Informasi publik yang dapat diakses dan dipahami oleh konsumen disabilitas juga masih sangat minim. Ini, menurut YLKI, merupakan pelanggaran atas hak-hak fundamental warga negara.

YLKI juga mengusulkan penguatan fitur pengaduan konsumen di aplikasi JAKI (Jakarta Kini), yang selama ini dinilai belum maksimal dalam menampung dan menyelesaikan berbagai keluhan konsumen. Persoalan seperti layanan air bersih, perumahan, telekomunikasi, dan keuangan masih sering menjadi sumber keluhan warga Jakarta.
YLKI mendesak Pemprov agar JAKI dilengkapi dengan sistem pengaduan yang inklusif dan ramah disabilitas. Selain itu, aplikasi ini juga sebaiknya memfasilitasi penyelesaian sengketa konsumen tidak hanya dengan BUMD, tapi juga dengan pelaku usaha swasta yang beroperasi di Jakarta.
Tak hanya KTR, YLKI juga menuntut agar Jakarta segera memiliki Perda Perlindungan Konsumen. Dengan kompleksitas bisnis dan transaksi di Ibu Kota, sudah selayaknya ada regulasi kuat untuk menjamin keadilan dan transparansi dalam setiap aktivitas ekonomi.
“Jakarta bisa meniru daerah lain seperti Jambi, Palangkaraya, atau Cimahi yang telah lebih dulu memiliki Perda Perlindungan Konsumen,” kata Niti. Ia juga menambahkan, regulasi tersebut penting untuk memperkuat lembaga seperti Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) agar memiliki daya jangkau dan wewenang yang lebih jelas.
YLKI mengingatkan bahwa klaim Jakarta sebagai “Kota Global dan Berbudaya” tidak akan berarti jika masih abai pada hak-hak dasar warganya sebagai konsumen.
“Budaya itu bukan hanya soal seni dan sejarah. Budaya juga soal bagaimana kita menjaga kesehatan, menghormati hak disabilitas, dan melayani masyarakat secara adil,” pungkas Niti Emiliana.(*)
Editor: Tommy dan Rafel



