Saturday, April 20, 2024
HomeGagasanHari Bela Negara, Salah Siapa?

Hari Bela Negara, Salah Siapa?

“…Belanda mengira bahwa dengan ditawannya pemimpin-pemimpin kita yang tertinggi, pemimpin-pemimpin lain akan putus asa. Negara RI tidak tergantung kepada Sukarno-Hatta, sekalipun kedua pemimpin itu sangat berharga bagi kita. Patah tumbuh hilang berganti...”

(Mr Sjafruddin Prawiranegara, 22 Desember 1948)

Tanggal 18 Desember 2006 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia (RI) Nomor 28 tentang Hari Bela Negara (HBN). Keppres yang hanya satu lembar itu berisi dua klausul utama, yakni (1) Tanggal 19 Desember ditetapkan sebagai HBN, dan (2) HBN bukan merupakan hari libur. Berarti duabelas tahun sudah usia HBN. Tahun ini, kegiatan HBN tersebar merata di kalangan pemerintahan daerah. Hanya saja, belum terlihat antusiasisme warga berdasarkan kesadaran sendiri untuk memperingati HBN ini. HBN masih terkesan sebagai negara sentris.

Mengapa 19 Desember?

Tanggal itu diambil dari hari deklarasi Pemerintahan Darurat (PD) RI di Bukittinggi, Sumatera Barat. Bukittinggi sekaligus menjadi ibukota perjuangan yang baru, setelah Yogyakarta diduduki oleh Belanda. Negara RI masih berusia balita, yakni tiga tahun lebih. Hanya saja, pengalaman revolusi kemerdekaan dengan cepat memicu hormon pertumbuhan negara. Dominasi kalangan terpelajar pada lapisan atas kepemimpinan nasional, berdampak positif dan suportif bagi pelaksanaan cita-cita kemerdekaan. Penyesuaian demi penyesuaian dilakukan, guna menghadapi situasi yang tiba-tiba bisa berubah cepat.

Kejelian Presiden SBY atas HBN itu menunjukkan kemampuan untuk menjahit titik sambung dari serakan lubang-lubang hitam dalam sejarah bangsa Indonesia. Stigma sebagai suku bangsa pemberontak masih terasa kuat terhadap warga Sumatera Barat, umumnya, dan etnis Minang, khususnya. Selama dua generasi, orang-orang tua di ranah dan rantau cepat membentuk kesadaran betapa mereka adalah generasi yang putus tali hubungan genetika dan ranji dengan Minang.

Dari mana beban mental itu datang?

Sebagian analisa mengarah kepada kelahiran Pemerintahan Revolusioner (PR) RI pada tanggal 15 Februari 1958. Hampir sepuluh tahun setelah peristiwa PDRI. Negara yang sudah merambah usia remaja itu, bahkan sudah menjalankan Pemilihan Umum Legislatif dan Dewan Konstituante pada tahun 1955. PRRI berawal dari kawat-kawat protes yang dikirimkan oleh perwira-perwira militer di sejumlah daerah kepada pemerintah pusat yang dipimpin oleh Perdana Menteri dalam sistem parlementer.

Namun, nuansa persaingan politik tetap tampak. Partai Sosialis Indonesia (PSI), misalnya, gagal meraih target suara pemilih. Partai yang banyak dihuni kaum intelegensia ini, hanya mampu meraih 5 kursi parlemen. PSI berada di urutan ke delapan dalam peringkat hasil pemilu 1955. Kursi PSI itu berada di bawah Partai Nasional Indonesia (57 kursi), Masyumi (57 kursi), Nahdlatul Ulama (45 kursi), Partai Komunis Indonesia (39 kursi), Partai Syarikat Islam Indonesia (8 kursi), Partai Kristen Indonesia (8 kursi), dan Partai Katolik (6 kursi). Upaya saling menjatuhkan kabinet lewat petisi hingga mosi tidak percaya, berlangsung sepanjang tahun.

Partai-partai politik saling berebut kursi perdana menteri, kementerian strategis, plus alokasi anggaran yang tersedia di dalamnya. Begitulah wajah yang tampak dari rahim pemilu pertama bangsa ini. Infrastruktur yang buruk di daerah-daerah, pembangunan yang tak merata, serta hubungan yang memburuk antara Soekarno dengan Mohammad Hatta, memberi sejumlah alasan kepada perwira-perwira militer untuk berkirim ultimatum. Sinyal penolakan kepada komandan angkatan darat yang sudah ditetapkan ditembakkan. Militer diambang pembelahan antar faksi, seakan ikut hanyut dalam aura konflik antar partai.

Situasi yang seakan tak terkendali itu menerbitkan air liur dari kekuatan pengintai yang lebih besar. Taring tajam serigala-serigala haus darah datang mengancam dari seberang Lautan Pasifik dan benua selatan. Central Intelligence Agency (CIA) yang bekerjasama dengan Australian Security Intelligence Organisation (ASIO) bergerak mengambil markas cadangan di Singapura, sebagai pusat operasi “pemberian bantuan kepada sahabat satu visi berkulit sawo matang”. Senjata-senjata dari jenis terbaru terjun pakai parasut dari pesawat-pesawat angkut militer tanpa nomor lambung yang terbang malam. Basis-basis kelompok perlawanan menjadi lokasi tujuan. Di Kota Pekanbaru, misalnya, pelatuk-pelatuk senjata yang belum berbau oli itu dalam posisi terkunci, ketika disandang oleh kelompok perlawanan. Mereka disapu peluru pasukan terjun payung pemerintah pusat dengan posisi senjata dalam pelukan. Tas-tas berisi uang pun masih dalam keadaan utuh.

Petualangan CIA, ASIO dan sekutu-sekutu lokalnya di Pulau Sumatera itu menjadi kegagalan pertama dan terburuk dalam dekade kedua usai Perang Dunia II. Hutan tropis dan pantai berombak khas jalur khatulistiwa begitu berbeda dibandingkan dengan medan perang di Eropa atau kawasan Asia lain. Sahdan, di kemudian hari, bukan intelijen atau pasukan khusus yang ditaruh berpetualang di garis depan, tetapi perusahaan-perusahaan eksplorasi kekayaan alam Sumatera, terutama minyak bumi.

Dengan sesobek nukilan dari masa lalu itu, apa lantas negara Indonesia jatuh, runtuh, apalagi punah usai pemilu 2019? Wacana Indonesia akan runtuh itu tiba-tiba menyeruak jelang HBN tahun ini. Lingkungan epistemik yang melambungkan frase “negara runtuh” itu adalah panggung orasi konsolidasi politik. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan pidato-pidato yang pernah diucap Bung Karno yang dikompilasi dalam buku tebal “Dibawah Bendera Revolusi”, bangunan argumen yang membawa frase “negara runtuh” itu hadir di puncak piramida, terbaca tak solid.

Yang diperkarakan oleh sang orator adalah para elite. Yang tertuduh juga elite sebagai pihak yang disebut tak becus mengelola negara. Hanya saja, bukan perubahan komposisi para elite itu yang ditawarkan untuk diganti akibat: “… Sudah terlalu lama elite yang berkuasa puluhan tahun … Sudah terlalu lama mereka memberi arah keliru …” melainkan justru: “… Sistem yang salah.” Berkali-kali saya mencoba untuk paham maksud dari pemberi orasi, tapi berkali-kali juga saya terantuk dengan semburan pilihan kata yang tergolong mewah itu.

Kalangan mana yang dimaksud sebagai elite yang berkuasa puluhan tahun? Saya bakal langsung distempel DUNGU kalau menyebut pasangan Calon Presiden Jokowi dan Calon Wakil Presiden Ma’ruf Amin sebagai objek sasaran. Jokowi baru berkuasa sebagai presiden selama empat tahun lebih. Ma’ruf Amin belum pernah tercatat menjadi presiden, apalagi ketua umum partai politik dengan kekuasaan elektoral yang kuat dalam tubuh eksekutif dan legislatif pusat atau daerah. Saya makin berputar-putar dalam pusaran badai pertempuran logika, kala menyambung puzzle kata-kata yang terucap lantang itu: “… Elite yang berkuasa puluhan tahun… Memberi arah keliru.” Hanya saja, jumlah nama elite dalam daftar dengan cepat menyusut. Sebab, tidak banyak elite yang mampu berkuasa puluhan tahun di Indonesia, apalagi dengan cara memberi arah keliru bagi perjalanan bangsa.

Namun ketika merayap kepada penggalan frase berikutnya, yakni: “… Sistem yang salah…”, saya langsung terhenyak. Terjadi failure dalam sistem saraf berpikir saya. Elite yang memberi arah keliru dan sistem yang salah adalah dua subjek yang berbeda, sebagaimana bentuk dari buah apel dan planet merah nun jauh di galaksi sana. Sistem yang salah berarti menihilkan kontribusi seluruh elemen demokrasi yang sudah mengubah konstitusi, undang-undang, hingga beragam perangkat operasional kelembagaan. Sistem yang salah berarti menghapus jejak pemikiran legislator-legislator handal dalam legislasi dan regulasi. Sistem yang salah bermakna aparatur negara, baik sipil atau militer, adalah korban dan kelinci percobaan di dalam laboratorium kenegaraan yang masih jauh dari sempurna.

Mana yang benar, elite yang keliru atau sistem yang salah?

Pada HBN ini, lebih baik membangun sinergi untuk membela tatanan kenegaraan yang sudah ada. Bakal menghabiskan waktu, jika publik terus diseret untuk berbicara siapa yang benar, siapa yang salah, dalam era PDRI, pun juga dalam masa PRRI. Sebab saya mulai berpikir, soal-soal dalam psikotes yang dikerjakan calon-calon pemimpin bangsa, jangan-jangan nanti ikut disalahkan sebagai soal yang salah. Sehingga alternatif jawaban apapun, tak punya peluang menjadi benar…

INDRA J. PILIANG

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara

RELATED ARTICLES

Most Popular