
KUALALUMPUR – Seratua dua puluh lima akademisi, periset dan mahasiswa dari Indonesia dan Malaysia berkumpul dan berdiskusi dalam “International Conference on Academia-Community Engagement (InACE)” akhir Agustus lalu di Hotel Pullman Kuala Lumpur, Malaysia. Konferensi ini menampilkan beragam hasil penelitian dan kegiatan pengabdian masyarakat dari para akademisi di Malaysia dan Indonesia.
Dalam diskusi panel yang bertajuk “Navigating Globalisation: Insights from Policy and Innovation” yang merupakan rangkaian dari konferensi tersebut, Atase pendidikan dan kebudayaan (Atdikbud) KBRI Singapura, IGAK Satrya Wibawa, PhD diundang sebagai panelis untuk menyampaikan pemaparan dari perspektif hubungan Indonesia-Singapura dalam konteks pendidikan. Kompetisi akademik global seringkali dipersempit parameternya hanya pada capaian rangking.
”Rangking adalah salah satu parameter, bukan satu-satunya,” ujar Satrya. Sebagai parameter, rangking dapat dipergunakan sebagai cara untuk merefleksikan program dan arah program universitas.
Lebih lanjut, Satrya juga menyatakan, ”Jadikan ranking sebagai outcome, bukan output. Sehingga program universitas bersifat lebih holistik dan komprehensif”. Ia memberi contoh, dalam konteks Singapura misalnya. Selama pandemi, semua kebijakan yang diambil pemerintah Singapura berdasarkan kajian-kajian akademis yang dilakukan oleh para akademisi di kampus-kampus Singapura. Universitas-universitas di Singapura memberikan dana riset berlimpah bukan karena ingin meraih rangking, tapi karena hasil riset itu dapat diaplikasikan oleh industri dan dijadikan pijakan untuk mengambil kebijakan oleh pemerintah. Besaran dana riset itulah yang kemudian diperhatikan oleh lembaga pemberi ranking sebagai salah satu keberhasilan.
Sejak 2020 pemerintah Singapura melalui badan riset nasional-nya menyediakan dana riset lebih dari 250 trilyun rupiah dengan kontribusi terbesar dari sektor swasta. Pada konteks ini peran A-STAR, sebuah lembaga yang berada di bawah koordinasi kementrian perdagangan Singapura, menjadi penting karena lembaga ini yang menjembatani dunia akademik dengan dunia industri dan sektor swasta. Lebih lanjut, kampus di Singapura juga memiliki target dan arah kebijakan yang jelas, seperti misalnya mulai tahun ini, Indonesia menjadi salah satu mitra prioritas sehingga banyak beasiswa, program pertukaran mahasiswa dan akademisi serta riset diarahkan untuk memiliki partner strategis dari Indonesia.
“Pemerintah dan kampus di Singapura ingin mahasiswanya mengetahui dan memahami negara tetangga terdekat yang memiliki hubungan strategis sangat kuat, yaitu Indonesia,” jelas Satrya. Pertukaran mahasiswa inilah yang kemudian difasilitasi dan dikoordinasikan oleh Kemdikbudristek dengan harapan pemahaman masyarakat kedua negara akan lebih dekat. Sehingga, imas positifnya adalah poin jumlah mahasiswa internasional bertambah dan diperhitungkan oleh lembaga pemberi ranking.
Satrya juga menambahkan bahwa hanya dengan Singapura, pemerintah Indonesia memiliki tradisi pertemuan rutin dua kepala pemerintahan setiap tahun berupa Leader’s Retreat yang dilaksanakan secara bergantian untuk membahas isu dan kerjasama dua negara. Termasuk program konsorsium universitas di Indonesia dan Singapura serta kerjasama pertukaran mahasiswa magang antar kedua negara yang akan dilaksanakan tahun 2024 lahir dari Leader’s Retreat tersebut. Dalam konteks berbeda misalnya, kampus di Singapura menekankan bentuk dan capaian program secara riil, bukan hanya dalam konteks penandatanganan MOU atau naskah kerjasama. Pelaksanaan program itulah yang akan diatur dalam bentuk implementation agreement atau technical arrangement. Sehingga penekanan kerjasama dan kolaborasi itu jauh lebih fundamental, tambah Satrya. Hal ini sejalan dengan arah kebijakan luar negeri Indonesia yang menekankan kolaborasi, bukan kompetisi, serta maju bersama, bukan maju sendirian. Prinsip itulah yang sesuai dengan visi program kampus merdeka dengan spirit kolaborasi yang menjadi kunci pelaksanaan program kementrian pendidikan kebudayaan riset dan teknologi.
Untuk diketahui, Konferensi InACE ini merupakan program kolaborasi antara Universitas Airlangga dan University of Malaya yang dilaksanakan rutin setiap tahun dengan mengundang belasan akademisi serta policy maker untuk berdiskusi dan bertukar pikiran dalam tema dan fokus tertentu.
(rils/bus)



