BANDUNG, CAKRAWARTA.com – Mei menjadi bulan sibuk bagi lembaga-lembaga pendidikan yang berafiliasi dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Di berbagai sudut Nusantara, mereka menggelar prosesi kelulusan -bukan hanya menandai keberhasilan akademis para siswa dan santri, tetapi juga momentum simbolik penyerahan tongkat estafet ideologis: dari generasi tua ke generasi muda.
Lulusan-lulusan itu berusia 18 hingga 22 tahun. Mereka adalah bagian dari Generasi Z. Namun dalam narasi internal HTI, mereka disebut sebagai Gen Zhilafah -generasi penerus terakhir yang disiapkan untuk menjadi garda depan perjuangan Khilafah menjelang momen Indonesia Emas 2045.
Mereka dibina bukan sekadar untuk menjadi cendekiawan atau profesional biasa. Mereka dipersiapkan menjadi mujahid ideologis -siap mengusung panji Khilafah di ruang-ruang kampus, komunitas digital, lembaga-lembaga publik, dan bahkan mimbar sosial. Mereka tidak lahir dari ruang hampa. Mereka adalah anak-anak biologis dan ideologis dari para pelopor, perintis, dan pengembang gerakan HTI.
Dari Baby Boomers ke Gen Z: Peta Demografi HTI
Menurut penelusuran internal, struktur demografis HTI terdiri dari empat generasi utama:
1. Generasi Pelopor (1946–1964)
Mereka adalah generasi pertama yang berhimpun dalam halaqah bersama Abdurrahman al-Baghdadi, tokoh sentral pendiri HTI di Indonesia. Mereka membentuk inti organisasi (halqah ula) dan menanamkan doktrin ideologis murni. Tokoh-tokoh seperti MIY, TKJ, AS/AF, dan SO/AI muncul dari generasi ini. Sebagian besar keberadaan mereka disamarkan—MIY menjadi satu-satunya wajah publik.
2. Generasi Perintis (1965–1980)
Para perintis adalah generasi yang menyebarkan HTI ke berbagai wilayah Indonesia. Mereka menjadi mesin kaderisasi yang efektif hingga berhasil menyelenggarakan Konferensi Khilafah Internasional 2007 dan Muktamar Khilafah 2013 yang mengumpulkan lebih dari 100 ribu simpatisan di Gelora Bung Karno.
3. Generasi Pengembang (1981–1996)
Inilah generasi kampus. Mereka mengenal HTI ketika organisasi itu berada di puncak legalitas. Masuk melalui halaqah di fakultas-fakultas ternama, mereka kemudian menjadi pengelola sekolah, pesantren, lembaga sosial, dan komunitas dakwah. Meski HTI dibubarkan secara resmi pada 2017, mereka tetap berkiprah dalam berbagai saluran “legal” lain -sebagai dosen, ASN, pengusaha, hingga influencer.
4. Generasi Penerus (1997–2012)
Dan kini tibalah giliran Gen Zhilafah. Mereka tumbuh dalam lingkungan keluarga aktivis HTI. Mereka belajar di lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan oleh generasi sebelumnya. Halaqah-halaqah yang dahulu dilakukan di kampus kini digantikan oleh pendidikan formal bercorak ideologis. Beberapa bahkan dikirim ke Universitas Al-Azhar di Kairo untuk memperdalam legitimasi keagamaan.
Menurut Ayik Heriansyah dari Lembaga Dakwah PWNU Jawa Barat, Gen Zhilafah inilah yang akan menjadi motor utama pergerakan HTI mulai 2030 hingga 2045.
“Mereka lebih cerdas, lebih terdidik, dan punya akses digital yang luas. Tapi justru itu yang membuat mereka lebih berbahaya jika tidak diawasi dengan serius,” tegasnya, Minggu (1/6/2025).
Narasi HTI tentang Khilafah Rasyidah Ala Minhajin Nubuwwah tidak pernah padam. Meski telah dibubarkan oleh pemerintah dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang, jaringan ideologisnya tetap hidup dalam bentuk baru -lebih cair, tersembunyi, namun tetap terstruktur.
“Bayangkan, ketika negara sedang bersiap menyongsong Indonesia Emas 2045, ada kelompok yang menyiapkan Khilafah Emas 2045. Mereka punya peta jalan sendiri, kaderisasi sendiri, bahkan ‘angkatan kelulusan’ sendiri,” ungkap Ayik.
Karena itulah ia menilai, negara tidak boleh lengah. Pendekatan keamanan semata tak cukup. Dibutuhkan strategi kultural, edukatif, dan digital yang menyentuh akar persoalan. Keluarga, sekolah, kampus, bahkan komunitas harus menjadi ruang dialektika yang terbuka dan demokratis—agar generasi muda tak terjebak dalam dunia yang hanya hitam dan putih.
Gen Zhilafah bukan sekadar label. Ia adalah fenomena regenerasi ideologi dalam lanskap politik pasca-kebenaran. Mereka tumbuh dengan semangat idealisme tinggi, tapi membawa narasi yang bertentangan dengan dasar negara.
Pertanyaannya kini: siapa yang lebih siap menghadapi 2045 -negara dengan mimpi Indonesia Emas, atau jaringan bayangan yang mengincar Khilafah Emas?
(*)
Editor: Tommy dan Rafel