Tuesday, December 23, 2025
spot_img
HomeGagasanFotografi di Antara Seni, Teknologi, dan Pasar di Era AI

Fotografi di Antara Seni, Teknologi, dan Pasar di Era AI

Fotografi di era digital mengalami transformasi fundamental yang sebelumnya sulit dibayangkan. Perkembangan artificial intelligence atau akal imitasi (AI) dan hadirnya smartphone dengan kamera berteknologi tinggi telah mengubah cara kita menciptakan, mengedit, sekaligus mendistribusikan karya visual. Fotografi tidak lagi menjadi domain eksklusif para fotografer profesional dengan perangkat mahal, tetapi menjadi medium kreatif yang dapat diakses siapa saja hanya dengan bermodal ponsel pintar.

Kemajuan teknologi ini menghadirkan paradoks menarik. Di satu sisi, AI dan smartphone membuka ruang luas bagi inovasi, mendorong kreativitas tanpa batas, serta memicu demokratisasi seni fotografi. Namun, di sisi lain, kehadirannya menimbulkan tantangan serius bagi industri fotografi komersial tradisional.

Dalam Artificial Intelligence in Practice, Bernard Marr menjelaskan bahwa AI mampu memicu revolusi besar-besaran dalam dunia fotografi. AI tidak hanya meningkatkan kualitas gambar, tetapi juga mengubah cara kita berinteraksi dengan media visual. Integrasi AI ke dalam kamera smartphone menjadi penggerak utama perubahan ini.

Dengan fitur seperti facial recognition, kamera dapat mengenali wajah secara otomatis dan mengoptimalkan fokus, sehingga meningkatkan akurasi hasil foto. AI juga mampu melakukan pengeditan instan, mulai dari penyesuaian pencahayaan hingga penyempurnaan warna. Lebih jauh, teknologi text-to-image generation memungkinkan pengguna menghasilkan gambar visual hanya dengan memberikan deskripsi teks (Artha et al., 2025).

Di Indonesia, maraknya penggunaan smartphone berdampak nyata pada industri. Penjualan kamera digital konvensional turun hingga 24%. Smartphone kini tidak hanya menggeser pola konsumsi kamera, tetapi juga mendorong berkembangnya aplikasi pengeditan foto serta memperkuat peran media sosial sebagai etalase karya visual.

Secara global, pasar smartphone sempat tumbuh pesat. Pada 2008, tingkat pertumbuhan tahunan mencapai 54,7%, dan pada 2017 jumlah pengguna meningkat hingga 103,4% dari populasi dunia (Sembiring, 2019). Meski sempat mengalami perlambatan akibat faktor ekonomi dan kualitas produk, tren jangka panjang tetap menunjukkan permintaan yang meningkat seiring globalisasi dan percepatan teknologi.

Smartphone telah mendemokratisasi fotografi dengan memberikan akses kepada jutaan orang untuk menghasilkan karya visual berkualitas. Kemudahan, fleksibilitas, dan hasil instan membuat fotografi smartphone cocok bagi berbagai kebutuhan, termasuk produksi foto produk UMKM dengan biaya terjangkau. Bahkan, banyak fotografer profesional kini turut menggunakannya karena sifatnya yang praktis.

AI juga membantu fotografer meningkatkan kualitas dan efisiensi. Teknologi ini mampu mengurangi noise, mempertajam detail, serta mengoreksi warna sehingga foto biasa dapat tampil luar biasa. Analisis adegan secara real-time memungkinkan kamera mengenali subjek, membaca kondisi pencahayaan, dan menyesuaikan parameter untuk hasil optimal.

Fotografi kini bukan sekadar dokumentasi visual, melainkan medium seni yang memadukan keterampilan teknis dengan kreativitas artistik. Dalam konteks ekonomi kreatif, fotografi berperan strategis: ia mampu memperkuat narasi, membentuk opini publik, serta mengangkat identitas merek.

Namun, industri fotografi komersial menghadapi tekanan. Bidang seperti iklan, arsitektur, food photography, atau perhiasan harus beradaptasi dengan kehadiran AI yang bisa menghasilkan visual berkualitas dengan biaya rendah. Persaingan pun semakin ketat, terutama antara penerbit tradisional dan self-publishing. Konsekuensinya, permintaan terhadap fotografer profesional berkurang, sementara pasokan foto berbasis AI semakin membanjir.

Dalam lanskap baru ini, pemasaran digital menjadi elemen penting. Fotografer dapat memperluas jangkauan pasar melalui portofolio daring yang menampilkan karya visual secara langsung. Platform digital juga membuka ruang interaksi bebas dengan klien sekaligus menyediakan umpan balik konsumen yang memperkuat kepercayaan.

Untuk tetap relevan, fotografer dituntut mengembangkan kemampuan visual storytelling yang kuat agar mampu membangun keterikatan emosional dengan audiens. Ekosistem media sosial yang beragam menyediakan peluang besar bagi fotografer untuk berkembang sebagai pencipta konten visual berpengaruh.

Kuncinya adalah beradaptasi dengan AI tanpa kehilangan sentuhan kreatif manusia. AI sebaiknya dimanfaatkan sebagai medium referensi dan inspirasi, bukan pengganti. Sebab, visi artistik, kreativitas, dan emosi tetap merupakan keunggulan manusia yang tak dapat ditiru mesin.

AI dan smartphone telah merevolusi dunia fotografi dengan menjadikannya lebih inklusif, cepat, dan terjangkau. Namun, kemajuan ini juga menimbulkan tantangan besar, terutama bagi fotografi komersial tradisional. Untuk tetap bertahan, fotografer profesional harus mengintegrasikan teknologi baru tanpa kehilangan jiwa seni yang menjadi nilai khas manusia. Di tengah derasnya arus inovasi, kreativitas manusia tetap menjadi pusat gravitasi yang tak tergantikan.

RYCHO NUR NIRBITA SIAS

Mahasiswa Program Magister PSDM, Peminatan Industri Kreatif, Sekolah Pascasarjana Unair

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular