
Kerja sama internasional antarkota berkembang menjadi salah satu strategi pembangunan global pada abad ke-21. Dalam konteks Indonesia, salah satu hubungan yang menonjol adalah kemitraan antara Surabaya dan Liverpool yang secara formal terikat dalam skema sister city.
Bukan tanpa sebab Surabaya memiliki hubungan sister city dengan Liverpool. Menurut penuturan wartawan senior almarhum Peter Apollonius Rohi kepada penulis pada 2014, dalam riwayatnya, ibu kota Jawa Timur ini pernah menyandang julukan “Liverpool van Java”. Namun, julukan itu tidak bertahan hingga kini, berbeda dengan Bandung yang tetap dikenal sebagai “Paris van Java”. Menarik mencermati bagaimana julukan tersebut berakar pada kesamaan peran sungai secara sosioekologis sebagai fondasi pembangunan kedua kota. Sungai Brantas yang bermuara di Surabaya dan Sungai Mersey yang menjadi ikon kota kelahiran grup musik The Beatles sama-sama membentuk wajah historis dan kultural kota.
Kesamaan inilah yang kemudian melandasi hubungan pembangunan Surabaya dan Liverpool dalam bentuk diplomasi kota bertajuk Brantas–Mersey River Management Partnership yang telah berlangsung sejak 1985. Kerja sama ini tidak hanya menghubungkan dua sistem pengelolaan sungai, tetapi juga membentuk dasar pertukaran sosial, budaya, dan teknologi yang berkembang menjadi program sister city.
Konsep Brantas-Mersey sebagai Fondasi Sosioekologis
Kerja sama Brantas-Mersey pada awalnya merupakan proyek teknis pengelolaan daerah aliran sungai (DAS), mencakup manajemen air, lingkungan, dan tata kota antara Indonesia dan Inggris. Namun, dalam praktiknya, proyek ini mempertemukan dua cara pandang terhadap sungai. Mersey dipahami sebagai simbol industrialisasi, degradasi, sekaligus kebangkitan Liverpool melalui revitalisasi. Brantas dipahami sebagai ruang hidup, ruang ekonomi informal, dan simbol spiritual masyarakat Jawa Timur.
Pertemuan dua perspektif tersebut menghasilkan ko-produksi pengetahuan, yakni pertukaran yang menggabungkan teknologi Barat dengan praktik lokal. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan lingkungan bersifat sosial-kultural, bukan semata teknis, yang kemudian berkembang menjadi dasar diplomasi kota antara Surabaya dan Liverpool.
Sister City Surabaya-Liverpool: Refleksi Sosial-Budaya
Hubungan Surabaya-Liverpool dalam skema sister city yang dijalankan sejak 2018 merupakan perluasan dari kerja sama Brantas-Mersey. Bidang kerja sama meliputi pendidikan dan pertukaran pelajar, budaya dan seni kreatif, kesehatan masyarakat dan pelatihan profesional, serta pengelolaan kota dan lingkungan.
Dalam perspektif antropologi, program sister city membentuk identitas kota global bagi Surabaya. Kota ini memosisikan diri sebagai kota hijau, kota pemuda, dan kota kreatif, sekaligus bagian dari komunitas internasional. Sebaliknya, Liverpool menegaskan identitasnya sebagai kota budaya dan musik, serta pusat pengetahuan pengelolaan lingkungan.
Kolaborasi ini turut menghasilkan transformasi sosial yaitu perubahan cara kerja, aspirasi pemuda, dan pembentukan jejaring lintas budaya. Namun, hubungan tersebut juga mengandung ketegangan antara standar modernitas Barat dan kekhasan lokal Surabaya.
Representasi Film Dalam Antropologi Visual
Pada Kamis (4/12/2025), Bransey Film Lab Forum diselenggarakan sebagai bentuk implementasi keberlanjutan dari sister city Surabaya-Liverpool. Melalui forum yang diadakan INFIS (Independent Film Surabaya) dengan dukungan British Council ini, diharapkan hubungan Brantas-Mersey, sister city Surabaya-Liverpool, dan representasi film dapat memperlihatkan bahwa pembangunan merupakan proses sosial-ekologis yang kompleks. Pembangunan tidak hanya bertumpu pada teknologi dan infrastruktur, tetapi juga pada pertemuan budaya, negosiasi identitas, dan produksi makna.
Jay Ruby, antropolog visual, menyatakan bahwa film, baik dokumenter maupun fiksi, dipandang sebagai medium yang tidak hanya merepresentasikan realitas, tetapi juga membentuk makna. Melalui film, dinamika pembangunan Surabaya-Liverpool dapat ditampilkan melalui representasi sungai sebagai ruang sosial.
Sementara itu, sineas dokumenter asal Amerika Serikat, David MacDougall, melalui OzDox Forum pada 2013, dengan konsep cinematic ethnography memandang film sebagai pengalaman sensorik pembangunan. Ia mencakup perubahan lanskap kota, aktivitas pekerja sungai, interaksi warga dalam program lingkungan, serta keseharian pelajar yang mengikuti program sister city. Dari konsep ini, dapat dipahami bahwa film memperlihatkan bagaimana warga kedua kota berhadapan dengan perbedaan bahasa, pola komunikasi, ritme kerja, nilai keluarga, hingga cara memandang lingkungan. Adegan-adegan tersebut menampilkan pembangunan sebagai proses lintas budaya yang hidup.
Dengan demikian, konsep Brantas-Mersey, implementasi sister city Surabaya–Liverpool, dan representasinya melalui film menunjukkan bahwa pembangunan pada hakikatnya adalah proses sosial yang berlapis. Pembangunan tidak hanya mengubah struktur teknis seperti manajemen sungai, tetapi juga membentuk identitas kolektif, nilai budaya, hingga relasi antarkomunitas global.
Film sebagai medium antropologi visual berperan penting dalam memperlihatkan bagaimana pembangunan dijalani, dipahami, dan dinegosiasikan oleh masyarakat. Ia menghadirkan dimensi afektif, simbolik, dan visual dari pembangunan yang tidak tertangkap hanya melalui teks kebijakan.
Hubungan Tiga Ranah
Konsep Brantas-Mersey memberikan fondasi ekologi-politik bagi kerja sama Surabaya-Liverpool. Sister city memperluasnya menjadi jejaring sosial-kultural yang lebih luas dan kompleks. Film berfungsi sebagai medium yang menampilkan, mendramatisasi, bahkan memproblematisasi dinamika pembangunan tersebut. Ketiga elemen ini membentuk pemahaman bahwa pembangunan bersifat lintas budaya, melibatkan negosiasi identitas, tidak netral dalam relasi kuasa, dan senantiasa diproduksi ulang melalui medium visual.
Hubungan Brantas–Mersey yang terimplementasi dalam sister city Surabaya-Liverpool dan direpresentasikan melalui film memperlihatkan pembangunan sebagai sebuah “ruang dialog” yaitu dialog antara teknologi dan budaya, antara lokal dan global, antara masa lalu dan masa depan. Ini menegaskan bahwa pembangunan hanya dapat dipahami secara utuh jika dilihat sebagai interaksi manusia yang kompleks, bukan sekadar proyek teknis.
Film berperan sebagai medium penting untuk memahami proses tersebut karena menghadirkan aspek sensorik, visual, dan emosional yang tidak tercatat dalam dokumen kebijakan. Dengan demikian, analisis sosioantropologi pembangunan yang menggabungkan ekologi politik, antropologi visual, dan kajian pembangunan membuka pemahaman yang lebih luas bahwa pembangunan merupakan arena sosial yang terus dinegosiasikan melalui pengetahuan lokal dan global. (*)
DHAHANA ADI PUNGKAS
Akademisi dan Urban Cultural Interpreter



