Surabaya, – Perkembangan media sosial pada era digital masa kini merangkul semua kalangan untuk dapat eksis, termasuk di antaranya adalah anak-anak. Hingga munculnya istilah kidsfluencer sebagai sebutan untuk anak-anak yang menjadi influencer di media sosial. Kidsfluencer tentunya bermula dari orang tua yang mengontenkan anaknya, baik dengan sengaja atau tidak, dan dengan tujuan tertentu atau tidak.
Kini kita dapat dengan mudah menyaksikan konten menggemaskan anak-anak berusia di bawah lima tahun, seperti Abe ‘Cekut’, Cipung, dan Shabira Alula atau Lala. Kehadiran anak-anak di dunia hiburan sebagai kidsfluencer pantasnya memicu kekhawatiran akan potensi eksploitasi anak. Alih-alih peduli, kita justru memilih asyik menikmatinya, hingga tanpa sadar menjadi bagian di balik maraknya mengontenkan anak-anak.
Lalu, apakah mengontenkan anak-anak termasuk bentuk eksploitasi anak? Pakar Psikologi, Dr. Nur Ainy Fardana N., mengatakan bahwa eksploitasi anak berarti menghilangkan hak-hak yang seharusnya dimiliki oleh anak. Maka, perlu dilihat terlebih dahulu bagaimana posisi anak.
“Eksploitasi atau tidak, perlu dipertimbangkan apakah anak melakukannya dengan perasaan tertekan dan tidak nyaman, atau sebaliknya? Yakni anak melakukan dengan senang hati,” ungkapnya pada media ini, Rabu (27/3/2024).
Tidak jarang, beberapa orang tua mulanya hanya merekam momen lucu buah hatinya sebagai kenang-kenangan. Mengontenkan keseharian anak seperti saat anak bermain, makan, dan aktivitas lainnya, justru membuat kaburnya perlindungan privasi anak. Terlebih, anak juga menjadi lebih sering terekspos kamera.
Menurut Nur Ainy, eksistensi anak-anak di dunia hiburan tidak akan menjadi masalah. Jika, hal yang dilakukan dalam tujuan mengembangkan minat bakat anak, dan menumbuhkan kreativitas anak sesuai dengan dunianya. Namun, kondisi psikologis anak harus tetap menjadi perhatian utama.
“Apabila anak terlibat dalam dunia entertaiment, harus tetap diperlakukan dengan baik, tanpa menghambat tumbuh kembang fisik, mental, sosial, dan intelektualnya,” tambahnya.
Nur Ainy pun menambahkan, orang tua harus mengontrol intensitas anak berhadapan dengan kamera. Karena tentu, seberapa sering anak berhadapan dengan kamera beresiko menghambat tumbuh dan kembang anak.
“Apabila intensitas anak berhadapan dengan kamera dilakukan dalam frekuensi yang sangat sering, serta adanya tuntutan untuk berperilaku tertentu sesuai keinginan orang dewasa, hal tersebut beresiko akan menghambat anak untuk optimalisasi ekspresi dan eksplorasi,” jelasnya.
Dijadikan sebagai bahan konten oleh orang dewasa secara berlebihan akan mengakibatkan adanya tekanan mental bagi anak. Sebuah kewajiban bagi orang tua atau orang dewasa untuk tetap memperhatikan hak dan kebutuhan tumbuh kembang anak secara optimal.
Setiap anak memiliki hak yang semestinya untuk dilindungi dan dipenuhi. Nur Ainy menyampaikan, setidaknya terdapat tiga hak anak yang rentan terabaikan. Pertama, hak pendidikan bagi anak. Kedua, hak anak untuk bermain. Ketiga, hak untuk mendapatkan perlindungan.
“Anak-anak harus tetap mendapatkan layanan dan kesempatan pendidikan yang baik, meski terjun dalam dunia hiburan. Anak juga membutuhkan aktivitas bermain dan bersosialisasi dengan teman sebayanya,” katanya.
“Selanjutnya, anak-anak yang terlibat dalam kegiatan di dunia hiburan, tetap harus mendapat perlindungan fisik, sosial, dan psikologis,” imbuhnya,
Sebagai salah satu bentuk perlindungan atas hak-hak anak. Maka, peranan orang tua menjadi penting. Selain itu, kesempatan bagi anak untuk belajar mengekspresikan perasaan atau pikirannya. Terakhir, kontrol sosial dari masyarakat dalam melindungi anak dari eksploitasi.
“Orang tua yang memegang kendali, dan anak-anak harus diajarkan untuk berani mengekspresikan perasaan atau pikiran, jika aktivitas atau tuntutan di luar kapasitasnya. Terakhir, perlu kontrol sosial dari masyarakat agar anak terlindungi dari eksploitasi,” pungkas wanita yang merupakan dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga itu.
(Syifa/Feri/Rafel)