
SURABAYA, CAKRAWARTA.com – IPK tinggi tak lagi jaminan mutu lulusan. Di balik angka-angka sempurna di ijazah sarjana, tersembunyi kenyataan pahit, daya saing lulusan justru melemah. Fenomena ini dikenal sebagai inflasi IPK dimana rata-rata indeks prestasi kumulatif (IPK) lulusan terus melonjak, namun tak diikuti kompetensi nyata di dunia kerja.
Guru Besar Sosiologi Pendidikan Universitas Airlangga (Unair), Tuti Budirahayu, angkat bicara soal fenomena yang menurutnya mengancam integritas pendidikan tinggi Indonesia. Ia menyebut persoalan ini sebagai buah dari kapitalisme pendidikan.
“Perguruan tinggi sekarang dipaksa untuk tunduk pada pasar. Targetnya jelas: menerima sebanyak-banyaknya mahasiswa dan meluluskan sebanyak-banyaknya juga,” tegas Tuti.
Bukan sekadar tekanan pasar, menurut Tuti, sistem akreditasi perguruan tinggi juga ikut memicu lahirnya inflasi IPK. Kampus berpotensi turun peringkat akreditasi jika banyak mahasiswa mendapat nilai rendah atau gagal lulus.
“Kalau lulusnya pas-pasan, mereka akan sulit bersaing di pasar kerja. Rekrutmen pertama-tama melihat IPK dan asal kampusnya. Akhirnya kampus ikut terdorong menaikkan nilai supaya mahasiswa cepat lulus dan citra institusi tetap baik,” jelasnya.
Namun, Tuti mengingatkan bahwa IPK hanyalah saringan awal. Angka tak bisa sepenuhnya merepresentasikan kualitas lulusan.

“Kualitas mahasiswa tidak cukup diukur dari IPK. Aktivitas organisasi, kreativitas, sampai prestasi non-akademik harus dihitung. Itu sebabnya ada SKP (Sistem Kredit Prestasi) sekarang,” ujarnya.
Bagi Tuti, solusi ke depan adalah sistem pembobotan penilaian yang lebih adil dan komprehensif. IPK tetap penting, tapi harus dikombinasikan dengan indikator aktivitas mahasiswa di luar kelas.
“Saya bilang harus ada pembobotan antara IPK dengan kreativitas dan aktivitas lain. Penilaian ini yang lebih menunjukkan performa lulusan secara utuh, sesuai bidang mereka masing-masing,” sarannya.
Di tengah segala tekanan tersebut, Tuti yakin para dosen tetap memegang teguh nilai-nilai kejujuran dan integritas dalam menilai mahasiswa.
“Saya percaya dosen akan menilai mahasiswa sejujur-jujurnya. Tapi mahasiswa juga harus menunjukkan kapabilitas nyata yang mencerminkan nilai IPK mereka,” pesannya.
Tuti menegaskan, menilai kualitas lulusan tak boleh berhenti di satu angka.
“Saya percaya kualitas mahasiswa tak bisa diukur dari satu parameter. Banyak ukuran bisa dipakai untuk menilai kemampuan dan karakter mereka. Mahasiswa harus mau membuktikan itu,” ujarnya.
Karena itu, dengan nada kritis, Tuti mengingatkan agar inflasi IPK tak jadi “bom waktu” di dunia pendidikan Indonesia.(*)
Editor: Abdel Rafi